Senin, 01 Juli 2013

EFEKTIFITAS SENGSTAKEN BLAKEMORE TUBE PADA PASIEN GI BLEEDING


ESSAY

EFEKTIFITAS SENGSTAKEN BLAKEMORE TUBE
PADA PASIEN DENGAN PERDARAHAN GASTROINTESTINAL



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015

  

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


               
A.   Latar Belakang
Perdarahan gastrointestinal merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai pada emergency department. Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami perdarahan, hampir 80% kasus perdarahan gastrointestinal berasal dari perdarahan esofagus, gaster dan deudenum. Sebagian pasien datang dengan kondisi stabil namun tidak sedikit juga datang dalam kondisi gawat darurat. Kejadian perdarahan akut saluran pencernaan tidak hanya terjadi di luar rumah sakit tetapi dapat juga terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit. yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat (Djumhana, 2005).
Manajemen perdarahan gastrointestinal terutama seperti pada kasus hemoragi varises esovagus merupakan suatu hal yang sangat menantang. Hal ini dikarenakan banyaknya komplikasi yang mungkin muncul baik sebelum maupun setelah penanganan. Salah satu tindakan life saving yang dapat dilakukan adalah esophagostric tamponade tubes dengan Sengstaken BlakemoreTube (SBT) (Day, 2001). Pada 60-90% pasien dengan acute variceal haemorrhage, Sengstaken Blakemore dapat menjadi alternatif terapi modalitas yang efektif dalam penanganan varies esophagus dan gastric varises (Yoshida, Marmada, Taniai, Yoshioka, Hirakata, Kawano, Mizuguchi, Shimizu, Ueda, and Uchid, 2012)
Sengstaken Blakmore tube telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1930an sebagai treatmen untuk perdarahan varises esophagus dan mulai sangat berkembang sejak tahun 1950 yang kemudian mulai muncul komplikasi (Hanna, Warren, Galambos, and Millikan, 1981). Meskipun tehnik Sengstaken Blakmore tube telah menjadi metode sejak lama dalam mengontrol perdarahan terutama pada varises esophagus, digambarkan juga beberapa kegagalan dalam menghentikan perdarahan dan tingginya morbiditas dan mortalitas yang dihasilkan akibat dari pemberian tehnik ini (Bauer, Kreel, and Kark, 1974). Melihat pro dan kontra dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengambil tema mengenai efektifitas Sengstaken Blakemore tube pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal sebagai bahan kajian.
Hal ini dimaksudkan agar dapat menjadi kajian referensi baru dalam dunia keperawatan untuk melihat efektifitas Sengstaken Blakemore tube pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal. Bagi perawat sendiri dalam praktik klinik dapat menjadi referensi terapi alternative mandiri keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien jika Sengstaken Blakemore tube terbukti efektif dalam menghentikan perdarahan gastrointestinal.

B.   Analisis Literature
Sengstaken-Blakemore merupakan sebuah pipa yang memiliki 4 lumen, yaitu esophageal lumen balloon, gastric balloon lumen, dan dua lumen yang mengaspirasi isi esofgus dan gastric (Abbenbroek, 2005). Sengstaken-Blakemore terdiri atas bagian distal ballon yang mengembang hingga ke abdomen dan bagian proksimal balloon yang mengembang hingga ke dalam esophagus (Barchini and Holt, 2011). Ketika gastric balloon dikembangkan kondisi ini akan mendesak dan memberikan tekanan pada area gastric dan varises esophagus sehingga dapat menahan adanya perdarahan. Esophageal lumen balloon dapat dikembangkan dan memiliki tekanan hingga 20-40 mm Hg (Abbenbroek, 2005).
Sengstaken-Blakemore menjadi salah satu alternative penanganan pertama dalam prosedur tetap di Royal Prince Alfre Hospital Intensive Care selain Linton Nachlas Tube. Sengstaken-Blakemore tube memiliki volume maksimal hingga 250 ml. Sedangkan esophageal lumen balloon memiliki kapasitas maksimal 150 ml (Abbenbroek, 2005).
Namun dalam wacana mengenai keefektifan Sengstaken Blakemore tube sebagai life saving dalam menghentikan perdarahan gastrointestinal, Sengstaken Blakemore tube juga memiliki komplikasi (Abbenbroek, 2005). Komplikasi yang mungkin muncul 10-40% kasus adalah aspirasi pneumonia, perforasi esophagus dan gastric, rupture balloon, obstruksi jalan nafas, fistula bronkoesofageal, dan nekrosis pressure (Barchini and Holt, 2011). Di bawah ini merupakan gambar Sengstaken-Blakemore tube.

Gambar 1: Sengstaken BlakemoreTube

Bauer et al (1974) melakukan penelitian kepada 47 pasien yang dibagi ke dalam 2 kelompok. Dua pulu lima (25) pasien dengan perdarahan aktif varises esophagus dan tamponade esophagus diberikan Sengstaken Blakmore tube untuk mengontrol perdarahan, sedangkan 22 lainnya tidak mendapatkan Sengstaken Blakmore tube. Hasil yang didapatkan dari penelitian adalah Sengstaken Blakmore tube sukses dalam menghentikan perdarahan pada 21 pasien dan 4 lainnya harus mendapatkan emergency portosystemic shunt sebagai penanganan lanjutan. Dari 21 pasien yang sukses dengan Sengstaken Blakmore tube, 12 diantaranya tidak mengalami perdarahan berulang dan 9 lainnya mengalami perdarahan berulang. Dari 9 pasien yang mengalami perdarahan berulang 6 diantaranya dilakukan pengembangan Sengstaken Blakmore tube ulang dan 3 lainnya gagal untuk di kontrol hingga harus dilakukan urgent operasi. Sedangkan 6 pasien yang dilakukan pengembangan ulang Sengstaken-Blakmore tube perdarahan berulang dapat dikontrol dengan sukses (Bauer, Kreel, and Kark, 1974).
Literatur review yang dilakukan oleh  Garcia-Tsao et al (2007) mencoba menganalisa berbagai jurnal terkait beberapa manajemen tindakan pada pasien dengan varises dan variceal hemoragi salah satunya adalah Ballon tamponade dengan Sengstaken Blakmore tube. Hasil analisa didapatkan Ballon tamponade dengan Sengstaken Blakmore tube sangat efektif dalam mengontrol perdarahan pada lebih dari 80% pasien (109 pasien). Bagaimanapun, tindakan ini digunakan dengan potensial komplikasi yang mungkin terjadi seperti aspirasi, perpindahan posisi tube, dan nekrosisi/perforasi pada esophagus dan terakhir tingginya mortalitas 20% pada pasien. Meskipun begitu, Ballon tamponade dengan Sengstaken Blakmore tube tetap harus diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang tidak terkontrol dengan terapi lain seperti TIPS. Hal yang harus diperhatikan selama penggunaan adalah manajemen jalan nafas pasien. Garcia-Tsao et al (2007) merekomendasikan, Ballon tamponade dengan Sengstaken Blakmore tube sebagai terapi efektif dalam 24 jam pada pasien dengan perdarahan tidak terkontrol dengan level evidence based Kelas 1 dan Level B. Kelas I diartikan sebagai kondisi untuk penerapan evidence base disetujui untuk diterapkan dalam prosedur diagnostic, perawatan, penggunaan dan efektif dalam pemberiannya. Level B diartikan sebagai hasil-hasil analisa literature yang didapat terdiri atas randomized trial atau non randomized study (Garcia-Tsao, Sanyal, and Grace, 2007).
Review yang dilakukan oleh McLean and McCartan (2008) terkait prosedur tetap (protap) pada Intensive Care Unit Management Committee Wenthworth Area Health Service mengenai pemasangan Sengstaken Blakemore Tube mendapatkan hasil protap pertama kali dibuat pada tahun 2000 dan direvisi pertama kali April 2005 dan mulai efektif digunakan April 2005. Review kemudian dilakukan oleh McLean and McCartan pada tahun 2008. Dalam protap terakhir ini dijelaskan tujuan dari pemasangan Sengstaken Blakemore Tube bertujuan untuk mengontrol perdarahan tidak lebih dari 24 jam. Spesialis gastroenterology pada intensive care unit atau perawat RN harus memasang Sengstaken Blakemore Tube pada pasien dengan perdarahan dan perawat  RN melakukan monitor, merawat dan melepas Sengstaken Blakemore Tube setelah 24 jam.
Sebuah studi kasus lain dilakukan oleh Barchini and Holt (2011) terhadap pasien berusia 62 tahun dengan AIDS dan serosis hepatis yang mengalami melena dan hematemesis. Ketika prosedur ini digunakan sebagai pengganti prosedur TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt), angka kejadian mortalitas selama 6 minggu pertama adalah 60%. Meskipun pemberian dan penempatan Sengstaken Blakemore memiliki banyak komplikasi secara signifikan, ini adalah simple bedside procedure yang dapat dilakukan sebagai life saving pada acute variceal haemorrhage (Barchini and Holt, 2011).
Wu et al pada tahun 2013 melakukan sebuah studi kasus yang dilakukan kepada pasien laki-laki 82 tahun dengan perdarahan aktif saluran pencernaan bagian atas dan mengalami syok hipovolemik. Perdarahan pasien berhenti dan hemodinamik pasien menjadi stabil setelah dilakukan tindakan pemasangan Sengstaken Blakemore Tube pada pasien. Pasien juga mendapatkan operasi sebagai penghentian perdarahan. Dalam penelitian ini Sengstaken Blakemore Tube tetap digunakan selama procedure operasi untuk meminimalisir perdarahan selama operasi. Berdasarkan study kasus yang dilakukannya, Sengstaken Blakemore Tube merupakan metode konvensional yang mudah untuk dipelajari, tehnik yang simple dan lebih efektif dan metode yang efisien dengan rendahnya komplikasi. Rekomendasi yang diberikan adalah Sengstaken BlakemoreTube dapat digunakan sebelum dan dalam intraoperatif pasien dengan perdarahan gastrointestinal (Wu, Hsu, Hung, Peng, and Chang, 2013).

C.   Strategi Penerapan/Pembahasan
Pro dan kontra penelitian yang dilakukan terkait penggunaan Sengstaken Blakemore Tube sebagai terapi pada pasien perdarahan gastrointestinal menjadi penentu dalam penerapannya di praktik klinik. Meskipun dirasa efektif sebagai prosedur terapi dan telah menajdi prosedur tetap pada Unit Perawatan Intensive (ICU) dan emergency department (ED), namun dibutuhkan clinical signifikansi dalam menentukan layak tidaknya terapi ini diterapkan dalam praktik klinik.


Tabel 1. Studi Klinis Keberhasilan SBT pada Pasien dengan Perdarahan GI
Peneliti/Tahun/Jurnal Publikasi/Judul Penelitian
Jumlah Resp
Penyakit
Intervensi Penelitian
Hasil
Level Evidance Based
Bauer et al./1974/ Ann Surg. 179 (3): 273-277/The use of the sengstaken-balemore tube for immediate control of bleeding esophageal varices

45
Pasien dengan perdarahan aktif varises esophagus
25 pasien dengan SBT dan 22 pasien tanpa SBT
(case study)
21 pasien yang diberikan tindakan Sengstaken Blakmore tube (SBT) sukses dalam menghentikan perdarahan. Dan 4 pasien lainnya membutuhkan emergency portosystemic shunt.
4
Garcia-Tsao et al./2007./ American Journal of Gastroenterol. 102: 2086-2102./ Prevention and management of gastroesophageal varices and variveal hemorrhage in cirrhosis.
(Systematic Review)

-
Pasien dengan varises dan variceal hemoragi

SBT
Terapi SBT efektif dalam 24 jam pada pasien dengan perdarahan tidak terkontrol dengan level evidence based Kelas 1 dan Level B.
2
Barchini et al./2011/ Yale Primary Care Residency Program. New Haven and Waterbury/
Interactable upper gastrointestinal bleeding: to Blakemore or Blakeless?
(Study case)
1
Pasien dengan AIDS dan serosis hepatis yang mengalami melena dan hematemesis.
SBT
Selama 6 minggu setelah pemberian angka mortalitas 60%. SBT sebagai simple bedside procedure yang dapat dilakukan sebagai life saving pada acute variceal haemorrhag.
4
Wu et al/2013./ Journal of Sace Reports. 3(1): 137-141./Successful Intraoperative Resucitation following upper gastrointestinal bleeding using the retrograde insertion of a sengstaken balkemore tube.
1
Pasien dengan perdarahan aktif saluran pencernaan bagian atas dan mengalami syok hipovolemik
SBT sebelum dan selama operasi.
Perdarahan pasien berhenti dan Hemodinamik pasien menjadi stabil
4
*  Sumber: (National Health and Medical Research Council, 2009) dan
(Melynyk, & Fineout-Overholt, 2011) dan (CEBM, 2011)
Efektifitas penerapan Sengstaken Blakemore tube pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal dapat dilihat berdasarkan penilaian level evidence based jurnal dan resferensi yang didapat. Level 1 pada penelitian dengan systematic review yang menggunakan randomize control trial, level 2 penelitian dengan randomize control, level 3 penelitian yang tidak menggunakan randomized konrol tetapi terdapat kelompok kontrol dan perlakuan atau bentuk eksperimen (Melynyk, and Overholt, 2011). Jurnal, artikel dan abstrak yang didapat level 4 jika berupa study kasus dan level 5 jika sebuah opini (CEBM, 2011).
Sebagai penguat clinical signifikansi penerapan Sengstaken Blakemore tube di praktik klinik, penulis mencoba membuat analisa SWOT terkait penerapannya. Kekuatan penerapan Sengstaken Blakemore tube pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal dapat dilihat berdasarkan level evidence basednya. Kelemahan dalam penerapannya adalah banyaknya komplikasi yang mungkin muncul pada pasien selama dan setelah pemasangan Sengstaken Blakemore tube. Dukungan dalam penerapan Sengstaken Blakemore tube ini dapat dilihat berdasarkan adanya protap di beberapa rumah sakit yang telah sejak lama menggunakan Sengstaken Blakemore tube sebagai terapi (Abbenbroek, 2005). Ancaman dalam penerapan Sengstaken Blakemore tube dapat berupa urgent operasi atau emergency portosystemic shunt sebagai penanganan lanjutan jika dirasa gagal. Hal ini terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Bauer et al (1974), dimana 4 pasien yang langsung gagal dan 3 pasien yang mengalami perdarahan berulang dan kemudian gagal dalam menghentikan perdarahan membutuhkan emergency portosystemic shunt. Ancaman lain dapat terjadi jika komplikasi pemasangan Sengstaken Blakemore tube muncul, hal ini justru dapat memperparah kondisi pasien.
Mempertahankan kepatenan jalan nafas dan restorasi volume intravascular dalam menghentikan perdarahan dengan cepat adalah tujuan tata laksana awal dalam perdarahan gastrointestinal. Infus kristaloid awal, sampai 30 mL/ kg, dapat diikuti transfusi darah O-negatif atau yang crossmatched jika diperlukan. Pasien dengan perdarahan aktif memerlukan konsultasi secepatnya terkait tindakan esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang mungkin diperlukan. Pasien tanpa perdarahan aktif dapat dipantau, diobservasi, dan mungkin dijadwalkan untuk EGD. Jika tindakan ini gagal menghentikan perdarahan, angiografi dengan embolisasi atau pembedahan mungkin diperlukan. Untuk pasien yang diduga mengalami perdarahan varises, tata laksana medis dapat diberikan sambil menunggu tindakan definitif. Oktreotid dapat digunakan untuk menurunkan tekanan vena porta, dan pipa Sengstaken-Blakmore dapat dipasang sebagai tindakan sementara untuk bertahan (Yoshida, Marmada, Taniai, Yoshioka, Hirakata, Kawano, Mizuguchi, Shimizu, Ueda, and Uchid, 2012). Maksimal waktu untuk mempertahankan terapi ini adalah 36 jam untuk esophageal balloon dan 72 jam untuk gastric balloon (Day, 2001).
Meskipun dirasa efektif, namun tidak dapat di kesampingkan komplikasi yang mungkin muncul pada kasus pemasangan Sengstaken Blakemore tube. Salah satu komplikasi yang jarang terjadi pada pasien dengan Sengstaken Blakemore tube adalah Transesofageal fistula (TEF). Kim et al (2012) melakukan study kasus pada seorang pasien wanita (80 tahun) yang memiliki pengalaman TEF setelah terapi Sengstaken Blakemore tube. Pada pasien ini, Sengstaken Blakemore tube berperan sebagai terapi mengontrol perdarahan khususnya varises esophagus dengan atau tanpa farmakologi terapi. Sengstaken Blakemore tube dirasa efektif untuk diberikan pada pasien (Kim, Kim, Lee, Jeon, Cho, H. J., Park, C. H., Cheung, D. H., and Cdo, 2012).
Sebelum melakukan tindakan, ada beberapa alat yang harus dipersiapkan saat pemasangan yaitu; Sengstaken-Blakemore tube, trolley perlengkapan, lubricant, 50 ml syringe, klem, kantung cairan 500-1000mls, IV pole, perlengkapan resusitasi. Kemudian dilanjutkan dengan prosedur pemasangan. Sebelum melakukan tindakan, jelaskan kepada pasien terkait procedure yang akan dilakukan, lakukan uji kemampuan balon untuk mengembang dan mengempis, lakukan kontrol infeksi pada pembatasan manajemen cairan, ukur panjang tube, berikan pelumas pada tube, masukkan tube dapat melalui nasal atau oral dan dilanjutkan hingga ke abdomen. Balon kemudian dikembangkan, dan kunci dengan 50 ml udara. Kaji kemungkinan adanya resistensi gastric ballon. Terakhir periksa posisi kepatenan balloon dengan foto rontgen (Barchini and Holt, 2011). Di bawah ini merupakan gambar pemasangan Sengstaken Blakmore tube pada pasien.

220px-Sengstaken-Blakemore_scheme_EN
Gambar 2: Pasien yang terpasang Sengstaken-Blakmore tube

Tehnik Sengstaken-Blakmore tube yang dilakukan oleh Bauer et al (1974) dalam penelitiannya kepada 25 pasien diberikan melalui nasal. Prosedure yang dilakukan  dalam penelitian Bauer et al tidak  berbeda dengan prosedur yang dijadikan sebagai prosedur tetap pada Royal Prince Alfre Hospital Intensive Care (Abbenbroek, 2005). Kepatenan lumen dan pengembangan balon dipastikan dengan baik. Sebelum pemasangan Sengstaken-Blakmore tube, dilakukan lavase lambung dengan menggunakan cairan normal saline es. Tube diberikan lubrikan dan kemudian dimasukkan via rute nasal, panjang tube 50 cm dengan pengembangan maksimal gastric balloon 200 ml untuk udara sebagai klem. Sengstaken-Blakmore tube dipertahankan selama 24 jam. Volume darah, fungsi hati, status koagulan, cairan dan elektrolit dikaji, gangguan lain dikoreksi jika memungkinkan. Karena darah residual dari traktus gastrointestinal mungkin menyebabkan portosystemic ensefalopati, kolon dikosongkan dengan enema dan diulangi hingga benar-benar bersih (Bauer, Kreel, and Kark, 1974). 
Ada beberapa hal yan harus dipertimbangkan sebelum, dan selama pemberian Sengstaken Blakmore tube yaitu memberikan pendidikan kepada pasien berkaitan dengan tube yang akan dipasang, mempertimbangkan pemberian sedasi dan analgesi untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat prosedur tindakan. Selama pasien menggunakan Sengstaken-Blakmore tube periksa hidung dan mulut untuk memastikan kemungkinan berpindahnya atau bergesernya tube. Posisi pasien kepala 45 derajat untuk membantu mengosongkan gastric dan mencegah aspirasi. Berikan oral dan nasal hygine dan terakhir pastikan esophagus bersih dari drainage (Abbenbroek, 2005).
Selain itu, ada beberapa hal yang harus diantisipasi oleh perawat selama pasien di berikan Sengstaken-Blakmore tube yaitu selama periode aktif perdarahan, pantau tanda dan gejala syok hipovolemik yang mungkin muncul pada pasien. Observasi tanda-tanda vital pasien serta haluran urine terkait jumlah, warna dan karakteristik urine. Jika pasien sadar dan Sengstaken-Blakmore tube dipasang melalui oral, sampaikan pada paien untuk tidak menggigit tube yang terpasang. Periksa tekanan esophageal balloon dengan manometer yang terpasang setiap 30-60 menit sekali. Hal ini dikarenakan esophageal balloon dapat berubah dengan adanya pergerakan respiratory dan kontraksi esophageal (Dunton, 1963).
Beberapa hal lain yang harus diantisipasi adalah kemungkinan terjadinya rupture esophageal dan gastric balloon, dan jika itu terjadi balloon harus segera dikempiskan dan dimulai dilakukannya CPR. Perawat dapat mengempiskan balon selama 5-10 menit setiap 12 jam sekali untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada esophagus. Untuk mengecek kepatenan dapat dilakukan irigasi lumen dengan menggunakan normal saline. Perhatikan posisi pasien selama terpasang Sengstaken-Blakmore tube. Pasien tetap harus berada dalam posisi semi fowler. Terakhir pasien harus selalu diberikan perawatan mulut dan hidung selama terpasang Sengstaken-Blakmore tube (Patient Services Committee, 1983).

D.   Kesimpulan
Perdarahan gastrointestinal merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai tidak hanya di emergency department, tetapi juga pada pasien-pasien yang di rawat di rumah sakit. Melihat kondisi ini dibutuhkan suatu penanganan yang cepat dan tepat untuk menghentikan peradarahan. Salah satu tindakan life saving yang dapat dilakukan adalah esophagostric tamponade tubes dengan Sengstaken-Blakemore. Meskipun dirasa efektif sebagai prosedur terapi dan telah menjadi prosedur tetap pada beberapa Unit Perawatan Intensive (ICU) dan emergency department (ED), tidak dapat di kesampingkan komplikasi yang mungkin muncul pada pemasangannya. Sehingga membutuhkan  monitoring dari perawat baik sebelum, selama dan sesudah pemasangan Sengstaken Blakemore Tube pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal.

E.    Daftar Pustaka

Abbenbroek Brett. (2005). Intensive Care Service Nursing Policy and Procedures. Royal Prince Alfre Hospital Intensive Care Services.
Bauer, J. J., Kreel, I., and Kark, A. E. (1974). The use of the sengstaken-balemore tube for immediate control of bleeding esophageal varices. Ann Surg. 179 (3): 273-277.
Barchini, S., and Holt, S. (2011). Interactable upper gastrointestinal bleeding: to Blakemore or Blakeless?. Yale Primary Care Residency Program. New Haven and Waterbury.
Day, M. W. (2001). Esophagogastric tamponade tube. In D. Lynn-McHale & K. Carlson (Eds). AACN procedure manual for critical care (4th ed). Philadelphia: Saunders.
Djumhana Ali. (2005). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. Bagian Ilmu Penyakit Dalam. RS Dr. Hasan Sadikin. Bandung.
Dunton, F. R. (1963). Science concepts: nursing care ofpatients with bleeding esophageal varices. The School of Nursing Bostoon University.
Garcia-Tsao, G., Sanyal, A. J., and Grace, N. D. (2007). Prevention and management of gastroesophageal varices and variveal hemorrhage in cirrhosis. American Journal of Gastroenterol. 102: 2086-2102.
Hanna, S. S., Warren, D., Galambos, J., and Millikan, W. J. (1981). Bleeding varices: emergency management. CMA Journal. 1(124). 29-41.
Kim, H. J., Kim, J. H., Lee, S. J., Jeon, J. H, Cho, H. J., Park, C. H., Cheung, D. H., and Cdo, S. H. (2012). Tracheoesophageal fistula in the treatment of gastric variceal hemorrhage with Sengstaken-Blakemore Tube. The Korean Journal of Helicobacter and Upper Gastrointestinal Research. 12(3). 188-191. 
McLean, A., and McCartan, A. (2008). Insertion, care and removel of the Sengstaken Blakemore or Linton Tube. Wentworth Area Health Service.
Melynyk, B. & Fineout-Overholt, E. (2011). Evidence-based practice in nursing & healthcare: A guide to best practice (2nd ed.).  Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins.
National Health and Medical Research Council (2009). NHMRC levels of evidence and grades for recommendations for developers of guidelines (2009). Australian Government: NHMRC.
Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (CEBM). (2011). Levels of Evidence Levels of Evidence Working Group. www.cebm.net
Patient Services Committee. (1983). Blakemore (Sengstaken) Tube-Care of Patient with-assisting with removal. Saskatoon Health Region.
Wu, C., Hsu, H., Hung, C., Peng, C., and Chang, Y. (2013). Successful Intraoperative Resucitation following upper gastrointestinal bleeding using the retrograde insertion of a sengstaken balkemore tube. Journal of Sace Reports. 3(1): 137-141.
Yoshida, H., Marmada, Y., Taniai, N., Yoshioka, M., Hirakata, A., Kawano, Y., Mizuguchi, Y., Shimizu, T., Ueda, J., and Uchida, E. (2012). Treatment Modalities for Bleedingg Esophagogastric Varices. J Nippon Med. 79(1): 19-30.

Kamis, 06 Juni 2013

HELIOX (HELIUM DAN OKSIGEN) PADA PASIEN ASMA AKUT DI EMERGENCY DEPARTMENT

ESSAY


TERAPI MODALITAS HELIOX (HELIUM DAN OKSIGEN)
PADA PASIEN ASMA AKUT DI EMERGENCY DEPARTMENT




http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015

  

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


                
A.   Latar Belakang
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang telah lama menjadi wacana baik pada populasi dewasa maupun anak-anak. Pasien dengan asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Ketidakmampuan ini tercermin dari hasil usaha ekspirasi paksa atau Peak Expiratory Flow Rates (PEFs) pada detik pertama. Individu dengan asma dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus yang abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran nafas. Asma membutuhkan penanganan, perawatan dan evaluasi secara komprehensif dengan penerapan diet yang tepat, pencegahan alergen, dan pengobatan atau medikasi manajemen yang tepat (Sanchez, 2009).
Status asthmaticus didefinisikan oleh Bechler Karsch (1994) sebagai serangan asma yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian jika tidak mendapatkan manajemen yang benar. Sebagian besar pasien dengan exacerbations akut dari asma gagal berespon pada terapi rutin yang diberikan. dan mungkin memerlukan intubation segera dan ventilsi mekanik. Inisiasi dari ventilasi mekanis pada pasien dengan asma yang parah dapat menyelamatkan jiwa, tapi ini terkait dengan peningkatan morbiditas pasien. Sehingga dilakukan suatu penelitian pada sebuah grup kecil untuk mempelajari pemberian heliox sebagai terapi definitive menggantikan terapi konvensional biasa yang umumnya dengan menggunakan oksigen (Reuben and Harris, 2004).
Heliox merupakan campuran helium dan oksigen. Helium adalah gas inert yang tidak memiliki efek samping atau efek terapetik secara langsung. Karena campuran ini memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan udara, aliran turbulen yang diberikan akan berubah menjadi lebih laminar, yang menurunkan resistensi jalan nafas terhadap aliran udara (Papiris, Manali, Kolilekas, Triantafillidou, Tsangaris, 2009).
Peran heliox pada pasien dengan gangguan jalan nafas seperti asma terutama pada penurunan resistensi jalan nafas terhadap aliran udara. Aliran udara pada  jalan nafas pasien asma bersifat turbulen sehingga meningkatkan resisitensi dan kesulitan pernapasan pad pasien asma. Heliox yang memiliki kepadatan rendah dapat mengubahnya menjadi aliran laminer. Aliran laminer yang ada berdampak pada efisiensi pengiriman oksigen ke bagian yang lebih distal dari pohon bronkus Sehingga udara yang terhirup dapat segera sampai pada bagian distal bronkus dan menurunkan usaha pernapasan untuk memenuhi kekurangan oksigen akibat penyempitan jalan nafas (Reuben and Harris, 2004).
Heliox bertindak menurunkan usaha ambilan udara pada jalan nafas dan memungkinkan peningkatan ventilasi saat ekspirasi. Ini merupakan salah satu dari dua alasan utama penggunaan heliox terapi direkomendasikan selain mampu mengubah aliran turbulent menjadi lebih efisien seperti aliran laminar. Alsan kedua, adalah heliox memiliki densitas rendah. Dengan densitas atau kepadatan yang rendah, heliox menurunkan gradien tekanan yang diperlukan untuk mencapai tingkat tertentu aliran turbulent pada pasien asma dan dalam teori hal ini dapat mengurangi fungsi kerja pernapasan (Reuben and Harris, 2004). Berdasarkan pada latarbelakang di atas, penulis tertarik untuk mengambil terapi modalitas heliox (helium dan oksigen) pada pasien asma akut di emergency department sebagai judul.

B.   Manfaat
Pemberian heliox pada pasien diharapkan mampu menurunkan kerja pernapasan pasien asma dan memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien yang umumnya mengalami penyempitan jalan nafas. Sehingga dapat meningkatkan usaha perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang baik dalam perawatan pasien asma terutama pada pasien asma akut sedang hingga berat yang tidak berespon pada terapi konvensional biasa dengan menggunakan oksigen di ruang emergency. Melalui ini, diharapkan dapat menggiring penelitian-penelitian lanjutan untuk meningkatkan temuan efek heliox pada pasien asma.

C.   Analisis Literature
Sama seperti pemberian terapi oksigen pada umunya, pemberian heliox pada beberapa pasien dapat diberikan melalui non-rebreathing mask untuk meningkatkan ventilasi, menurunkan kerja pernapasan, dan menunda terjadinya kelelahan otot-otot pernapasan (Papiris, Manali, Kolilekas, Triantafillidou, Tsangaris.2009). Penggunaan heliox ini lebih diutamakan pada pasien dengan asma akut sedang hingga berat. Penggunaan Heliox pada pasien asma dan obstruksi jalan nafas bagian atas tidak untuk mengobati penyakit yang mendasari tetapi digunakan untuk mengurangi resistensi airways dan kerja otot pernapasan hingga perawatan definitif yang diperlukan pasien diberikan seperti intubasi (Reuben and Harris, 2004).
Penggunaan heliox sesungguhnya telah dimulai sejak 65 tahun lalu. Namun, masih menjadi pro dan kontra dalam penggunaan heliox sebagai terapi pada pasein asma akut sedang hingga berat. Campuran helium dan oksigen yang dianjurkan adalah menggunakan helium lebih dari 70% dengan kata lain 70% helium dan 30 % oksigen atau dapat 80% helium dan 20 % oksigen. Beberapa penelitian menyebutkan heliox memberikan efek yang baik pada pasien dengan asma akut sedang hingga berat yang tidak berespon dengan terapi konvensional biasa menggunakan oksigen. Namun penelitian lain juga menyebutkan heliox tidak memberikan efek yang berarti dan hanya memberikan efek placebo dalam perawatan pasien asma (Reuben and Harris,  2004).
Kass dan Terregino (1999) melakukan penelitan randomized trial control pertama kali dalam penggunaan heliox (70:30 helium:oksigen) dibandingkan dengan konvensional menggunakan oksigen pada pasein akut eksaserbasi asthma. Pasien yang terlibat yaitu 23 pasien dewasa dengan nilai klinis eksaserbasi asma seperti yang didefinisikan oleh PEFR dalam 200 l/min. Semua pasien menerima pengobatan konvensional seperti pada protocol (methylprednisolone intravena, nebulised albuterol) dan diacak untuk beberapa pasien yang menerima Heliox (11 pasien) atau oksigen (12 pasien) untuk melihat ada tidaknya perbaikan klinis dan PEFR pada 200 l/min. Sembilan orang yang ikut dalam study kelompok pengobatan dengan heliox telah lebih dari 25% mengalami peningkatan PEFR pada 20 menit pertama dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan oksigen. Mereka juga menemukan bahwa pengobatan dengan Heliox dapat menurunkan kejadian dyspnoe dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini adalah randomize control trial pertama kali untuk penelitian efektifitas heliox,
Overview yang dilakukan oleh Kim dkk (2006) mendukung penelitian-penelitian di atas mengenai efektifitas pemberian nebulizer albuterol dengan heliox-driven menunjukkan hasil bahwa heliox-driven nebulizer albuterol memiliki manfaat pada pasien dengan asma eksaserbasi di ED dan ICU (Intensive Care Unit). Kim dkk (2006) melakukan studi berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan terhadap keefektifan heliox dibandingkan dengan oksigen. Penelitian yang dilakukan Kim sendiri pada tahun 2005 kepada 30 pasien dengan berumur 2-18 tahun menunjukkan hasil skor klinik pada menit ke 120, 180 dan 240 setelah pemberian heliox pada nilai klinis pasien (Kim, Saville, Sikes, Corcoran, 2006).
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kim pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk pada tahun 2005 kepada 80 pasien yang berumur > 18 tahun menunjukkan heliox dapat meningkatkan nilai PEF pasien lebih cepat dibandingkan dengan oksigen. Dan pada pasien dewasa heliox lebih berpengaruh terutama pada satus asma akut sedang hingga berat (Kim, Saville, Sikes, Corcoran, 2006).
Study lain yang dilakukan oleh Rose dkk (2002) mendapatkan hasil berbeda. Study ini bertujuan mengevaluasi efektifitas dari heliox-driven nebulizer pada manajemen pasien asma eksaserbasi moderate di Emergency Department (ED). Intervensi yang diberikan dalam penelitian ini yaitu terapi nebulizer driven 70:30 heliox dan nebulizer dengan oksigen oksigen. Nilai respiratory rate, Peak Expiratory Flow Rate (PEFR), Forced Expiratory Volume pada jam pertama (FEV1), dan skala Borg untuk dyspnea dinilai pada jam ke-0 dan ke 2. Gambaran kondisi klinis yang ditunjukkan pasien juga dikaji.
Total responden 36 pasien dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (18 heliox dan 18 oksigen). Ada peningkatan signifikan interval dalam kelompok kedua pada 2 jam pertama pada nilai PEFR, FEV1, skala Borg, dan laju pernafasan pasien. Ada perbedaan yang signifikan antara heliox 70:30 dan oksigen dalam PEFR (perbaikan perbedaan 17 liter/minute, 95% confidence interval (CI)-20-51], FEV1 (0.03 liter/detik, 95% CI-0.22-0.30), atau tingkat pernapasan (peningkatan perbedaan berarti antara kelompok perbaikan 0,5, 95% CI-2.7-3,8). Ada peningkatan yang signifikan pada skala Borg untuk menilai dyspnea yang dirasakan pasien Setelah 2 jam pemberian pada kelompok perlakuan yang diberikan heliox (1.6, 95% CI 0.3-3.0). Dalam hasil study ini pasien dengan asma exacerbation moderate yang diberikan heliox gagal menunjukkan peningkatan laju pernafasan, saturasi oksigen, PEFR, atau FEV1 setelah 2 jam. Namun, ada peningkatan yang signifikan dalam penurunan dyspnea dirasakan pasien pada heliox atas udara/oksigen diukur oleh Borg dyspnea skala (Rose, Panacek, Miller, 2002).
Studi lain yang dilakukan oleh Rodrigo dkk (2003) melalui systematic review penelitian sebelumnya dengan tujuan untuk menentukan efek penambahan pemberian heliox pada standar perawatan medis pasien dengan asma akut. Desain yang dilakukan adalah dengan review sistematis secara acak dan nonrandomized prospective, dengan control trial yang dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa. Intervensi ini diberikan untuk melihat efek placebo yang mungkin dari pemberian heliox bila digunakan pada perawatan asma akut sesuai standar. Penilaian yang dilihat pada tes fungsi paru-paru, kejadian masuk rumah sakit, penilaian fisiologis, efek samping, dan hasil klinis. Hasil yang didapat menunjukkan tujuh uji trial yang dipilih dari total 392 uji pada pasien penderita asma akut. Enam studi pada orang dewasa dan satu studi pada anak-anak. Variabel hasil utama adalah pengukuran spirometric (puncak aliran expiratory atau FEV1) di enam percobaan (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Dilakukan evaluasi pada dua penelitian efek heliox pada resistensi airways. Tidak ada perbedaan signifikan yang berarti ditunjukkan antara kelompok heliox maupun kelompok  dengan pemberian oksigen (SMD, -0,20; dengan nilai convidence interval 95%. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara penggunaan nebulizer dengan heliox dengan kelompok yang diberikan nebulizer dengan oksigen. Studi ini menunjukkan tidak meningkat secara signifikan fungsi pulmonary setelah diberikan heliox. Namun secara keseluruhan, heliox tidak memberikan efek samping pada pasien. Sehingga, berdasar pada analisa bukti-bukti yang ada, tidak mendukung penggunaan heliox untuk pasien asma akut sedang  hingga berat pada kondisi gawat darurat. Namun, kesimpulan ini didasarkan pada perbandingan antara kelompok dan penelitian kecil yang hanya dilakukan pada tujuh responden (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Hasil sistematik review yang dilakukan Rodrigo dkk (2003) ini memiliki kelemahan dan kekurangan yang telah mereka cantumkan. Ada kemungkinan publikasi bias dalam meta-analisis ini. Misalnya, dengan hasil-hasil penelitian yang tidak dipublikasikan atau yang hilang. Namun Rodrigo dkk (2003) juga telah menyampaikan cara-cara yang ditempuh untuk mengurangi bias dalam penelitian ini sehingga kesimpulan akhir yang dapat diberikan adalah jumlah dan ukuran studi yang dilakukan dalam penelitiannya menggunakan sample kecil, sehingga kesimpulan hasil yang ada saat ini dapat dimodifikasi melalui peninjauan systematic review yang menggunakan sampel lebih besar (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Karena heliox merupakan gas inert yang tidak memiliki efek samping pada proses metabolism manusia, heliox dapat digunkan dengan aman pada kebanyakan pasien. Namun terdapat satu kajian pustaka yang menyebutkan efek samping pemberian heliox dapat menyebabkan hipoksia pada pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen yang tinggi yang tidak dapat mentolelir pemberian helium yang terlalu berlebihan. Namun sejauh ini heliox aman digunakan pada pasien asma dan pasien obstuksi jalan nafas bagian atas (Reuben and Harris, 2004).

D.   Clinical Significant
Pro dan kontra penelitian yang dilakukan terkait penggunaan heliox sebagai terapi pada pasien asma akut sedang hingga berat menjadi penentu dalam penerapannya di praktik klinik. Meskipun heliox diketahui tidak memiliki efek samping yang berarti pada proses metabolisme pasien, namun dibutuhkan clinical signifikansi dalam menentukan layak tidaknya terapi ini diterapkan dalam praktik klinik.
Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh Kim dkk (2006) dan Gupta dkk (2005) yang melakukan analisis terhadap keefektifitas heliox sebagai terapi pada pasien asma akut sedang hingga berat yang menunjukkan hasil mampu menurunkan kerja pernapasan, menurunkan skor dypsneu dan meningkatkan nilai PEFR pasien. Hasil berbeda ditunjukkan oleh overview yang dilakukan oleh Rodrigo dkk (2003) bahwa bukti-bukti jurnal yang ia dapatkan tidak mendukung penggunaan heliox untuk pasien asma akut sedang hingga berat pada kondisi gawat darurat.Tingkat signifikansi klinis penggunaan heliox (helium dan oksigen) pada terapi pasien asma di emergency department diperkuat dengan hasil beberapa penelitian yang tercantum pada tabel (Tabel 1 dan Tabel 2).
Penulis mencoba melihat dari 8 artikel, abstrak atau jurnal penelitian yang didapatkan dengan 3 randomized controlled trial (RCT) dan 3 sistematic review dan 5 analisis. Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidance-based Medicine of Evidence (Oxford Centre for Evidance-Based Medicine 2011 Levels of Evidance, 2011). Berdasarkan pada hasil intrepretasi yang didapatkan dimana level 1 pada penelitian dengan systematic review yang menggunakan randomize control, level 2 penelitian dengan randomize control, level 3 penelitian yang tidak menggunakan randomized konrol tetapi terdapat kelompok control dan perlakuan atau bentuk eksperimen (Melynyk, and Overholt, 2011). Dalam jurnal, artikel dan abstrak yang didapat tidak ada level 4 dan 5 dikarenakan tidak ada penelitian yang studi kasus (level 4) dan level 5 yang merupakan sebuah opini. Hasil penilaian evidence base jurnal-jurnal yang didapatkan menunjukkan bahwa level evidence based heliox therapy untuk diterapkan pada praktik klinik tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan terapi konvensional dengan oksigen pada umumnya. Sehingga dengan atau tanpa pemberian heliox terapi sebagai pengganti oksigen tidak akan terlalu berpengaruh pada status pernapasan dan kondisi klinis pasien asma akut sedang hingga berat di emergency department.

Tabel 1. Studi Klinis Keberhasilan Heliox sebagai Terapi pada Pasien Asma
Peneliti/Tahun/Jurnal Publikasi/Judul Penelitian
Jumlah Res
Penyakit
Intervensi Penelitian
Hasil
Level Evidance Based
Lee et al./2005/Acad Emerg Med/ Beneficial effects of Albuterol therapy driven by Heliox versus by Oxygen in severe asthma exacerbation
80
Acute asthma Excerbation
Albuterol nedulized with oxygen vs. Heliox
Meningkatkan Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan score dyspnea
3
Sattonnet et al./2005/Poster/The efficacy of Helium-oxygen mixture 65% versus 35% in acute asthma exacerbation
204
Acute asthma
Conventional treatment vs. heliox therapy
Perbaikan pada nilai spirometri, menghindari intubasi dan memfasilitasi fase pemulihan pasien lebih cepat. 
3
Gupta et al./2005/Pediatric Crit Care Med/Heliox administration in the pediatric intensive care unit: An evidence-based review
Review
Asthma
Heliox therapy
Heliox memiliki efek positif dengan tidak memberikan efek samping. Diperlukan studi lanjutan untuk mengidentifikasi manfaat heliox.
1
Ho et al./2003/Chest/Heliox vs. air-oxygen mixtures for the treatment of patients with acute asthma
278
Acute asthma
Conventional treatment vs. Heliox
Manfaat ringan hingga sedang didapatkan dalam penggunaan pada jam pertama pasien asma berat.
3
Kass et. Al/1999/Chest/ the effect of heliox in acute severe asthma: a randomized controlled trial
23
Refractory asthma
Nebulized albuterol vs. steroid
Heliox memperbaiki parameter
2


Tabel 2: Studi Klinis Ketidakberhasilan Heliox sebagai Terapi pada Pasien Asma
Peneliti/Tahun/Jurnal Publikasi/Judul Penelitian
Jumlah Res
Penyakit
Intervensi Penelitian
Hasil
Level Evidance Based
Rose et al./2002/J Emerg Med/ Prospective Randomized trial of Heliox-driven continuous nebulizer in the treatment of asthma in the emergency department
36
Acute asthma
Albuterol nebulized
Tingginya pengaruh pada dyspnea score namun heliox tidak mampu menunjukkan peningkatan laju pernafasan, saturasi oksigen, PEFR, atau FEV1.
2
Rodrigo et al./2003/Chest/ Use of Helium-oxygen mixtures in the treatment of acute asthma
392
Acute asthma
Conventional therapy vs. heliox
Tinjauan dari 7 uji klinis membandingkan efek placebo heliox dalam hubungannya dengan perawatan standar pada pasien akut asma.
1
Bigham et al./2010/ Pediatr Crit Care Med /Helium/Oxygen-driven albuterol nebulization in the management of children with status asthmaticus: A randomized, placebo-controlled trial.
25
Status asthmaticus severe
Heliox-powered nebulized albuterol vs. oxygen-powered nebulized albuterol (placebo)
Heliox tidak menunjukkan mempercepat peningkatan perbaikan kondisi klinis pasien dan menurunkan waktu tunggu pasien di ED dibandingkan dengan yang deiberikan oksigen. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok.
2

E.    Kesimpulan
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Asma membutuhkan penanganan yang tepat sehingga dapat direkomendasikan pemberian heliox (helium dan oksigen) sebagai alternative pengganti oksigen sebagai terapi konvensional umumnya. Heliox secara umum tidak memberikan efek samping bagi pasien. Namun, berdasar pada jurnal-jurnal yang ada terdapat pro dan kontra dalam efektifitas heliox pada pasien asma akut sedang dan berat di emergency department. Hasil penilaian clinical signivikansi berdasarkan level evidence base menunjukkan heliox tidak terlalu signifikan untuk dapat diterapkan dan memberikan perubahan pada kondisi klinis pasien asma. Sehingga dengan atau tanpa pemberian heliox terapi sebagai pengganti oksigen tidak akan terlalu berpengaruh pada status pernapasan dan kondisi klinis pasien asma akut sedang hingga berat di emergency department.

F.    Daftar Pustaka
   Bigham. M. T., Jacobs. B. R., Monaco. M. A., Brili. R. J., Wells. D., Conway. E. M., Wheeler. D. S. (2010). Helium/Oxygen-driven albuterol nebulization in the management of children with status asthmaticus: A randomized, placebo-controlled trial. Pediatr Crit Care Med. 11(3)
   Carter. E. R., Webb. C. R., and Moffitt. D. R. (1996). Evaluation of heloix in children hospitalized with acute severe asthma. A randomize crossover trial. Chest. 109 (5): 1256-61.
   Kass. J. E., and Terregini. C. A. (1999). Heliox therapy in acute severe asthma; a randomized controlled trial. Chest. 116: 296-300.
   Kim. I. K., Saville. A. L., Sikes. K. L., Corcoran. T. E. (2006). Heliox-Driven Albuterol Nebulization for asthma exacerbations: An Overview. Respir Care. 51(6): 613-618. 
   Melynyk, B. and Fineout-Overholt, E. (2011). Evidence-based practice in nursing & healthcare: A guide to best practice (2nd ed.).  Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins.
   Oxford Centre for Evidance-Based Medicine 2011 Levels of Evidance. (2011). www.cebm.net 
   Papiris. S. A., MAnali. E. D., Kolilekas. L., triantafillidou. C., Tsangaris. I. (2009). Acute Severe Asthma; New Approaches to Assesment and Treatment. Adis Data Information.
   Reuben. A. D., and Harris. A. R. (2004). Heliox for asthma in the emergency department: a review of the literature. Emerge Med J. 21(2). 131-5.
   Rodrigo. G. J., Rodrigo. C., Pollack. C. V., and Rowe. B. (2003). Use of Helium-Oxygen Mixtures in the Treatment of Acute Asthma. CHEST. 123(3). www.chestjournal.org
  Rose. J. S., Panacek. E. A., Miller. P. (2002). Prospective Randomized trial of Heliox-driven continuous nebulizer in the treatment of asthma in the emergency department. J Emerg Med. 22(2): 133-7.
  Sanchez Jesus. (2009). Uncontrolled asthma: Osteopathic Manipulative Treatment Applied in Rural Setting. Journal of The American Osteopthic Association. 19(3).

   Shiue. M. D., and Gluck. E. H. (1989). The use of helium-oxygen mixture in the support of patients with status asthmaticus and respiratory acidosis. J. Asthma. 26: 177-80.