Selasa, 26 Maret 2013

INDIKASI HUKUM DALAM DOKUMENTASI KEPERAWATAN DI INDONESIA

                  INDIKASI HUKUM DALAM DOKUMENTASI KEPERAWATAN DI INDONESIA

Etika dan Hukum Dalam Keperawatan

Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

A.   Pendahuluan
Pendokumentasian merupakan unsur terpenting dalam pelayanan keperawatan. Karena melalui pendokumentasian yang lengkap dan akurat akan memberi kemudahan bagi perawat dalam menyelesaikan masalah klien (Martono, 2012). Profesi perawat mengemban tanggung jawab yang besar dan menuntut untuk memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diterapkan pada asuhan keperawatan sesuai dengan standar dan kode etik profesi. Dimana keperawatan yang memberikan pelayanan 24 jam terus menerus pada klien, dan menjadi satu-satunya profesi kesehatan di rumah sakit yang banyak memberikan pelayanan kesehatan pada diri klien (Ferawati, 2012).
Dokumentasi asuhan keperawatan mempunyai aspek hukum, jaminan mutu, komunikasi, keuangan, pendidikan, penelitian, dan akreditasi (Nursalam,2001). Dokumentasi keperawatan adalah suatu mekanisme yang digunakan untuk mengevaluasi asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien. Fungsi pendokumentasian keperawatan bertanggugjawab untuk mengumpulkan data dan mengkaji status klien, menyusun rencana asuhan keperawatan dan menentukan tujuan, mengkaji kembali dan merevisi rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2001).
Dokumentasi keperawatan merupakan suatu aspek penting yang sampai saat ini perlu ditingkatkan. Menurut Ferawati (2012) masalah yang sering terjadi di Indonesia pada rumah sakit pemerintah maupun swasta yaitu masih membahas tentang kelengkapan dokumentasi keperawatan yang kurang lengkap sehingga ketika terjadi suatu permasalahan, berpotensi untuk menjadi kasus hukum. Berdasar pada latar belakang di atas, penulis ingin membahas mengenai indikasi hukum dalam dokumentasi keperawatan di Indonesia.
B.   Issu Hukum
Salah satu tugas dan tanggungung jawab perawat adalah melakukan pendokumentasian mengenai intervensi yang telah dilakuan, akan tetapi akhir-akhir ini tanggung jawab perawat terhadap dokumentasi sudah berubah, akibatnya isi dan fokus dokumentasi telah di modifikasi. Dokumentasi adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan proses pendokumentasian adalah kegiatan mencatat atau merekam peristiwa baik dari objek maupun pemberi jasa yang dianggap penting atau berharga (Ferawati, 2012).
Tanpa adanya dokumentasi yang jelas dan benar, kegiatan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan perbaikan status klien. Bila terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan profesi keperawatan, dimana perawat sebagai pemberi jasa dan klien sebagai pengguna jasa, maka dokumentasi diperlukan sewaktu-waktu. Dokumentasi tersebut dapat dipergunakan sebagai barang bukti di pengadilan. Maka pendokumentasian itu sangat penting bagi perawat karena sebagai dasar hukum tindakan keperawatan yang sudah di lakukan jika suatu saat nanti ada tuntutan dari pasien.
Sayang, dokumentasi ini pun sering kali terbengkalai. Sebagian perawat melengkapi dokumentasi ketika pasien sudah pulang. Atau tidak semua kaidah dokumentasi dipatuhi sehingga kualitas dokumentasi keperawatan buruk.
Sebagai upaya untuk melindungi pasien terhadap kualitas pelayanan keperawatan yang diterima dan perlindungan terhadap keamanan perawat dalam melaksanakan tugasnya, maka perawat diharuskan mencatat segala tindakan yang dilakukan terhadap pasien. Hal ini penting berkaitan dengan langkah antisipasi terhadap ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan dan kaitannya dengan aspek hukum yang dapat dijadikan settle concern, artinya dokumentasi dapat digunakan untuk menjawab ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diterima secara hukum.
Menurut hukum jika sesuatu tidak didokumentasikan berarti pihak yang bertanggung jawab tidak melakukan apa yang seharusnya di lakukan. Jika perawat tidak melaksanakan atau tidak menyelesaikan suatu aktifitas atau mendokumentasikan secara tidak benar, dia bisa di tuntut melakukan malpraktik.

C.   Kajian Pustaka
  1. Dokumentasi
Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada pasien. Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasien yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan dilaksanakan (Nursalam, 2001).
Disamping itu, catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggungjawabkan. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian, pemahaman dan ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara baik dan benar.
Dokumentasi dapat dijadikan sarana komunikasi antara petugas kesehatan dalam rangka pemulihan kesehatan klien. Perawat memerlukan standar dokumentasi sebagai petunjuk dan arah terhadap petunjuk terhadap teknik pencatatan yang sistematis dan mudah diterapkan, agar tercapai catatan keperawatan yang akurat dan informasi yang bermanfaat.
Beberapa alasan yang menyebabkan kurang terpenuhinya standar dokumentasi keperawatan dalam penyusunan dokumentasi keperawatan, antara lain:
a.    Banyak kegiatan di luar tanggung jawab perawat menjadi beban dan harus menjadi tanggungjawab perawat.
b.    Sistem pencatatan yang dilaksanakan terlalu sulit dan menyita waktu.
c.    Tidak semua perawat dalam instansi keperawatan memiliki pengetahuan dan kemampuan yang sama dalam membuat dokumen sesuai standar yang ditetapkan, sehingga mereka tidak mau membuatnya.
d.    Tenaga keperawatan yang berasal dari berbagai jenjang pendidikan (SPK, D3, D4, S1, dan lain-lain ) dan dari rentang waktu lulusan yang sangat berbeda (lulusan tahun delapan puluhan hingga dua ribuan ) tapi memiliki tugas yang cenderung sama.
e.     Perawat lebih banyak mengerjakan pekerjaan koordinasi dan limpah wewenang.
Dokumentasi keperawatan harus dapat diparcaya secara legal, yaitu harus memberikan laporan yang akurat mengenai perawatan yang diterima klien. Tappen,weiss,dan whitehead (2001) manyatakan bahwa dokumen dapat dipercaya apabila hal-hal sebagai berikut:
a.       Dilakukan pada periode yang sama dimana pencatatan dilakukan pada waktu perawatan diberikan.
b.       Akurat. Laporan yang akurat ditulis mengenai apa yang dilakukan oleh perawat dan bagaimana klien berespon.
c.       Jujur. Dokumentasi mencakup laporan yang jujur mangenai apa yang sebenarnya dilakukan atau apa yang sebenarnya diamati.
d.       Tepat. Apa saja yang dianggap tepat oleh seseorang untuk dibahas di lingkungan umum di dokumentasikan
  1. Aspek Legal Dokumentasi Keperawatan
Dalam Undang-Undang RI No.23 Tahun 1992, Tentang Kesehatan, tercantum bahwa penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. Bertolak dari dasar tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan keperawatan memegang peranan penting di dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Dalam pelaksanaan tugas profesi keperawatan diperlukan berbagai data kesehatan klien sebagai dasar dari penentuan keputusan model asuhan keperawatan yang akan diberikan, olehkarenanya sangat diperlukan suatu proses pendokumentasian yang berisikan data dasar keperawatan, hasil pemeriksaan atau assesment keperawatan, analisa keperawatan, perencanaan tindak lanjut keperawatan.
Harus diyakini bahwa keberhasilan tujuan keperawatan akan sangat bergantung pada keberhasilan mekanisme pendokumentasian. Disamping itu berkesesuaian juga dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996, tentang tenaga kesehatan Bab I pasal 11: yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Makna yang dapat diambil dan dipahami dari Peraturan Pemerintah di atas adalah bahwa dalam melakukan tugas dan kewenangannya seorang perawat harus dapat membuat keputusan model asuhan keperawatan yang akan dilakukan, proses tersebut dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan keperawatan yang dimiliki oleh perawat, kemampuan tata kelola masalah yang dimiliki oleh perawat dan kewenangan yang melekat pada profesi keperawatan. Rangkaian proses tatalaksana masalah keperawatan tersebut digambarkan dalam suatu lingkaran tidak terputus yang terdiri dari mengumpulkan data, memproses data, umpan balik, tentunya untuk dapat menunjang terlaksananya seluruh kegiatan di atas diperlukan upaya pencatatan dan pendokumentasian yang baik.
Berdasarkan Permenkes No. 269/Menkes/Per III/2008, dinyatakan bahwa rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Jelas sekali dinyatakan bahwa rekam medik berisikan berkas catatan baik catatan medik (dokter) maupun catatan paramedik (perawat) dan atau catatan petugas kesehatan lain yang berkolaborasi melakukan upaya pelayanan kesehatan dimaksud. Selain itu rekam medik juga berisikan dokumen yang dapat terdiri dari lembaran expertise pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG dan lain-lain.
Berdasarkan hal di atas serta melihat pada tanggung jawab atas tugas profesi dengan segala risiko tanggung gugatnya dihadapan hukum, maka dokumentasi keperawatan memang benar diakui eksistensinya dan keabsahannya serta mempunyai kedudukan yang setara dengan dokumen medik lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Permenkes yang berisikan tentang kewajiban tenaga kesehatan untuk mendokumentasikan hasil kerjanya di dalam rekam kesehatan juga berlaku untuk profesi keperawatan.
Berikut ini adalah pedoman dalam membuat sebuah dokumen yang legal (Hastuti, 2011):
a.               Mengetahui tentang konteks malpraktik.
b.              Memberi informasi yang akurat mengenai informasi klien seperti terapi dan asuhan keperawatan.
c.               Mencerminkan keakuratan penggunaan proses keperawatan, misalnya: pengkajian keperawatan, riwayat kesehatan klien, rencana asuhan keperawatan, dan intervensi.
d.              Waspada terhadap situasi tertentu, misalnya klien dengan masalah yang komleks atau yang membutuhkan perawatan yang intensif.
e.               Dokumentasi yang legal selalu mencerminkan apa yang telah terjadi dan yang telah dilakukan.
f.                Dokumentasi keperawatan mencerminkan kolaborasi antara penyediaan asuhan antara tenaga kesehatan lain dan perawat.
g.               Dokumentasi yang rutin selalu mencerminkan gejala dan komplain oleh klien.
  1. Pedoman Pendokumentasian menurut Hastuti 2011:
a.       Pengobatan
1)       Catat waktu,rute,dosis dan respon
2)       Catat obat dan respon klien
3)       Catat saat obat tidak diberikan dan intervensi keperawatan
4)       Catat semua penolakan obat dan laporkan hal tersebut kepada orang yang tepat.
b.    Dokter
1)    Dokumentasikan tiap kali menghubungi dokter bahkan jika dokter tersebut tidak dapat dihubungi. Cantumkan waktu tepatnya panggilan dilakukan jika dokter dapat dihubunhi dokumentasikan rincuan pesan dan respon dokter.
2)    Bacakan kembali program lisan kepeda dokter dan klarifikasi nama klien di catatan klien untuk memastikan identitas klien.
3)    Catat program lisan hanya jika anda pernah mendengarnya, bukan yang di beritahu kepada anda oleh perawat lain atau oleh personal unit.
c.    Isu formal dalam pencatatan
1)    Sebelum menulis pastikan anda mengambil catatan klien yang benar.
2)    Koreksi semua pencatatan yang salah sesuai dalam kebijakan dan prosedur di institusi anda.
3)    Catat dengan gaya yang terorganisasi mengikuti proses keperawatan.
4)    Tulis dengan jelas dan singkat agar menghindari pernyataan subyektif
5)    Catat deskripsi yang akurat dan spesifik

D.   Analisis
Dokumen keperawatan selain merupakan salah satu alat bukti hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat melindungi diri, mitra kerja dan bahkan rumah sakit tempat bekerja dari permasalahan hukum. Perlu dipahami proses pembuatan suatu dokumen keperawatan tidak sebatas hanya mengisi data pada format yang telah disiapkan, akan tetapi juga harus mampu menterjemahkan dan mendokumentasikan semua aktifitas fungsional keperawatan yang dilakukan.
Dokumentasi perawat merupakan bukti pelayanan bagi klien dan juga bukti pelayanan yang baik dan aman oleh perawat. Jika terjadi tuntutan hukum, maka catatan perawat merupakan hal pertama yang ditinjau oleh pengacara (Hastuti, 2011). Pengkajian dan laporan perubahan kondisi klien oleh perawat merupakan faktor pembela yang penting di dalam tuntutan hukum. Oleh karena itu, perawat harus mengidentifikasi kepastian bahwa dokter atau penyelenggara layanan kesehatan telah dihubungi; informasi kepada dokter atau penyelenggara layanan kesehatan telah disampaikan; dan juga respon dokter atau penyelenggara layanan kesehatan.
Kesemuanya di atas hendaknya didokumentasikan secara jelas. Laporan kejadian yang ditulis pada lembar dokumentasi memberikan data dasar untuk penelitian selanjutnya dalam upaya mejelaskan penyimpangan dari standar pelayanan, memperbaiki tindakan yang diperlukan untuk mencegah rekurensi dan untuk mengingatkan manajemen risiko terhadap situasi yang berpotensi menjadi tuntutan.
Seperti diketahui tujuan dari dokumentasi keperawatan adalah untuk kepentingan komunikasi, yaitu sebagai sarana koordinasi asuhan keperawatan, sebagai sarana untuk mencegah informasi berulang, sebagai sarana untuk meminimalkan kesalahan dan meningkatkan penerapan asuhan keparawatan, dan terakhir sebagai sarana mengatur penggunaan waktu agar lebih efisien. Tujuan lain adalah memudahkan mekanisme pertanggungjawaban dan tanggung gugat, karena dapat dipertanggungjawabkan baik kualitas asuhan keperawatan dan kebenaran pelaksanaan serta sebagau sarana perlindungan hukum bagi perawat bila sampai terjadi gugatan di pengadilan.
Salah satu cara untuk membuat dokumentasi keperawatan yang baik adalah selalu berfokus pada: proses pencatatan yang aktual, faktual dan realistik serta hasil pencatatan yang dibuat harus jelas, sistematik dan terarah. Hal tersebut menjadi penting karena akurasi dan kelengkapan data dokumentasi keperawatan selain dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan. Selain itu juga dapat menghindari kesalahan pembacaan, kesalahan penilaian dan kesalahan penentuan intervensi yang dapat membahayakan nyawa klien.
Dalam membuat dokumentasi keparawatan perlu diperhatikan substansi dasar yang harus ada, hal ini dimaksudkan agar dokumen tersebut berguna dan memiliki arti untuk berbagai kepentingan baik bagi keperawatan sendiri, untuk kepentingan penelitian maupun kepentingan hukum. Ditambah lagi dengan belum jelasnya Undang-Undang Keperawatan menjadikan posisi perawat akan semakin tersudut jika mengalami gugatan hukum. Sehingga sangat diperlukan usaha dari perawat sendiri untuk meminimlakan kelalaian dan kesalahan melalui dokuemntasi keperawatan yang lengkap sebagai bukti autentik jika terjadi gugatan.
Dokumentasi keperawatan dapat menjadi alat bukti hukum yang sangat penting, kebiasaan membuat dokumentasi yang baik tidak hanya mencerminkan kualitas mutu keperawatan tetapi juga membuktikan pertanggunggugatan setiap anggota tim keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan. Agar mempunyai nilai hukum maka penulisan suatu dokumentasi keperawatan sangat dianjurkan untuk memenuhi standar profesi, kelengkapan dan kejelasan mutlak disyaratkan dalam penulisan dokumen keperawatan. Bila salah satu kriteria belum terpenuhi maka dokumentasi tersebut belum bisa dianggap sempurna secara hukum. Berdasarkan Permenkes Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis yang dijelaskan pada BAB III pasal 5 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis adalah:
1.    Rekam Medis harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan
2.    Pembuatan rekam medis dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
3.    Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu (perawat) yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.
4.    Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan.
5.    Pembetulan yang dimaksud adalah hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu (perawat) yang bersangkutan.
Secara statistik terdapat beberapa situasi yang memiliki kecenderungan untuk munculnya proses tuntutan hukum dalam pemberian asuhan keperawatanyaitu:
1.    Kesalahan dalam administrasi pengobatan/salah member obat
2.    Kelemahan dalam supervise diagnosis
3.    Asisten dalam tindakan bedah lalai dalam mengevaluasi operasi maupun bahan habis pakai yang digunkanan (kasa steril)
4.    Akibat kelalaian menyababkan klien terancam perlukaan
5.    Penghentian obat olehh perawat
6.    Tidak memperhatikan teknik dan antiseptik
7.    Tidak mengikuti standar operasional yang seharusnya

E.    Kesimpulan dan Saran
1.    Kesimpulan
Dokumentasi keperawatan merupakan media informasi dan komunikasi antar tenaga kesehatan guna mengetahui kondisi pasien. Dokumentasi keperawatan memiliki fungsi hukum sebagai alat bukti dalam menjawab kondisi pasien ketika mendapatkan tuntutan hukum. Dalam membuat dokumentasi keparawatan perlu diperhatikan substansi dasar yang harus ada, hal ini dimaksudkan agar dokumen tersebut berguna dan memiliki arti untuk berbagai kepentingan baik bagi keperawatan sendiri, untuk kepentingan penelitian maupun kepentingan hukum.
2.    Saran
Dengan makin meningkatnya kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan keperawatan yang baik, aman dan bermutu, maka sudah menjadi keharusan bagi profesi perawat untuk lebih maju, lebih berhati-hati, lebih mengerti kemungkinan munculnya tuntutan hukum dan lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Sehingga dibutuhkan ketelitian, keterampilan dan kemauan untuk terus meningkatkan isi kualitas dokumentasi keperawatan. Hal ini nantianya akan menguatkan posisi perawat sebagai suatu profesi yang benar-benar profesioanl baik dalam tindakan maupun dalam pendokumentasiannya.

F.    Daftar Pustaka
Ferawati. (2012). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Perawat dalam Pendokumentasian Aduhan Keperawatan di RSI Ibnu Sina Padang. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Hastuti. A., P. (2011). Aspek Legal Serta Manajemen Resiko dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan. Malang: Politeknik Kesehatan RS dr. Soeparoen.
Martono Yun. (2012). Evaluasi Kelengkapan Dokumentasi Asuhan Keperawatan di Kamar Bayi Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Keperawatan Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

STUDI KASUS PASIEN DENGAN CHEST PAIN PRE – TO IN HOSPITAL MANAGEMENT


STUDI KASUS PASIEN DENGAN CHEST PAIN 
PRE – TO IN HOSPITAL MANAGEMENT


Kecenderungan dan Isue dalam Keperawatan




Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015
  

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012




STUDI KASUS PASIEN DENGAN CHEST PAIN 
PRE – TO IN HOSPITAL MANAGEMENT

Penyakit kardiovaskuler dewasa ini merupkan masalah global dan menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008 terdapat 7,2 juta kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler atau 12,2 % dari seluruh kematian penduduk dunia (Priyanto Ade, 2011). Di Amerika Serikat, 5.8 juta pasien datang ke emergency department pada umumnya mengeluhkan nyeri dada dan 85% diantaranya nyeri dada yang dirasakan akibat penyakit kardiovaskuler (LaSalvia, Nadkarni, Bal, 2010).
Didapatkan hasil yang berbeda dalam epidemiologi nyeri dada pada unit rawat jalan dan unit emergensi. Kondisi kardiovaskular seperti infark miokard, angina, pulmonary embolism, dan gagal jantung ditemukan lebih dari 50% pasien yang datang ke unit emergensi dengan nyeri dada. Sedangkan pada unit rawat jalan di pelayanan primer penyebab nyeri dada pada pasien antara lain kondisi pada musculoskeletal, penyakit gastrointestinal, coronary artery disease (CAD) yang stabil, gangguan panic atau kondisi psikologis lainnya dan penyakit pernafasan (William, 2005).
Angka kematian di Indonesia yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler juga masih tinggi. Menurut survey rumah Tangga Depkes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25%. Data yang dikumpulkan dari Unit Gawat Darurat (UGD) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita Jakarta pada tahun 2009 terdapat 3862 dan tahun 2010 sejumlah 2529 pasien yang didiagnosis sebagai sindrom koroner akut (SKA) (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).   
Keluhan nyeri dada yang di rasakan pasien dapat disebabkan oleh berbagai macam kondisi antara lain: penyakit jantung (cardiac cause) dan penyebab selain penyakit jantung (non cardiac cause). Untuk penyebab penyakit jantung sendiri terdiri dari coronary artery disease, aortic stenosis, coronary artery spasm dan hypertropic cardiomyopath, pericarditis, dissecting aortic aneurysm dam mitral valve prolapsed. Sedangkan untuk penyebab selain penyakit jantung terdiri dari penyakit pernafasan, penyakit pencernaan (gastroesophageal), penyakit muskuloskeletal, penyakit dermatologis dan kondisi psikologis. Masing-masing penyebab dari nyeri dada mempunyai karasteristik yang berbeda satu sama lain, oleh karena itulah di sini pentingnya bagi seorang perawat atau dokter mengenali tipe dan penyebab nyeri dada pada pasien (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Pengkajian dan penilaian yang tepat akan menghasilkan diagnose yang tepat. Diperlukan pengkajian yang komprehensif terkait keluhan nyeri dada, pemeriksaan fisik dan serangkaian tes diagnostik lain sebagai penunjang. Meskipun penyebab keluhan nyeri dada pada pasien dapat disebabkan oleh banyak hal dan ada yang tiak mengancam jiwa, namun penanganan yang diberikan di ruang UGD harus menggunakan prinsip respon time dan melakukan penilaian dengan time risk SKA (myocard infrak atau angina) (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2010). Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, diharapkan perawat atau dokter dapat menegakkan diagnosa dengan cepat dan segera memberikan penanganan secara tepat untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecacatan atau kematian pada pasien. Sehingga dalam essay ini penulis tertarik untuk membahas kasus pasien dengan chest pain dan penanganannya.
Pada kasus didapatkan data bahwa terdapat seorang pasien laki-laki 45 tahun tiba-tiba mengeluh nyeri dada pada saat menunggu antrian pada dokter umum. Pasien dalam kondisi pasien pucat dan berkeringat dingin. Nyeri muncul 10 menit yang lalu dan saat ini masih nyeri. Saat ini pasien tersebut sedang dibawa ke rumah sakit
Berdasarkan kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami keluhan nyeri dada (chest pain) pada waktu menunggu antrian dokter praktik. Nyeri yang dirasakan lebih dari 10 menit, dan gejala yang menyertai keluhan adalah pucat dan berkeringat dingin dan pasien dalam kondisi sadar. Sedangkan  tanda-tanda vital pasien tidak didapatkan data yang jelas.
Selama fase  transport, penyebab nyeri harus ditanyakan pada pasien. Apakah selama menunggu atau mengantri pasien melakukan aktivitas lain atau hanya duduk. Apakah ada sebab pemicu yang menyebabkan nyeri muncul. Pasien harus ditanyakan dengan jelas apa penyebab nyerinya agar dapat memberikan tindakan selanjutnya.
Keluhan nyeri dada yang di rasakan pasien dapat disebabkan oleh berbagai macam kondisi antara lain: penyakit jantung (cardiac cause) dan penyebab selain penyakit jantung (non cardiac cause). Untuk penyebab penyakit jantung sendiri terdiri dari coronary artery disease, aortic stenosis, coronary artery spasm dan hypertropic cardiomyopath, pericarditis, dissecting aortic aneurysm dam mitral valve prolapsed. Sedangkan untuk penyebab selain penyakit jantung terdiri dari penyakit pernafasan, penyakit pencernaan (gastroesophageal), penyakit muskuloskeletal, penyakit dermatologis dan kondisi psikologis. Masing-masing penyebab dari nyeri dada mempunyai karasteristik yang berbeda satu sama lain, oleh karena itulah di sini pentingnya bagi seorang perawat atau dokter mengenali tipe dan penyebab nyeri dada pada pasien (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Keluhan nyeri dada yang disebabkan oelh penyakit kardiovaskuler dan dicurigai SKA, umumnya dirasakan di substernal dan bias menjalar ke lengan kiri atau kanan, rahang, bahu. Keluhan biasanya berupa sensasi terbakar, tertekan, terhimpit benda berat, sesak napas, seperti diremas, atau hanya berupa keluhan nyeri di dada kanan. Keluhan sering disertai keringat dingin, mual, muntah atau pingsan (Priyanto, 2011).
Selain itu, selama proses transport pasien juga dilakukan pengukuran dan pemantauan tanda-tanda vital pasien. Selama kondisi pasien masih sadar, pasien dapat dikaji lebih lanjut mengenai PQRST nyeri yang di rasakan untuk menentukan penyebab dan diagnosis sementara. Pasien dapat dibantu dengan pemberian oksigen 4 liter permenit guna mencukupi suplai oksigen ke jaringan dan mengurangi nyeri yang di rasakan. Jika memungkinkan dilakukan perekaman EKG selama proses transportasi untuk mempertegas diagnosis. Dan kemudian dilakukan penanganan apakah dengan pemberian medikasi.
Dalam melakukan pengkajian nyeri, menggunakan pedoman pengkajian PQRST (provokative/palliative, quality/quantity, region/radiation, severity dan timing). Dalam pengkajian nyeri ini, ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh perawat atau dokter untuk mengkaji lebih jauh tentang nyeri dada yang dialami pasien dan mengetahui penyebab dari nyeri dada tersebut (Orlolo and Albarran, 2010). Pertanyaan-pertanyaan tersebut di antaranya: Provocative atau palliative (P), Quality  atau quantity (Q), Region atau radiation (R), Severity (S), dan Timing (T). Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan pada Provocative atau palliative adalah; Apa saja yang bisa menyebabkan nyeri dada terjadi?, Apa saja yang bisa membuat nyeri dada mereda? (istirahat, postur, nitrat, oksigen atau analgesia), Apa saja yang membuat nyeri dada yang dirasakan semakin memburuk? (aktivitas, bernafas, bergerak atau batuk).
Pada tahap pertanyaan Quality atau quantity, yang perlu ditanyakan adalah; Nyeri dada yang dirasakan seperti apa? (seperti ditekan, diremas, tertindih beban, tajam, tumpul, seperti rasa terbakar), Apakah sampai saat ini nyeri dada masih dirasakan? jika iya, apakah rasanya lebih berat atau lebih ringan dari biasanya?, Sampai seberapa besar nyeri dada yang dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien?. Pada tahap Region atau radiation yang perlu ditanyakan adalah; Di daerah mana nyeri dada itu terjadi?, Apakah nyeri dada yang dirasakan dijumpai di tempat yang lain?, Sampai seberapa jauh penjalaran nyeri yang dirasakan? (lengan, punggung, tenggorokan, rahang, gigi atau abdomen).
Pada tahap Severity, yang perlu ditanyakan adalah; Seberapa parah nyeri dada yang dirasakan?, Semisal digunakan skala 0 sampai 10 dengan skala 10 sebagai angka tertinggi untuk menunjukkan nyeri yang paling parah maka skala berapa yang dipilih untuk nyeri yang dirasakan oleh pasien?, Apakah rasa nyeri dada tersebut semakin berkurang, bertambah atau menetap?.Terakhir adalah Timing; Kapan nyeri dada itu terjadi?, Apakah nyeri dada yang dirasakan mendadak atau bertahap?, Seberapa sering nyeri dada terjadi?, Berapa lama nyeri dada yang dirasakan?.
Setelah pasien tiba di ruang UGD rumah sakit, pengkajian PQRST dapat dilakukan jika selama proses transport kondisi pasien belum memungkinkan, atau jika sudah dilakukan pengkajian riwayat kesehatan pasien dan pemerikasaan fisik. Hal-hal yang perlu dikaji menurut Knut Schroeder (2008) antara lain apakah pasien pernah menjalani terapi pembedahan sebelumnya, penyakit yang pernah diderita pasien, riwayat kesehatan keluarga, faktor resiko  untuk penyakit kardiovaskular (hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, angina), dan juga tentang gaya hidup pasien (kebiasaan merokok, obesitas, kurangnya exercise, pola diet yang salah dan stres).
Setelah mengkaji riwayat kesehatan pasien, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik pasien. Menurut Michael (2010) pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengkaji tingkat resiko pada pasien dan menentukan penyebab dari nyeri dada tersebut. Temuan penting untuk identifikasi pasien dengan resiko tinggi adalah adanya gagal jantung kronis dan ketidakstabilan hemodinamika (penurunan tekanan darah, peningkatan denyut jantung). Pemeriksaan juga harus menargetkan potensi penyebab selain penyakit jantung (non cardiac causes), seperti adanya prominent murmur (endocarditis), friction rub (pericarditis), adanya demam dan suara paru yang abnormal (pneumonia), dan adanya nyeri dada yang timbul setelah dilakukan palpasi (penyebab muskuloskeletal).
Selain dari data anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik, penegakan diagnosa dapat ditunjang dengan melakukan beberapa pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan pada pasien tersebut untuk membantu mengetahui penyebab nyeri dada antara lain (Priyanto, 2011; Orlolo, 2010 dan Knut,  2008):
a)    Tes darah yang meliputi : pemeriksaan darah lengkap untuk mengabaikan terjadinya anemia  dan memeriksa apakah terjadi infeksi, pemeriksaan kadar urea dan elektrolit, pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan lipid profil.
b)   Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Rekaman EKG dapat berupa perubahan segmen ST baik elevasi maupun depresi atau adanya inverse gelombang T dapat memberikan gambaran kejadian SKA. Namun demikian, EKG bukansatu-satunya alat diagnostic untuk menegakkan diagnosa  sehingga dapat dilakukan dengan pemeriksaan enzim jantung.
c)    Foto thorax dada untuk mengkaji ukuran jantung dan melihat adanya pneumonia atau pneumothoraks.
d)   Penanda Jantung (Cardiac Biomarkers)
Pemeriksaan enzyme jantung pada kejadian injury di miokard akan terdapat perubahan yang signifikan, namun demikian pemeriksaan enzyme ini harus dilakukan secara periodic atau serial 4-6 jam karena enzyme jantung akan terakumulasi dalam aliran darah apabila otot-otot jantung mengalami kerusakan/infark. Enzyme yang spesifik sebagai penanda adanya kerusakan miokard adalah CKMB dan Troponin T. CKMB akan mulai meningkat 3-4 jam setelah infark, demikian dengan Troponin T. Peningkatan keduanya mengindikasikan adanya miokard infark.
e)    Exercise tes
Exercise tes merupakan pemeriksaan EKG yang dilakukan pada saat pasien melakukan aktivitas (treadmill atau bersepeda). Penggunaan tes diagnostik ini dilakukan untuk mendiagnosa ischaemic heart disease, di mana 75% pasien dengan ischaemic heart disease menunjukkan hasilyang positif.
f)    Coronary Angiography
Pada pemeriksaan ini sebuah kateter dimasukkan melalui arteri brachialis atau arteri femoralis menuju ke jantung. Sebagian besar pasien yang akan menjalani kateterisasi jantung dilakukan coronary angiography. Indikasi pemeriksaan ini meliputi : Penegakan diagnosa coronary artery disease, Mengkaji angina yang tidak dapat dikontrol oleh pengobatan. Komplikasi yang perlu diwaspadai oleh perawat antara lain perdarahan pada lokasi penusukan, aritmia, infark miokard, stroke, tromboembolisme, trauma pada pembuluh darah atau jantung, infeksi sampai terjadi kematian.
Setelah melakukan pemeriksaan yang komprehensif terhadap keluhan nyeri dada pasien, diharapkan dokter atau perawat dapat menegakkan diagnosa yang tepat mengenai penyebab nyeri dada pada pasien tersebut. Penyebab dari nyeri dada yang dirasakan kemungkinan bisa  berasal dari penyakit jantung (cardiac cause) atau penyebab lain selain penyakit jantung (pulmonal, muskuloskeletal, gastroesophageal, herpes atau psikologis). Dengan penegakan diagnosa yang akurat maka dapat segera dilakukan penanganan pada pasien tersebut sesuai dengan penyebab nyeri dadanya. Di bawah ini merupakan gambar algoritma penegakan diagnosis nyeri ada akut (acute chest pain).

Gambar 1: Algoritma for the diagnosis of chest pain
(Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002)


Tabel. 1 Perbedaan Hasil Pengkajian Nyeri Dada
Penyebab Nyeri
Karakteristik nyeri
Durasi
Kejadian pencetus
Tindakan yang mengurangi
Angina pektoris
Nyeri substernal atau retrosternal yang menyebar di atas dada, menyebar ke lengan bagian dalam, leher atau dagu
5-15 menit
Biasanya berhubungan dengan aktivitas, emosi, makan, dingin
Istirahat, nitrogliserin, oksigen
Infark miokardial
Nyeri substernal atau nyeri di atas periakrdium, dapat menyebar meluas di dada, dapat terjadi nyeri ketidakmampuan pada bahu dan lengan
>15 menit
Terjadi secara spontantapi dapat berakibat pada angina yang tidak stabil
Morfin, reperfusi yang berhasil dari arteri koronaria yang tersekat
Perikarditis
Tajam, nyeri substernal berat atau nyeri pada bagian kiri sternum, dapat terasa di sebelah kiri epigastrik dan dapat menjalar ke leher, lengan dan punggung
Intermitten
Awitan tiba-tiba, nyeri meningkat saat inspirasi, menelan, batuk, rotasi badan
Duduk tegak, pengobatan analgesik, antiinflamasi
Nyeri pulmonis
Nyeri timbul dari bagian pleura, dapat menjalar ke batas iga atau abdomen bagian atas, pasien mungkin mampu melokalisasi nyeri
30 menit
Biasanya terjadi secara spontan, nyeri terjadi atau meningkat saat inspirasi
Istirahat, penanganan penyebab yang mendasari, bronkodilator
Nyeri esophageal
Nyeri substernal, dapat diproyeksikan sekitar dada
5-60 menit
Posisi rekumben, cairan dingin, latihan, dapat terjadi secara spontan
Makanan, antasida, nitrogliserin, pereda spasme
Nyeri muskuloskeletal
Tajam, terlokalisasi secara spesifik pada area di dada, adanya tender points pada dada bagian atas
Beberapa jam-minggu
Nyeri timbul pada waktu palpasi pada dada, diperburuk dengan bergerak, nafas dalam, pergerakan pada lengan
Penanganan penyebab
Ansietas (psikologis)
Nyeri di atas dada kiri, dapat bervariasi, tidak menyebar, adanya keluhan kebas dan rasa “geli” pada tangan dan mulut
2-3 menit
Stres, takipnea, emosional
Menghilangkan stimulus, relaksasi

Penatalaksanaan pasien dengan akut chest pain baik dalam pre hospital maupun in hospital yang terpenting adalah mengetahui penyebab nyeri yang dirasakan. Nyeri yang dirasakan timbula secara tiba-tiba ataukahnada penyakit lain sebelumnya yang menyebabkan atau kondisi psikologis pasien yang menyebabkan nyeri dada. Penilaian berdasarkan kondisi pasien seperti riwayat kesehatan, gejala aktulam tanda klinis yang tampak, penemuan hasil EKG, dan pemeriksaan lab lainya untuk melengkapi data-data penegakan diagnosa adalah sangat penting (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).
Evaluasi dan perawatan pasien selama transport di ambulan bertujuan mengkaji dan memberikan perawatan pertama kali pada pasien oleh tim ambulan (tim pre hospital). Tindakan yang dappat diberikan selama di ambulan adalah: mengkoreksi tanda-tanda vital, menstabilkan kondisi, memulai diagnostic kerja dengan pengkajian PQRST yang dapat digunakan dan penyebab nyeri, memberikan tindakan berdasar pada gejala yang muncul, dan terakhir mencegah komplikasi dan menetapnya gejala (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).   
Selama tahap pre hospital, jika kondisi pasien dapat dipastikan bahwa nyeri disebabkan penyakit jantung terutama miokard infrak, maka secepat mungkin tim pre hospital harus segera memberikan penganan guna meningkatkan harapan hidup pasien dan mengurangi risiko kematian. Dalam waktu yang singkat tim harus mampu memberikan keputusan dan mempertimbangkan baik buruknya tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Salah satunya adalah dengan pemberian terapi fibrinolitik. Generasi terbaru dengan rapid action fibrinolitik, sebagai trombolitik  akan memberikan kemungkinan hidupp pasien lebih besar (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).
Isu yang terkadang muncul dalam pemberian firbinolitik pre hospital adalah harus dilakukan perekaman EKG 12 lead sebelumnya dan setelahnya. Jika tim yang ada dalam pre hospital mampu menganalisa EKG, perekaman EKG dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Namun jika tim tidak mampu menganalisis, maka perekaman EKG tetap dapat dilakukan dan pemberian fibrinoliti juga tetap dapat diberikan. Hal ini lebih baik dibandingkan dengan tidak memberikan pertolongan kepada pasien. Sehingga untuk mensiasati agar tim pre hospital mampu memberikan penanganan yang terbaik kepada pasien, maka dibutuhkan pelatihan terhadap tim terutama kompetensi yang dibutuhkan dalam penanganan prehospital (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).
Setelah pasien tiba di rumah sakit, penatalaksanaa chest pain yang paling penting adalah: mengetahui gejala actual dan penyerta, mengontrol pernafasan, mengontrol sirkulasi, perekaman dan pemantauan EKG dan terakhir mempertahankan saturasi oksigen > 90%. Penggunaan klinikal pathway untuk manajemen pasien chest pain akan sangat membantu. Pasien chest pain yang di dinilai memiliki risiko rendah untuk mengalami  akut miokard infrak dapat bertahan di rumah sakit maksimal 6 jam untuk pemantauan. Setelah dirasa tidak terjadi nyeri dan komplikasi lainnya, pasien dapat diarahkan untuk melakukan exercise test. Empat puluh persen pasien akan menunjukkan tanda-tanda klinis setelah dilakukan exercise test. Jika pasien dalam kondisi baik, pasien dan keluarga dapat diberikan perencanaan pemulangan dengan dibekali panduan penanganan awal ketika merasakan nyeri dada muncul kembali. Namun jika hasil yang didapatkan ternyata mendukung adanya penyakit kardiovaskuler, maka dapat diberikan perawatan dan pemeriksaan lanjutan dapat dengan perfusion tomography dan bertahan di rumah sakit beberapa waktu untuk mendapatkan perawatan (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).
Indikator kualitas dalam manajeman penanganan chest pain pre – to in hospital dilihat berdasarkan evaluassi struktur dan evaluasi proses. Indikasi evaluasi struktur antaralain: penanganan berdasarkan clinical practice guidelines, memonitor perawatan dan hasil dari tindakan pada passion chest pain, dan terakhir kelengkapan peralatan penanganan dan pengobatan. Sedangkan indikasi evaluasi proses antara lain: kemampuan tim dalam mengkaji gejala dan penyebab yang muncul, kemampuan menanganai gejala dalam waktu 24 jam dimana waktu tunggu pelayanan tidak terlalu lama, penampilan pelayanan yang diberikan (waktu sejak informasi diberikan hingga ambulan datang, penanganan dan tiba di rumah sakit dengan cepat serta kondisi pasien stabil), pelayana ambulan yang baik, terakhir pengorganisasian emergency department yang mampu menangani gejala ketidaknyamanan nyeri dada, pemantauan EKG yang tepat hingga pemberian terapi door to nidle time untuk trombilitik. Kesemuanya menjadi acuan evaluasi keberhasilan penanganan pasien dengan chest pain (Erhardt, Herlitz, Bossaert, Halinen, Keltai, Koster, Marcassa, Quinn, and Weert, 2002).
Nyeri dada merupakan gejala yang timbul akibat adanya cedera, tidak hanya akibat cedera atau penyakit kardiovaskuler, damun juga akibat penyakit lain. Penanganan pasien nyeri dada, dapat dilakukan sejak pasien di temukan, selama transport ke rumah sakit dan setelah tiba di ruang emergensi. Pasien chest pain baik dalam pre hospital dan di ruang UGD harus segera dilakukan pengkajian yang tepat pada gejala nyeri yang di rasakan. Karena hal ini akan berdampak positif pada hasil yang diharapkan terhadap kondisi pasien.
Kemampuan mengkaji secara komprehensif, mengenali penyebab, gejala dan mengumpulkan data-data lain, melakukan pemeriksaan fisik sangat membantu penanganan selama pre hospital. Selama fase prehospital jika memungkinkan pengkajian penyebab dan PQRST nyeri dapat dilakukan, dan jika tidak memungkinkan pemberian oksigen 4 liter permenit dapat memberikan pertolongan pertama jika penyebab nyeri belum jelas. Setelah tiba di UGD rumah sakit, penanganan lanjutan dapat dilakukan dengan melengkapi pengkajian riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab lain penunjang sangat membantu menentukan diagnosis medis pasien sehingga penatalaksanaan yang diberikan tepat.
Untuk mendapatkan hasil maksimala dalam penangan pasien chest pain pre – to in hospital dibutuhkan kerjasama berbagai pihak baik penemu korban pertama kali, tim transport (tim pre hospital) dan tim di ruang emergensi. Bagi tim pre hospital dan tim ambulan, perlu diberikan pelatihan-peltihan terkait penanganan pasien dengan chest pain agar dapat memberikan pertolongan yang tepat bagi pasien. Hal ini diharapkan mampu menurunkan angak kejadian kematian dan kecacatan akibat chest pain terutama yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler.


Daftar Pustaka
Erhardt, L., Herlitz, J., Bossaert, L., Halinen, M., Keltai, M., Koster, R., Marcassa, C., Quinn, T., and Weert, H. (2002). Task force on the management of chest pain. European Heart Journal. 23: 1153-1176.
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Knut Schroeder. (2008). Assesment of chest pain in primary care. Oxford University Press on behalf of the RCGP. doi:10.1093/innovait/inm011.
LaSalvia, L., Nadkarni, P., Bal, T., A. (2010). Chest Pain Triage in The Emergency Department: An Integrated Diagnostic Approach. USA: Perspectives. www.slemens.com/diagnostic
Mayo Foundation for Medical Education & Research. (2010). Emergency Department Assesment of Acute-Onset Pain: Contemporary Approaches and Their Consequences. Mayo Clinical Proceding. 85(4): 309-313.
Michael C. Kontos., Deborah B. Diercks., & J. Douglas Kirk. (2010). Emergency department and office-Based Evaluation of patients with chest pain. Mayo Clin Proc,March 2010:85(3):284-299. doi:0.4O65/mcp.2009.0560.
Orlolo, V., and Albarran J., W. (2010). Assesment of Acute Chest Pain. British Journal of Cardiac Nursing. 5(12): 587-593.
Priyanto Ade. (2011). The Role of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Jakarta: Univeritas Muhamadiyah Jakarta.
William E. Cayley, Jr., M.D. (2005). Diagnosing the cause of chest pain.  American Family Physician, Volume 72, Number 10.