Sabtu, 20 April 2013

EXERCISE PADA PASIEN STEMI


ESSAY
EXERCISE PADA PASIEN INFARK MIOKARD ELEVASI SEGMEN ST (STEMI)


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Keperawatan Gawat Darurat Lanjut 1


http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015


PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

A.   Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler dewasa ini menjadi masalah global khususnya sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. World Health Asociation (WHO) pada tahun 2008 menyebutkan 7,2 juta (12,2%) kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Setiap tahun di Amerika Serikat kira-kira 478.000 orang meninggal dunia karena serangan jantung, 1,5 juta orang mendapat serangan jantung (Zohreh, Alireza, Seyed, and Masoumeh, 2009). Di Indonesia sendiri menurut survey rumah tangga Depkes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25% akibat serangan jantung. Sementara itu pada tahun 2008 terdapat 2446 kasus, tahun 2009 terdapat 3862 kasus, dan pada tahun 2010 terdapat 2529 kasus yang didiagnosa  Acute Coronary Syndrome (ACS) di UGD (Unit Gawat Darurat) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita Jakarta (Priyanto, 2011).
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan spektrum klinis yang disebabkan adanya pengurangan pasokan oksigen secara tiba-tiba yang dipicu oleh adanya robekan (rupture) plak aterosklerosis. Kondisi ini berkaitan dengan adanya proses inflamasi, thrombosis, vasokontriksi dan mikroembolisme. Salah satu spektrum klinis ACS adalah infark miokard elevasi segmen ST (STEMI). STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Dewasa ini untuk menegakkan diagnosa pasien ACS, dapat menggunakan exercise test. Exercise juga telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko diagnostik pasien dengan ACS. Selain itu, exercise juga memiliki dampak yang signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI). Untuk dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien STEMI post serangan, dapat dirancang sebuah program exercise bagi pasien (Borjesson and Dellborg, 2005).
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional dan mengurangi gejala klinis pada pasien jantung koroner. Exercise juga memberikan keuntungan memfasilitasi pasien membiasakan diri pada aktifitas fisik harian pada tingkat yang aman yang akan berlanjut ketika pasien di rumah nantinya. Bahkan, kapasitas latihan yang diberikan secara tepat baik pre-discharge dan post-discharge yang disesuaikan dengan kondisi pasien dapat menjadi media olahraga atau latihan terbaik menurunkan kematian pasien pos serangan miokard infark (Borjesson and Dellborg, 2005).
Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tim dalam memberikan exercise pada pasien pos STEMI yang cenderung memiliki prognosis yang buruk diantara spektrum klinis ACS lainnya. Melihat kondisi tersebut, penulis tertarik untuk mengambil tema exercise pada STEMI sebagai bahan kajian.

B.   Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan essay ini adalah memberikan informasi terkait analisis exercise pada pasien STEMI. Selain itu, memberikan informasi terkait keuntungan dilakukannya exercise pada pasien STEMI.

C.   Analisis Literatur
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (CPG Secretariat, 2007).
Pasien dengan STEMI umumnya ditemukan gelisah, seringkali ekstremitas pucat dan disertai keringat dingin. Hal itu dikombinasi dengan keluhan nyeri dada khas lebih dari 20 menit, dan tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat. Hasil rekaman EKG ditemukan ST segmen elevasi > 1 mm di dua atau lebih lead yang berhubungan (contigeous lead). Pada pemeriksaan laboratorium petanda jantung, didapatkan CKMB, Troponin T yang meningkat. Ketiga tanda tersebut merupakan manifestasi klinis utama dalam penegakan diagnosa pasien dengan STEMI (Ed: Irmalita et al, 2009).

Tabel 1: TIMI RISK SCORE STEMI (Daga, Kaul, and Mansoor, 2011):
Faktor Risiko
Point
Usia 65-74 tahun
2
Usia ≥ 75 tahun
3
Diabetes/hipertensi/angina
1
Tekanan darah sistol < 100 mmHg
3
HR > 100 x/menit
2
Killip II – IV
2
BB < 67 kg
1
ST Elevasi di anterior atau LBBB
1
Onset > 24 jam
1
TOTAL SCORE
14
       Keterangan Risiko:
< 7  : Risiko rendah
7-10  : Risiko sedang
>10                   : Risiko tinggi

Exercise test dewasa ini telah menjadi standar dalam medical practice yang diberikan kepada pasien enam minggu segera setelah mengalami serangan infark miokard akut. Exercaise training mungkin dapat memberikan keuntungan pada perfusi miokard dengan adanya adaptasi vascular coronary. Latihan ini harus dirancang sesuai dengan kondisi masing-masing individu agar dapat mencapai kondisi fisik dan kesehatan mental yang optimal pada pasien pos serangan infark. Namun harus diwaspadai, selama latihan pasien akan memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi kardiovaskuler sehingga dibutuhkan latihan yang sesuai dengan standar. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan risiko yang akan muncul (American college of sports medicine, 1994).  
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional paru. Pasien dengan penyakit arteri koroner umumnya menunjukkan penurunan konsumsi oksigen maksimal atau peningkatan oksigen yang diserap dan memiliki toleransi terhadap exercise. Besarnya penurunan bervariasi tergantung tingkat keparahan penyakit dan juga penyakit koroner yang ditoleransi oleh pasien (American college of sports medicine, 1994).
Menurut ACC/AHA (2002) terdapat kontraindikasi untuk dilakukannya exercise testing yaitu kontraindikasi absolute dan relative. Kontraindikasi absolute yaitu akut miokard infark, angina tidak stabil/ N-STEMI yang berisiko tinggi, aritmia jantung yang tidak terkontrol dengan atau tanpa gejala hemodinamik, stenosis aorta severe, gejala gagal jantung tidak terkontrol, emboli pulmonal akut, miokarditis akut atau perikarditis, dan disektion akut aorta. Kontraindikasi relative terhadap latihan adalah left main stenosi koroner, penyakit jantung stenosis valvular moderate, abnormalitas elektrolit, hipertensi arterial, takiaritmia dan bradiaritmia, cardiomiopati hipertropik, dan AV blok High-degree (Gibbons, 2002). 
Penelitian yang dilakukan pada hewan yang di induce aterosklerosis menunjukkan bahwa exercise mampu meningkatkan diameter koroner. Selanjutnya, beberapa latihan menunjukkan peningkatan dalam tekanan awal munculnya iskemik dan depresi segmen ST sehingga aliran koroner dapat meningkat (Borjesson and Dellborg, 2005).
      Selama fase latihan, harus dipantau kondisi pasien, gejala klinis yang muncul, dan hasil rekaman EKG pasien. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan dapat dijumpai indikasi absolute dan relative untuk memasukkan pasien ke dalam tahap terminasi. Indikasi absolute antaralain: penurunan tekanan darah > 1mm Hg, angina severe moderate, peningkatan gejala sistem nervus (contoh: ataksia, kelelahan, sinkop mendadak), tanda penurunan perfusi seperti sianosis, pasien meminta berhenti, ventrikel takikardi, ST elevasi ≥ 1 mm pada lead diagnostic Q-waves. Indikasi relative antaralain: pennurunan tekanan darah ≥ 10 mmHg, ST depresi > 2 mm, fatigue, nafas dangkal, wheezing, kram kaki, perkembangan LBBB, meningkatnya nyeri dada (Gibbons, 2002).
Exercise test yang diberikan setelah infark miokard digolongkan kedalam kelas I, IIa, IIb, dan III. Kelas I: sebelum diputuskan untuk pengkajian prognostic, aktifitas yang direncanakan, evaluasi dalam terapi medis (submaksimal pada 4 hingga 6 hari), secepatnya setelah diputuskan nilai prognostik aktifitas tetapi tidak dilakukan exercise test (dengan gejala minimal yang muncul 14-21 hari), terakhir setelah diputuskan untuk pengkajian prognostic, aktifitas yang direncanakan, evaluasi dalam terapi medis dan uji latih jantung awal submaksimal dengan gejala terbatas sekitar 3-6 minggu. Kelas IIa diberikan pada pasien setelah diputuskan untuk kegiatan konseling dan latihan sebagai bagian dari rehabilitasi jantungyang telah menjalani revaskularisasi koroner. Golongan kelas IIb adalah pasien dengan kelainan  EKG: LBBB, sindrom pra eksitasi, LVH, pasien dengan terapi digoxin, ST depresi > 1 mm dan pasien dengn pemantauan berkala yang telah mengikuti latihan atau rehabilitasi jntung. Golongan kelas III adalah pasien dnegan kateterisasi jantung, dan komorbiditas yan gmembatasi harapan hidup, terakhir pemantauan diberikan kepada pasien dengan miokard akut disertai gagal jantung kongestif, aritmia jantung, atau noncardiac, sehingga mambatasi pasien untuk berolahraga (Gibbons, 2002).

D.   Pembahasan Penerapan
Dalam pelaksanaan latihan, standar latihan yang diberikan tidak dapat dihomogenkan kepada seluruh pasien. Harus dipertimbangakn kondisi individu masing-masing terkait status klinis pasien seperti: luasnya arteri koroner, disfungsi ventrikel kiri, potensial terjadinya iskemia miokard dan adanya aritmia jantung. Penyakit penyerta pasien juga harus dipertimbangkan seperti hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit katub jantung, penyakit obstruksi koronik, diabetes mellitus ataupun pasien post infark miokard akut yang baru saja terjadi atau post operasi CABG (Coronary Artery Baypass Graft) (American college of sports medicine, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Brehm dkk (2009) bertujuan menentukan keefektifan exercise untuk meningkatkan mobilisasi dan aktifitas fungsional pasien AMI (STEMI). Peneltian dilakukan kepada 37 pasien dibagi kedalam dua kelompok perlakukan dan kelompok kontrol. Perlakukan yang diberikan adalah latihan dalam waktu 2 minggu setelah STEMI. Exercise training regular diberikan selama 3 minggu dan kemudian dievaluasi. Evaluasi juga dilakukan 3 bulan setelah exercise training (ET). Evaluasi dilakukan dnegan mencari nilai BNP level, exercise echocardiography dan exercise spiroergometri.
Hasil yang didapat terdapat peningkatan kapasitas migrasi CPCs (Sirkulasi Sel Progenitor) setelah exercise regular. Setelah ET, fraksi ejeksi ventrikel kiri meningkat dan kardiorespirasi membaik ditunjukkan dengan peningkatan VO2 maksimal. Efek exercise bertahan hingga 3 bulan. Exercise training yang diberikan pada pasien setelah STEMI dapat memperbaiki fungsi jantung pada pasien yang baru saja di diagnosa AMI (Brehm, Picard, Ebner, Turan, Bolke, Kostering, Schuller, Flerssner, Ilousis, Augusta, Peiper, Schannwell, and Strauer, 2009).
Exercise training teratur mampu memperbaiki perfusi miokard pada penyakit koroner stabil. Jika latihan diberikan pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirassi. Dalam studi ini menunjukkan peningkatan kapasitas latihan, fungsi jantung membaik. Exercise training dalam waktu singkat yang diberikan segera setelah pasien stabil dari kondisi post STEMI dapat memberikan efek menguntugkan pasien STEMI (Brehm dkk, 2009).
Exercise tes yang diberikan dapat menggunakan bycyle ergometer yang diberikan pada pasien dengan posisi tegak. Dilakukan 1 kali sehari, lima kali seminggu dan selama tiga minggu sehingga total 15 kali maksimal latihan yang diberikan. Dimulai dengan beban awal 25 W meningkat bertahap 25 W. Hasil rekaman elektrokardiogram dan tekanan darah dibaca tiap 2 menit. Latihan juga dapat dilakukan dengan bycycle spiroergometre. Selama melakukan latihan, setelah istirahat  5 menit, pasien diukur tekanan darah arteri brakialis, EKG 12 lead dicatat, denyut jantung istirahat dinilai. Beban awal 50 W dengan peningkatan bertahap 25 W setiap 2 menit. Selama latihan diwaspadai gejala miokard iskemia akibat angina pektoris yang khas atau ST depresi > 1mm. Latihan akan diakhiri bila pasien mengalami nyeri dada progresif, kelelahan fisik atau ketika ada ST depresi 3 mm (Brehm dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhao (2012) kepada 239 pasien dengan stratifiksai umur 40-49 tahun menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan latihan yang umum dan VO2 maksimal segera setelah STEMI. Dimana disarankan pada pasien segera setelah STEMI untuk dilakukan exercise habit (kebiasaan untuk melakukan latihan).
Penelitian yang dilakukan Giallauria dkk (2012) menggunakan 50 pasien dengan recent STEMI yang dibagi menjadi 2 kelompok control dan perlakuan dengan latihan segera setelah STEMI hingga waktu 3 minggu setelah STEMI dan di follow up 6 bulan setelah STEMI. Hasil menunjukkan bahwa enam bulan setelah dilakukan latihan pada pasien segera setelah STEMI dapat menurunkan stress yang diakibatkan iskemia dan meningkatkan pergerakan dan ketebalan diinding ventrikel kiri. Hal ini berpengaruh pada peningkatan kapasitas fungsi jantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Giallauria dkk berikutnya pada tahun 2013 mengevaluasi kepada 46 pasien dengan dibagi kedalam dua grup yang diberikan perlakuan dengan exercise training segera setelah STEMI dan yang hanya diberikan informasi terkait perubahan gaya hidup. Latihan didasarakan pada konsep rehabilitasi jantung segera setelah serangan STEMI hingga 1 minggu dan di follow up enam bulan berikutnya. Hasil menunjukkan, exercise trining yang diberikan segera setelah pasien mengalami serangan dapat menurunkan stress yang diakibatkan oleh hipoperfusi jaringan. Selain itu juga dapat meningkatkan kontraktilitas dan fungsi ventrikel kiri. Exercise menyebabkan perubahan pada perfusi miokard dan dapat menyebabkan peningkatan kapasitas fungsional jantung.
Sebelum memulai program latihan, diperlukan riwayat medis pasien secara lengkap, pemeriksaan fisik dan exercise test terlebih dahulu untuk melihat kemampuan maksimal yang dapat dilakukan oleh pasien. Evaluasi awal diarahkan pada kestabilan kardiovaskuler dan kondisi ortopedi pasien. Evaluasi dilanjutkan dengan kemunculan gejala-gejala klinis seperti disfungsi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan aritmia jantung.  Sebelum memulai latihan, kondisi dan kelainan yang terdeteksi dapat dilakukan treatmen terlebih dahulu hingga kondisi pasien stabil dan siap untuk memulai latihan (Giallauria dkk, 2013).
Program latihan yang diberikan merupakan modifikasi program latihan yang diberikan kepada orang sehat. Modifikasi disesuaikan dengan status kardiovaskuler pasien termasuk mode, frekuensi, durasi, intensitas, dan perkembangan latihan. Mode yang digunakan dapat seperti jogging dengan tredmill test, bersepeda dengan ergometers cycle, berjalan dengan six minute walk test ataupun berenang. Latihan ekstremitas atas dapat dilakukan dengan ergometer lengan (Borjesson and Dellborg, 2005).
Dalam latihan ini ada komplikasi yang mungkin muncul yaitu infark miokard akut, cardiac arrest dan sudden death. Exercise pada pasien STEMI harus diawasi termasuk kegiatan fisik sehari-hari pada pasien post STEMI. Reevaluasi penting untuk dilakukan minimal 2-3 bulan setelah latihan dan satu tahun setelahnya. Hal ini berfungsi untuk menilai perubahan fisiologis yang dihasilkan akibat exercise serta kemungkinan perkembangan kondisi pasien (Borjesson and Dellborg, 2005).
Kapasitas latihan merupakan faktor risiko yang dapat dimodisikasi. Faktor risiko secara teoritis dapat diubah dengan aktifitas fisik secara teratur selama fase rehabilitasi dan seterusnya. Setiap 1 MET peningkatan kapasitas latihan, akan setara dengan 12% peningakatan kelangsungan hidup pasien. Berdasar pada kondisi ini, exercise test yang dilakukan dapat menjadi informasi berharga untuk menentukan kapasitas exercise yang tepat pasien pasca intervensi reperfusi dan pasca infark miokard (Borjesson and Dellborg, 2005). Exercise test yang direkomendasikan oleh AHA/ACC untuk pasien post STEMI adalah kelas I (Gibbons, 2002).
Strategi untuk exercise yang dapat diberikan kepada pasien segera setelah infark miokard dibagi ke dalam beberapa strategi. Strategi I adalah jika pasien berada pada risiko tinggi untuk kejadian iskemik, berdasarkan gejala klinis, mereka harus menjalani evaluasi invasive untuk menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk revaskularisasi koroner. Mulanya dapat diketahui dengan resiko rendah yang mungkin muncul setelah infark miokard, dapat dilakukan strategi exercise test. Salah satunya dengan exercise test pad kondisi dengan gejala terbatas 14-21 hari (Kelas II). Jika pasien mengunakan digoxin atau hasil rekam EKG menunjukkan gangguan pada gambaran seperti LBBB, LVH dan ST depresi maka hasil latihan awal penelitian dapat dilakukan. Hasil pengujian latihan harus bertingkat untuk menentukan kebutuhan perfusi infasiv atau latihan tambahan yang dibutuhkan pasien (Gibbons, 2002).
Strategi III adalah untuk melakukan exercise test submaksimal pada 4-7 hari setelah infark miokard atau sebelum pasien direncanakan keluar dari rumah sakit. Jika semuahasil tes negative dan menunjukkan pasien memiliki peningkatan kemampuan dalam aktifitas, tes olahraga dapat diulang 3-6 minggu untuk pasien yang akan menjalani aktivitas berat selama waktu luangnya, ditempat kerja atau olahraga sebagai bagian dari rehabilitasi jantung (Gibbons, 2002).
Namun sebagai catatan, exercise yang dilakukan pada pasien STEMI pos serangan harus menunggu hingga kondisi pasien benar-benar stabil. Selain itu timi risk pada pasien juga harus diketahui sebelumnya. Hal ini untuk menghindari komplikasi yang mungkin muncul akibat stress latihan. Selama periode latihan juga harus dipasang monitor untuk merekam aktivitas kerja jantung. Hal ini untuk mewaspadai adanya ST elevasi (≥ 1mm) pada lead tanpa diagnostic Q-waves (selain di V1 atau aVR) sebagai indikasi absolute yang mengharuskan pasien pos STEMI masuk dalam tahap terminasi selama exercise. Selain itu indikasi lainnya adalah depresi segmen ST > 2 mm downslopping depresi segmen ST (Borjesson and Dellborg, 2005). 

E.    Kesimpulan
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Exercise telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko diagnostik pasien dengan ACS. Exercise juga memiliki dampak yang signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI) untuk dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien STEMI post serangan. Exercise pada pasien STEMI jika latihan diberikan teratur mampu memperbaiki kondisi klinis pasien, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, meningkatkan kapasitas kardiovaskuler. Ltihan yang diberikan pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi. Namun dalam pemberian harus menuggu kondisi pasien benar-benar stabil dan dilakukan monitor secara menyeluruh terkait aktivitas pasien selama latihan dan kemungkinan gejala klinis yang muncul. Selain itu tidak dapat dihomogenkan dari setiap individu dalam pemberian exercise. Selama latihan jika kondisi pasien tidak stabil dan terdapat faktor-faktor yang menunjukkan bahwa exercise harus dihentikan, tahap terminasi dalam latihan akan segera diberikan.

F.    Daftar Pustaka
American college of sports medicine. (1994). Exercise for patients with coronary artery disease. MSSE. 26(3): i-v
Borjesson. M., and Dellborg. M. (2005). Exercise testing post-MI: still worthwhile in the interventional era. European Heart Journal. 26: 105-106.
Brehm. M., Picard. F., Ebner. P., Turan. G., Bolke. E., Kostering. M., Schuller. P., flerssner., Ilousis. D., Augusta. K., Peiper. M., Schannwell. Ch., and Strauer. B. E. (2009). Effects of Exercise Training on Mobilization and functional activity blood-derived progenitor cells in patients with acute myocardial infraction.  Eur J Med Res. 14: 393-405
CPG Secretariat. (2007). Clinical Practice Guidelines Management of Acute ST Segment Elevation Myocardial Infraction (STEMI). Medical Development Division. Ministry of Health Malaysia
Daga. L. C., Kaul. U., and Mansoor. A. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Supplement to Japi. 59
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G., Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito. C. (2012). Effect of exercise training started within 2 weeks after acute myocardial infraction on myocardial perfusion and left ventricular function: a gated SPECT imaging study.  Eur J Prev Cardiol. 19(6): 1410
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G., Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito. C. (2013). Exercise training early after acute myocardial infraction reduce stress-induce hypoperfusion and improves left vebtricular function. Eur J Nucl Med Mol Imaging. 40(3): 315-324.
Gibbons. R. J. (2002). ACC/AHA 2002 Guideline Update for Exercise Testing: A report of the American collage of cardiology/American heart association task force on practice guidelines (committee on exercise testing). American College of Cardiology Foundation and the American Heart Association.
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Priyanto Ade. (2011). The Role of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Seminar Cardiac Emergency Management: Pre, to and in Hospital. FK UMJ
Zhao. W., Bai. J., Zhang. F. C., and Gao. W. (2012). The impact of regular exercise habit on exercise tolerance early after acute myocardial infraction. Zhonghua Nei Ke Za Zhi. 51(6): 453-5
Zohreh K. N, Alireza Y, Seyed AR, Masoumeh S. (2009). The Relation Between Anxiety And Quality Of Life In Heart Patients. Arya Atherosclerosis Journal 5(1): 19-24.


Kamis, 11 April 2013

ANALISIS GAMBARAN PEMBIMBINGAN KLINIK MAHASISWA KEPERAWATAN DI INDONESIA

ESSAY
ANALISIS GAMBARAN PEMBIMBINGAN KLINIK MAHASISWA KEPERAWATAN
DI INDONESIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Pendidikan Keperawatan Klinik


Dosen: Ns. Yulian Wiji Utami, S. Kp., M. Kes

http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013



ANALISIS GAMBARAN PEMBIMBINGAN KLINIK MAHASISWA KEPERAWATAN
DI INDONESIA

Sejauh ini, pendidikan keperawatan di Indonesia mulai mengembangkan diri mencari dan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang tepat. Hal ini dimaksudkan agar setiap mahasiswa keperawatan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tepat yang menunjang kompetensi mereka dalam pemberian pelayanan profesional nantinya. Keberhasilan mahasiswa dalam pembelajarana klinik dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya: pembimbing klinik, proses bimbingan klinik, metode yang digunakan dalam bimbingan, kelengkapan sarana, dan terakhir kerjasama klien dan keluarga selama mahasiswa praktik klinik (Ekawati, 2008).  
Dalam meningkatkan keterampilan  dan perubahan sikap, diperlukan adanya pengalaman belajar lapangan yang diselenggrakan dengan benar dalam tatanan pelayanan keperawatan profesional yang sesungguhnya. Selain itu, diperlukan lingkungan yang kondusif untuk mendukung proses pembelajaran bagi calon-calon perawat. Kesemuanya membutuhkan sarana agar kompetensi dan keterampilan yang aka dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Pembelajaran praktik klinik berhubungan sangat kuat dengan peran pengajar dilingkungan klinis yang bertujuan untuk mendorong kemandirian dan kepercayaan diri mahasiswa. Bukan mendukung berkembangnya ketergantungan dan kepercayaan terhadap pengajar. Oleh karena itu kemampuan mahasiswa selama pembelajaran klinik sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman instruktur klinik.
Dalam praktik klinik di rumah sakit, salah satu sarananya adalah dengan metode mentorship. Yaitu sebuah metode dimana mahasiswa di damping oleh seorang pembimbing klinik “mentor” yang melakukan menthorship guna mencapai tujuan pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin (2002) mengenai “Telaah praktek klinik keperawatan mahasiswa akademi keperawatan depkes Palembang di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2002” menunukkan bahwa perumusan praktik  klinik keperawatan yang terpadu dikarenakan belum adanya keterlibatan berbagai pihak terutama rumah sakit dan akademik. Hambatan dalam proses bimbingan di rumah sakit ini adalah belum optimalnya instruktur klinik dalam melakukan bimbingan terhadap mahasiswa. Selain itu, belum memadaianya perencanaan fasilitas khusus mahasiswa dalam berpraktik baik dari rumah sakit maupun dari akademik.
Gambaran yang sejak dulu ada di Indonesia adalah kurangnya koordinasi antara pihak akademik dengan rumah sakit. Dimulai dengan perbedaan SOP (Standr Operasional Prosedur) antara yang diajarkan di akademik dengan kondisi nyata di klinik hingga penerapan proses pembimbingan klinik yang tidak efektif. Banyak sekali wacana yang muncul terkait masalah proses bimbingan klinik mahasiswa di rumah sakit.
Untuk meningkatkan proses bimbingan, beberapa rumah sakit di Indonesia mulai menerapkan proses pembimbingan dengan mentorship. Mentorship ini telah lama digunakan dalam pendidikan keperawatan terutama di luar negeri. Hasil survey oleh Block dan Korow pada tahun 2005 menyatakan pelaksaan mentorship dapat mengatasi kekurangan tenaga perawat, meningkatkan kepuasan perawat serta memperbaiki kualitas pelayanan (Emil, dan Hema, 2008). Literature juga menyebutkan penerapan mentorship di luar negeri mampu meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik. Di Indonesia sendiri, metode ini belum begitu banyak diaplikasikan terutama di pendidikan keperawatan (Emil, dan Hema, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Emil dan Hema (2008) melaporkan adanya perubahan pencapaian kompetensi yang lebih cepat, dan tepat ketika mahasiswa mulai melakukan proses bimbingan dengan metode mentorship. Mahasiswa lebih percaya diri ketika melakukan asuha keperawatan kepada pasien baik itu secara kompetensi maupun komunikasi terpetik terhadap pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Linda dan Chandra (2012) mengenai “Tingkat Kepuasan Bimbingan Klinik Mahasiswa Keperawatan” memberikan hasil 59,6 % responden puas terhadap bimbingan klinik yang mereka terima selama praktik klinik di rumah sakit oleh pembimbing klinik dan sisanya 40,4 % menyatakan kurang puas terhadap bimbingan klinik. Studi pendahuluan yang dilakukan kepada 11 mahasiswa sebelum dilakukannya penelitian ini juga 5 mahasiswa menyatakan kurang puas dengan bimbingan klinik yang diterima. Mahasiswa yang menyatakan kurang puas terhadap bimbingan klinik beranggapan bahwa pembimbing klinik kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berdiskusi.
Dalam penelitiannya juga 45,6 % responden menyebutkan kurangnya empati dari pembimbing klinik kepada mahasiswa. Kondisi seperti ini banyak dijumpai di rumah sakit-rumah sakit tempat mahasiswa berpraktik. Penyebab umum yang sering dijumpai adalah jumlah mahasiswa yang terlalu banyak berpraktik dalam satu ruang dan kurangnya fasilitator atau mentor dalam membimbing mahasiswa di ruangan. Selain itu, banyaknya kegiatan perawat ruangan yang tidak dapat ditinggalkan sehingga mahasiswa hampir terabaikan.
Mahasiswa yang tidak puas dengan bimbingan klinik yang diterima dapat berdampak pada kepercayaan diri mahasiswa dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien dan keluarga. Kompetensi pencapaian mahasiswa dalam kondisi seperti ini juga cenderung tidak terpenuhi sehingga mempengaruhi kualitas keluaran mahasiswa setelah selesai praktik klinik. Selain masalah proses bimbingan, kebutuhan akan SOP  yang tepat dan sesuai antara klinik dan akademik juga menjadi sarana bagi mahasiswa untuk lebih cepat beradaptasi dengan kondisi di klinik. Karena sejauh ini yang terjadi SOP dalam tindakan keperawatan antara yang diperoleh mahasiswa dengan di klinik memiliki perbedaan.
Gambaran proses bimbingan klinik mahasiswa keperawatan di Indonesia masih banyak memiliki kekurangan baik dari akademik maupun dari klinik. Mulai dikembangkannya metode mentorship dalam pembelajaran klinik di Indonesia akan sangat membantu meningkatkan pencapaian kompetensi bagi mahasiswa keperawatan dalam berpraktik. Namun dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak terutama akademik dan rumah sakit guna mewujudkan prose pembimbingan yang tepat bagi mahasiswa.   


Daftar Pustaka
Ekawati, H. (2008). Hubungan antara persepsi penerapan metode bimbingan klinik dengan tingkat kepuasan mahassiswa dalam pengalaman belajar klinik di RSUD Dr. Soegiri Lamongan. www.pasca.uns.ac.id
Linda, K, A., dan Chandra, B, R. (2012). Tingkat kepuasan bimbingan klinik mahasiswa keperawatan. Jurnal Nursing Studies. 1(1). 219-224. www.ejournal-s1.undip.ac.id
Syafruddin. (2002). Telaah praktek klinik keperawatan mahasiswa akademi keperawatan depkes Palembang di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2002. Tesis. Perpustakaan Universitas Indonesia. www.lontar.ui.ac.id
Emil, H,. dan Hema, M. (2008). Mentorship sebagai suatu inovasi metode bimbingan klinik dalam keperawatan. Penelitian Dosen Muda. Program studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.



KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI DALAM KURIKULUM KEPERAWATAN BENCANA DI INDONESIA


ESSAY
KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI
DALAM KURIKULUM KEPERAWATAN BENCANA DI INDONESIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Pendidikan Keperawatan Klinik


Dosen: Ns. Dian Susmarini, S. Kep., M. Nurs

http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


ESSAY
KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI DALAM PENYUSUNAN KURIKULUM KEPERAWATAN BECANA

A.   Latar Belakang
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia, ataupun keduanya (Toha, 2007). Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan hendaknya berada di lini terdepan dalam penanganan bencana di Indonesia (Chan, Chan, Cheng, Fung, Lai, Leung, Leung, Li, Yip, Pang, 2010). Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Namun sejauh ini, tidak hanya di Indonesia di negara-negara lain juga dihadapkan pada kondisi kurangnya peran perawat dalam respon terhadap penanganan bencana. Sehingga diperlukan suatu pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni oleh seorang perawat untuk mengimbangi potensi dan kompleksitas bencana dan dampaknya yang mungkin akan lebih besar pada masa mendatang. Pertemuan yang dilakukan oleh American Public Health Association pada tahun 2006 telah menyebutkan bahwa diperlukan kesiapan dari tenaga kesehatan dalam mengahadapi kejadian luar biasa melalui pendidikan bencana yang menjadi prioritas dalam kurikulum (WHO dan ICN, 2009).
Melihat betapa besarnya peran perawat dan pentingnya kebutuhan akan keperawatan bencana dalam kurikulum maka penulis tertarik mengangkat masalah kompetensi perawat dalam penanganan bencana; implikasi keperawatan bencana dalam kurikulum pendidikan keperawatan. Terdapat beberapa pertanyaan yang ingin diulas dalam kajian ini yaitu kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam penanganan bencana, pembuatan kurikulum disaster nursing, dan aplikasinya di Indonesia. Literature yang digunakan sebagai bahan kajian diperoleh melalui pencarian dengan menggunakan kata kunci “disaster, competencies nursing in disaster, disaster nursing”. Beberapa jurnal yang mendukung kemudian diambil sebagai bahan kajian dan ditindak lanjuti dengan membaca references dari masing-masing jurnal. Sehingga hasil akhir menemukan enam (6) jurnal yang mendukung pembahasan kompetensi perawat dalam bencana dan kurikulum disaster nursing sebagai bahan kajian.

B.   Literatur Review
Kondisi emergensi dan disaster merupakan suatu peristiwa yang membutuhkan kompetensi yang unik dalam penanganannya. Dalam setiap tahapan penanganan bencana, perawat membutuhkan kompetensi yang berbeda-beda. Pada tahap mitigasi-prevention and preparedness competencies, kompetensi yang dibutuhkan adalah public health promotion and education. Pada tahap ini perawat memiliki peran untuk memberikan pendidikan dan promosi kesehatan terkait pencegahan bencana, tanda-tanda bencana, penanggulangan bencana oleh masyarakat dan juga respon masyarakat saat terjadi bencana (WHO dan ICN, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Hermawati (2010) bertujuan mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat dalam kesiapsiagaan bencana (preparedness) serta menyelidiki hubungan antara keparahan dan risiko yang dirasakan, pengalaman klinis, pelatihan dan pendidikan dan juga kehadiran perawat dalam simulasi manajemen bencana di rumah sakit serta pengetahuan dan keterampilan kesiapan perawat dalam merawat pasien akibat tsunami. Hasil penelitian menunjukkan keparahan dan risiko yang dirasakan, pengalaman klinis, pelatihan dan pendidikan memiliki tingkat signifikansi korelasi yang rendah dengan pengetahuan dan keterampilan perawat yang dirasakan dalam menghadapi bencana. Hermawati menyimpulkan bahwa diperlukan penyusunan kurikulum perawat dalam tatanan klinik mengenai kesiapan perawat dalam menghadapi bencana (Hermawati, 2010).
Penelitian lain dilakukan oleh Fung, Loke, dan Lai (2008) kepada 164 perawat Register Nurse (RN) yang melanjutkan study S 2 Keperawatan di Universitas di Hongkong. Penelitian ini menyebutkan, untuk mendukung kemampuan perawat dalam penanganan bencana, terdapat beberapa kompetensi yang harus dipenuhi yaitu: First aid, Basic Life Support (BCLS), Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS), infection control, field triage, pre-hospital trauma life support, advanced trauma care nursing, post traumatic psychological care, dan peri-trauma counseling.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Yin, He, Arbon, dan Zhu (2011) kepada 24 perawat yang menjadi bagian dalam penanganan bencana gempa bumi di Wenchuan. Hasil penelitian yang didapatkan terhadap kompetensi yang sangat penting harus dimiliki perawat saat terjadi bencana adalah; intravenous insertion, monitoring dan observasi, mas casualty triage, manajemen pasien trauma (control homeostatis, bandaging, fixation, manual handling), dan mas casualty transportation. Sedangkan kompetensi yang sering digunakan adalah: debridement dan dressingintravenous insertion, observasi dan monitoring. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kompetensi membutuhkan pelatihan khusus, seperti: mas casualty transportation, emergensi manajemen, dan trauma manajemen.
Hasil penelitian yang didapatkan oleh Yin (2011) menunjukkan hasil yang sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Fung (2008). Hal ini terjadi karena partisipan pada masing-masing penelitian memiliki karakteristik berbeda. Pada penelitian Yin, partisipan yang terlibat mengalami sendiri ikut serta dalam tim penanganan bencana gempa bumi di Wenchuan, sedangkan partisipan Fung belum memiliki pengalaman dalam penanganan bencana.
Penelitian yang dilakukan oleh Husna (2011) mendukung kesebelas kompetensi yang telah disebutkan pada beberapa jurnal di atas. Dimana beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat ketika akan berperan dalam penanganan bencana adalah triage, acute respiratory care, spiritual care, mental health care, wound care, patient referral, psychosocial care. Selain itu, kompetensi lain yang memerlukan pelatihan adalah BLS, ATLS, ACLS, BTLS, disaster management, dan mental health care untuk penanganan tsunami.

C.   Pembahasan 
Mengacu pada 10 (sepuluh) domain kerangka konsep yang telah dijabarkan oleh ICN (Lampiran 1) berdasar pada tahapan manajemen bencana dan kompetensi yang dibutuhkan perawat dalam penanganan bencana, kurikulum yang dapat disusun adalah sebagai berikut (Chan, Chan, Cheng, Fung, Lai, Leung, Leung, Li, Yip, Pang, 2010):

Tabel 1: Kerangka kurikulum bencana dan kegiatan belajar mengajar
No.
Topik
Metode
1.     
Konsep bencana
Diskusi
2.
Jenis-jenis bencana
Seminar/PBL
3.
Peran perawat dalam Manajemen Bencana
PBL
4.
Promosi dan pendidikan kesehatan
Role play
5.
Komunikasi dan transportasi dalam bencana
Diskusi
6.
Rumah Sakit lapangan dan rujukan
Diskusi
7.
Prinsip legal etik dalam manajemen bencana
Diskusi
8.
Pre hospital penanganan bencana
Seminar/PBL
9.
Kontrol infeksi dalam penanganan bencana
PBL
10.
Pengkajian individu keluarga dan komunitas
Role play/diskusi
11.
Triage bencana
Role play/Simulasi
12.
Mental Health care
Diskusi
13.
Perawatan psikososial dan spiritual
Diskusi
14.
Recovery pasca bencana individu, keluarga dan komunitas
Seminar/PBL
           
Metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah Problem Based Learning (PBL), role play, simulasi, group discussion, praktik klinik rumah sakit dan kunjungan langsung lokasi bencana. Berdasarkan penelitiannya, Chan dkk (2010) mengungkapkan bahwa metode PBL efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan siswa dalam memahami materi yang ada. PBL dapat menjadi triggers bagi siswa untuk lebih aktif belajar mandiri, mengantisipasi isu-isu lain yang muncul dalam penanganan bencana.
Untuk mengetahui perkembangan siswa, sistem evaluasi yang dapat digunakan antaralain; ujian tertulis untuk mengevaluasi kognitif mahsiswa, tes skill dan penilaian PBL melalui seminar ataupun diskusi kelompok. Penilaian individu dalam kelompok perlu dilakukan dikarenakan dalam situasi bencana, perawat akan bekerja sebagai tim dengan tenaga kesehatan lain dan profesi lainnya. Sehingga kemampuan individu dalam kelompok dan kemampuan kelompok dalam menyelesaikan masalah perlu untuk diperhitungkan dalam penilaian (Chan dkk, 2010).
Selain topik-topik di atas, terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki perawat dalam penanganan emergensi, trauma dan bencana yaitu: pengkajian  kardiovaskuler, pengkajian luka bakar, pengkajian status mental, management crush injury dan fraktur.  Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dimasukkan ke dalam kurikulum keprawatan gawat darurat mauapun medical bedah sebagi pendukung. Untuk meningkatkan psikomotor mahasiswa, dapat dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan-peltihan yang mendukung kompetensi dalam penanganan bencana.

Tabel 2: Pelatihan atau training bagi Perawat
No.
Topik
1.
Basic Life Support (BLS)
2.
Acute Cardiac Life Support (ACLS)
3.
Basic Trauma Life Support (BTLS)
4.
Wound Debridement/wound care

Garis besar kerangka konsep kegiatan belajar mengajar terkait kompetensi dalam disaster nursing telah coba diterapkan oleh Chan dkk (2010) yang mencoba mengevaluasi penerapan pelatihan atau kursus “Introduction to Disaster Nursing” selama 2 minggu terhadap 150 mahasiswa keperawatan di Cina. Chan dkk mengevaluasi kompetensi yang dimiliki siswa sebelum dan setelah pelatihan dan juga mencari tahu kebutuhan akan pelatihan mengenai manajemen bencana. Pelatihan yang dilakukan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kerangka konsep ICN seperti kelompok kerja, PBL, diskusi/seminar, dan perkuliahan. Hasil yang diapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan  antara kemampuan yang dimiliki sebelum dan sesudah pelatihan dimana terjadi peningkatan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa terhadap bencana dan penanganannya. Sebagian besar mahasiswa memiliki keinginan untuk ikut serta sebagai penolong dalam bencana dan berkompeten untuk terjun ke lokasi bencana namun berada dalam pengawasan (Chan dkk, 2010).
Dalam penyusunan kurikulum disaster nursing, terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus dipertahankan berdasarkan Global Standart for the Initial Education of Professional Nurses and Midwives yaitu konten isi dari pembelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan metode yang akan digunakan (WHO dan ICN, 2009). Dengan arti lain, kurikulum yang akan disusun harus dibangun berdasarkan pada kompetensi yang telah distandarkan. Kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan bagaimana pencapaian target interaksi antara siswa dengan kondisi bencana sebagai fokus kualitas pendidikan dan penerapan metode pembelajaran yang tepat untuk membangun profesionalitas dan berpikir kritis.
Presiden ICN (Interantional Council of Nurses) Dr. Hiroko Minami melihat betapa pentingnya perawat mendalami tentang disaster. Diharapkan lulusan program pendidikan keperawatan di USA, Eropa dan Asia telah dipersipakan menjadi experts dalam penanganan bencana beserta isu-isu yang ada didalamnya seperti kepemimpinan, pendidikan dan peran keperawatan dalam penanganan bencana. Namun, sejauh ini yang menjadi isu tersendiri dalam perkembangan kurikulum bencana dalam pembelajaran adalah standar kompetensi dalam keperawatan bencana yang masih belum pasti, kurangnya alat dalam pembelajaran, ketidakadekuatan dana pembelajaran dan kurangnya pengalaman tim pengajar dalam penanganan bencana (WHO dan ICN, 2009). Hal ini yang menjadikan fakultas-fakultas keperawatan merasa kurang percaya diri untuk mengembangkan kurikulum bencana dalam pembelajaran keperawatan (WHO dan ICN, 2009).
Sejak tahun 1970an, United State of Amerika telah menerapkan disaster nursing dalam kurikulum pembelajaran perawat (WHO dan ICN, 2009). Meskipun memiliki banyak kekurangan dalam pembelajarannya, namun pengembangan pengetahuan siswa mengenai bencana dan peran perawat dalam manajemen bencana menjadi dasar pembelajarannya. Dan kurikulum ini terus ditingkatkan dalam pembelajarannya terutama sejak tahun 1990an (WHO dan ICN, 2009).
Penerapan kurikulum keperawatan bencana di Indonesia belum menyeluruh. Kurikulum keperawatan bencana pertama kali dicetuskan oleh Provinsi Aceh pada empat Akademi Keperawatan (Akper) sejak tahun 2006. Namun sejauh ini keperawatan bencana baru masuk ke dalam muatan lokal di keempat Akper tersebut. Keempat pendidikan tersebut adalah Akper Tjoet Nyak Dhien, Akper Abulyatama, Akper Teungku Fakinah dan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Aceh, Said Mustafa (Ucok, 2009).          
Pendidikan keperawatan ini didukung oleh Palang Merah Jepang dalam pelaksanaannya. Pendidikan keperawatan bencana ini diharapkan dapat mendukung perawat nantinya dalam berespon lebih tanggap dalam bencana. Pendidikan ini tidak hanya diberikan kepada mahasiswa, namun juga kepada dosen (Ucok, 2009). Presiden Sekolah Keperawatan Internasional Palang Merah Jepang Kyushu, Prof Etsuko Kita, menyebutkan “sejak dibukanya pendidikan keperawatan bencana di Aceh, telah lebih dari 42 pertemuan working group telah digelar untuk membahas pengembangan silabus dan buku teks Keperawatan bencana. selain itu juga digelar enam kali lokakarya untuk meningkatakan keterampilan dan pengetahuan keperawatan bencana dalam bidang managemen keperawatan bencana, keperawatan bencana dan anak-anak, manula, ibu hamil dan kesehatan jiwa serta pertolongan pertama (Ucok, 2009).
Kurikulum keperawatan bencana juga telah diterapkan juga di Universitas Andalas di Indonesia. Modul pembelajaran yang disusun dengan total 3 SKS (Satuan Kredit Semester) dengan 2 teori dan 1 praktikum. Universitas Andalas juga telah mulai ikut serta dalam penanganan bencana longsor yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2013 di Kenagarian Batang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam. Menurut Prof. Dr. Dachriyanus, APT, Universitas Andalas telah memiliki mata kuliah keperawatan bencana sehingga tim yang dikirim telah terpapar dan siap dalam penanganan bencana (Humas dan Protokol Universitas Andalas, 2013).

D.   Kesimpulan
Perawat memiliki peran penting dalam manajemen penanganan bencana dimulai dari  Sehingga dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan untuk mengimbangi kompleksitas dampak dari bencana. untuk meningkatkan itu semua diperlukan adanya kurikulum bencana sebagi sarana pembelajaran. Dalam penyusunan kurikulum disaster nursing, yang paling utama adalah mengetahui kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran. Kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam penanganan bencana adalah promotion and education, mas casualty transportation/prehospital transportation, emergency management (BLS and ACLS), trauma management (BLS dan ATLS), monitor dan observasi, mas casualty triage, controlling specific infection, psychological first aid and crisis intervention, wound management (debridement and dressing), community health assessment dan terakhir patient care recording. Kurikulum bencana di Indonesia telah mulai dilakukan oleh pemerintah Provinsi Aceh pada Akper Tjoet Nyak Dhien, Akper Abulyatama, Akper Teungku Fakinah dan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Aceh, Said Mustafa dan juga Universitas Andalas Sumatera Barat.

E.    Daftar Pustaka
Chan, S, S, S., Chan, W., Cheng, Y., Fung, O., Lai, T, K., Leung, A, W, K., Leung, K., Li Sijian, Yip, A., Pang, S. (2010). Development and Evaluation of an Undergraduate Training Course for Developing International Council of Nurses Disaster Nursing Competencies in China. Journal of Nursing Scholarship. 42 (2): 405-413.
Fung, O, W, M., Loke, A, Y, and Lai, C, K, Y. (2009). Nurses’ perception of disaster: implications for disaster nursing curriculum. Journal of Clinical Nursing. 18: 3165-3171.
Hermawati, D. (2010). Nurses’s perceived preparedness of knowledge and skills in caring for patients attacked by tsunami in Banda Aceh, Indonesia and Its related factors. The 2nd International Conference on Humanities and Social Sciences. Faculty of Liberal Arts. Prince of Songkla University.
Humas dan Protokol Universitas Andalas (Unand). (2013). Pelepasan Tim Peduli Bencana Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. Diakses tanggal 4 April 2013.
Husna Cut. (2011). Emergency training, education and perceived clinical skills for tsunami care among nurses in Banda Aceh Indonesia. Nurse Media Journal of Nursing. 1: 75-86.
Toha, M. (2007). Berkwan dengan Ancaman; Strategi dan Adaptasi Mengurangi Resiko Bencana. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Ucok Parta. (2009). Aceh siapakan perawat tanggap bencana. www.acehkita.com. Diakses tanggal 4 April 2013
Universitas Andalas. (2010). Modul Pembelajaran Mata Kuliah: Keperawatan Bencana. Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
World Health Organization (WHO) and International Council of Nurses (ICN). (2009). ICN Framework of Disaster Nursing Competencies.
Yin. H., He. H., Arbon, P., Zhu. J. (2011). A survey of the practice of nurse’s skills in Wenchuan earthquake disaster sites; implication for disaster training. Journal of Advanced Nursing. 67(10): 2231-2238.



Lampiran 1: Garis besar konsep kerja kompetensi keperawatan bencana dalam kegiatan belajar mengajar
(WHO dan ICN, 2009)
Kompetensi keperawatan bencana (ICN)
Kegiatan belajar dan mengajar
Action learning
Masalah dasar dalam pembelajaran
Skill training
Dosen
Kompetensi dalam tahap mitigasi
1.    Identifikasi risiko bencana, pencegahan dan promosi kesehatan
Menggunakan media seni untuk mengilustrasikan kondisi bencana
Pengembangan rencana kesiapsiagaan bencana untuk scenario disaster yang berbeda

Definisi dan jenis-jenis bencana
2.    Perkembangan kebijaksanaan dan rencana
Kompetensi dalam tahap  Preparedness
3.    Informasi dan komuniksi
Kesadaran komunitas, persiapan personal dan peralatan emergensi untuk orang-orang yang rawan bencana.

Kemampuan komunikasi

4.    Kesiapsiagaan dan pendidikan
Respon pelayanan kesehatan untuk penyebaran penyakit akut respiratory

5.    Ethical practice, legal practice, and accountability
Nilai etik dalam pengambilan keputusan dibawah tekanan dalam kondisi bencana

Prinsip etik dalam pengambilan  keputusan pada situasi bencana
Kompetensi dalam tahap response
6.    Perawatan komunitas
Kunjungan lapangan ke lokasi gempa bumi, rumah sakit lapangan, perawatan emergency, intensive care, perawatan trauma, dan departemen rehabilitasi.
Berhubungan langsung dengan masalah dengan korban yang berbeda pada setiap bencana baik itu kebakaran, banjir, dan gempa bumi
Kemampuan transfer pasien pre hospital, manajemen luka, kemampuan wawancara, pertolongan pertama psycologi.

7.    Perawatan individu
Kemampuan menghibur diri sebagai respon psikologi hubungannya dengan emosi
8.    Perawatan psikologi
Membantu kelompok korban bencana yang berbeda-beda dengan memberikan solusi dalam setiap permasalahan emergensi.
9.    Care of vulnerable populations

Kompetensi pada tahap Recovery
10.  Recovery jangka panjang untuk individu, keluarga dan komunitas.
Kunjungan area asca bencana
Role play: kunjungan rumah ke korban pasca bencana
Pengkajian kebutuhan komunitas, manajemen kesehatan diri secara manual untukhipertensi, arthritis, insomnia dan kesehatan mental