Kamis, 06 Juni 2013

HELIOX (HELIUM DAN OKSIGEN) PADA PASIEN ASMA AKUT DI EMERGENCY DEPARTMENT

ESSAY


TERAPI MODALITAS HELIOX (HELIUM DAN OKSIGEN)
PADA PASIEN ASMA AKUT DI EMERGENCY DEPARTMENT




http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015

  

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


                
A.   Latar Belakang
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang telah lama menjadi wacana baik pada populasi dewasa maupun anak-anak. Pasien dengan asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Ketidakmampuan ini tercermin dari hasil usaha ekspirasi paksa atau Peak Expiratory Flow Rates (PEFs) pada detik pertama. Individu dengan asma dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus yang abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran nafas. Asma membutuhkan penanganan, perawatan dan evaluasi secara komprehensif dengan penerapan diet yang tepat, pencegahan alergen, dan pengobatan atau medikasi manajemen yang tepat (Sanchez, 2009).
Status asthmaticus didefinisikan oleh Bechler Karsch (1994) sebagai serangan asma yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian jika tidak mendapatkan manajemen yang benar. Sebagian besar pasien dengan exacerbations akut dari asma gagal berespon pada terapi rutin yang diberikan. dan mungkin memerlukan intubation segera dan ventilsi mekanik. Inisiasi dari ventilasi mekanis pada pasien dengan asma yang parah dapat menyelamatkan jiwa, tapi ini terkait dengan peningkatan morbiditas pasien. Sehingga dilakukan suatu penelitian pada sebuah grup kecil untuk mempelajari pemberian heliox sebagai terapi definitive menggantikan terapi konvensional biasa yang umumnya dengan menggunakan oksigen (Reuben and Harris, 2004).
Heliox merupakan campuran helium dan oksigen. Helium adalah gas inert yang tidak memiliki efek samping atau efek terapetik secara langsung. Karena campuran ini memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan udara, aliran turbulen yang diberikan akan berubah menjadi lebih laminar, yang menurunkan resistensi jalan nafas terhadap aliran udara (Papiris, Manali, Kolilekas, Triantafillidou, Tsangaris, 2009).
Peran heliox pada pasien dengan gangguan jalan nafas seperti asma terutama pada penurunan resistensi jalan nafas terhadap aliran udara. Aliran udara pada  jalan nafas pasien asma bersifat turbulen sehingga meningkatkan resisitensi dan kesulitan pernapasan pad pasien asma. Heliox yang memiliki kepadatan rendah dapat mengubahnya menjadi aliran laminer. Aliran laminer yang ada berdampak pada efisiensi pengiriman oksigen ke bagian yang lebih distal dari pohon bronkus Sehingga udara yang terhirup dapat segera sampai pada bagian distal bronkus dan menurunkan usaha pernapasan untuk memenuhi kekurangan oksigen akibat penyempitan jalan nafas (Reuben and Harris, 2004).
Heliox bertindak menurunkan usaha ambilan udara pada jalan nafas dan memungkinkan peningkatan ventilasi saat ekspirasi. Ini merupakan salah satu dari dua alasan utama penggunaan heliox terapi direkomendasikan selain mampu mengubah aliran turbulent menjadi lebih efisien seperti aliran laminar. Alsan kedua, adalah heliox memiliki densitas rendah. Dengan densitas atau kepadatan yang rendah, heliox menurunkan gradien tekanan yang diperlukan untuk mencapai tingkat tertentu aliran turbulent pada pasien asma dan dalam teori hal ini dapat mengurangi fungsi kerja pernapasan (Reuben and Harris, 2004). Berdasarkan pada latarbelakang di atas, penulis tertarik untuk mengambil terapi modalitas heliox (helium dan oksigen) pada pasien asma akut di emergency department sebagai judul.

B.   Manfaat
Pemberian heliox pada pasien diharapkan mampu menurunkan kerja pernapasan pasien asma dan memenuhi kebutuhan oksigen pada pasien yang umumnya mengalami penyempitan jalan nafas. Sehingga dapat meningkatkan usaha perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang baik dalam perawatan pasien asma terutama pada pasien asma akut sedang hingga berat yang tidak berespon pada terapi konvensional biasa dengan menggunakan oksigen di ruang emergency. Melalui ini, diharapkan dapat menggiring penelitian-penelitian lanjutan untuk meningkatkan temuan efek heliox pada pasien asma.

C.   Analisis Literature
Sama seperti pemberian terapi oksigen pada umunya, pemberian heliox pada beberapa pasien dapat diberikan melalui non-rebreathing mask untuk meningkatkan ventilasi, menurunkan kerja pernapasan, dan menunda terjadinya kelelahan otot-otot pernapasan (Papiris, Manali, Kolilekas, Triantafillidou, Tsangaris.2009). Penggunaan heliox ini lebih diutamakan pada pasien dengan asma akut sedang hingga berat. Penggunaan Heliox pada pasien asma dan obstruksi jalan nafas bagian atas tidak untuk mengobati penyakit yang mendasari tetapi digunakan untuk mengurangi resistensi airways dan kerja otot pernapasan hingga perawatan definitif yang diperlukan pasien diberikan seperti intubasi (Reuben and Harris, 2004).
Penggunaan heliox sesungguhnya telah dimulai sejak 65 tahun lalu. Namun, masih menjadi pro dan kontra dalam penggunaan heliox sebagai terapi pada pasein asma akut sedang hingga berat. Campuran helium dan oksigen yang dianjurkan adalah menggunakan helium lebih dari 70% dengan kata lain 70% helium dan 30 % oksigen atau dapat 80% helium dan 20 % oksigen. Beberapa penelitian menyebutkan heliox memberikan efek yang baik pada pasien dengan asma akut sedang hingga berat yang tidak berespon dengan terapi konvensional biasa menggunakan oksigen. Namun penelitian lain juga menyebutkan heliox tidak memberikan efek yang berarti dan hanya memberikan efek placebo dalam perawatan pasien asma (Reuben and Harris,  2004).
Kass dan Terregino (1999) melakukan penelitan randomized trial control pertama kali dalam penggunaan heliox (70:30 helium:oksigen) dibandingkan dengan konvensional menggunakan oksigen pada pasein akut eksaserbasi asthma. Pasien yang terlibat yaitu 23 pasien dewasa dengan nilai klinis eksaserbasi asma seperti yang didefinisikan oleh PEFR dalam 200 l/min. Semua pasien menerima pengobatan konvensional seperti pada protocol (methylprednisolone intravena, nebulised albuterol) dan diacak untuk beberapa pasien yang menerima Heliox (11 pasien) atau oksigen (12 pasien) untuk melihat ada tidaknya perbaikan klinis dan PEFR pada 200 l/min. Sembilan orang yang ikut dalam study kelompok pengobatan dengan heliox telah lebih dari 25% mengalami peningkatan PEFR pada 20 menit pertama dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan oksigen. Mereka juga menemukan bahwa pengobatan dengan Heliox dapat menurunkan kejadian dyspnoe dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini adalah randomize control trial pertama kali untuk penelitian efektifitas heliox,
Overview yang dilakukan oleh Kim dkk (2006) mendukung penelitian-penelitian di atas mengenai efektifitas pemberian nebulizer albuterol dengan heliox-driven menunjukkan hasil bahwa heliox-driven nebulizer albuterol memiliki manfaat pada pasien dengan asma eksaserbasi di ED dan ICU (Intensive Care Unit). Kim dkk (2006) melakukan studi berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan terhadap keefektifan heliox dibandingkan dengan oksigen. Penelitian yang dilakukan Kim sendiri pada tahun 2005 kepada 30 pasien dengan berumur 2-18 tahun menunjukkan hasil skor klinik pada menit ke 120, 180 dan 240 setelah pemberian heliox pada nilai klinis pasien (Kim, Saville, Sikes, Corcoran, 2006).
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kim pada penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk pada tahun 2005 kepada 80 pasien yang berumur > 18 tahun menunjukkan heliox dapat meningkatkan nilai PEF pasien lebih cepat dibandingkan dengan oksigen. Dan pada pasien dewasa heliox lebih berpengaruh terutama pada satus asma akut sedang hingga berat (Kim, Saville, Sikes, Corcoran, 2006).
Study lain yang dilakukan oleh Rose dkk (2002) mendapatkan hasil berbeda. Study ini bertujuan mengevaluasi efektifitas dari heliox-driven nebulizer pada manajemen pasien asma eksaserbasi moderate di Emergency Department (ED). Intervensi yang diberikan dalam penelitian ini yaitu terapi nebulizer driven 70:30 heliox dan nebulizer dengan oksigen oksigen. Nilai respiratory rate, Peak Expiratory Flow Rate (PEFR), Forced Expiratory Volume pada jam pertama (FEV1), dan skala Borg untuk dyspnea dinilai pada jam ke-0 dan ke 2. Gambaran kondisi klinis yang ditunjukkan pasien juga dikaji.
Total responden 36 pasien dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (18 heliox dan 18 oksigen). Ada peningkatan signifikan interval dalam kelompok kedua pada 2 jam pertama pada nilai PEFR, FEV1, skala Borg, dan laju pernafasan pasien. Ada perbedaan yang signifikan antara heliox 70:30 dan oksigen dalam PEFR (perbaikan perbedaan 17 liter/minute, 95% confidence interval (CI)-20-51], FEV1 (0.03 liter/detik, 95% CI-0.22-0.30), atau tingkat pernapasan (peningkatan perbedaan berarti antara kelompok perbaikan 0,5, 95% CI-2.7-3,8). Ada peningkatan yang signifikan pada skala Borg untuk menilai dyspnea yang dirasakan pasien Setelah 2 jam pemberian pada kelompok perlakuan yang diberikan heliox (1.6, 95% CI 0.3-3.0). Dalam hasil study ini pasien dengan asma exacerbation moderate yang diberikan heliox gagal menunjukkan peningkatan laju pernafasan, saturasi oksigen, PEFR, atau FEV1 setelah 2 jam. Namun, ada peningkatan yang signifikan dalam penurunan dyspnea dirasakan pasien pada heliox atas udara/oksigen diukur oleh Borg dyspnea skala (Rose, Panacek, Miller, 2002).
Studi lain yang dilakukan oleh Rodrigo dkk (2003) melalui systematic review penelitian sebelumnya dengan tujuan untuk menentukan efek penambahan pemberian heliox pada standar perawatan medis pasien dengan asma akut. Desain yang dilakukan adalah dengan review sistematis secara acak dan nonrandomized prospective, dengan control trial yang dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa. Intervensi ini diberikan untuk melihat efek placebo yang mungkin dari pemberian heliox bila digunakan pada perawatan asma akut sesuai standar. Penilaian yang dilihat pada tes fungsi paru-paru, kejadian masuk rumah sakit, penilaian fisiologis, efek samping, dan hasil klinis. Hasil yang didapat menunjukkan tujuh uji trial yang dipilih dari total 392 uji pada pasien penderita asma akut. Enam studi pada orang dewasa dan satu studi pada anak-anak. Variabel hasil utama adalah pengukuran spirometric (puncak aliran expiratory atau FEV1) di enam percobaan (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Dilakukan evaluasi pada dua penelitian efek heliox pada resistensi airways. Tidak ada perbedaan signifikan yang berarti ditunjukkan antara kelompok heliox maupun kelompok  dengan pemberian oksigen (SMD, -0,20; dengan nilai convidence interval 95%. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara penggunaan nebulizer dengan heliox dengan kelompok yang diberikan nebulizer dengan oksigen. Studi ini menunjukkan tidak meningkat secara signifikan fungsi pulmonary setelah diberikan heliox. Namun secara keseluruhan, heliox tidak memberikan efek samping pada pasien. Sehingga, berdasar pada analisa bukti-bukti yang ada, tidak mendukung penggunaan heliox untuk pasien asma akut sedang  hingga berat pada kondisi gawat darurat. Namun, kesimpulan ini didasarkan pada perbandingan antara kelompok dan penelitian kecil yang hanya dilakukan pada tujuh responden (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Hasil sistematik review yang dilakukan Rodrigo dkk (2003) ini memiliki kelemahan dan kekurangan yang telah mereka cantumkan. Ada kemungkinan publikasi bias dalam meta-analisis ini. Misalnya, dengan hasil-hasil penelitian yang tidak dipublikasikan atau yang hilang. Namun Rodrigo dkk (2003) juga telah menyampaikan cara-cara yang ditempuh untuk mengurangi bias dalam penelitian ini sehingga kesimpulan akhir yang dapat diberikan adalah jumlah dan ukuran studi yang dilakukan dalam penelitiannya menggunakan sample kecil, sehingga kesimpulan hasil yang ada saat ini dapat dimodifikasi melalui peninjauan systematic review yang menggunakan sampel lebih besar (Rodrigo, Rodrigo, Pollack, and Rowe, 2003).
Karena heliox merupakan gas inert yang tidak memiliki efek samping pada proses metabolism manusia, heliox dapat digunkan dengan aman pada kebanyakan pasien. Namun terdapat satu kajian pustaka yang menyebutkan efek samping pemberian heliox dapat menyebabkan hipoksia pada pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen yang tinggi yang tidak dapat mentolelir pemberian helium yang terlalu berlebihan. Namun sejauh ini heliox aman digunakan pada pasien asma dan pasien obstuksi jalan nafas bagian atas (Reuben and Harris, 2004).

D.   Clinical Significant
Pro dan kontra penelitian yang dilakukan terkait penggunaan heliox sebagai terapi pada pasien asma akut sedang hingga berat menjadi penentu dalam penerapannya di praktik klinik. Meskipun heliox diketahui tidak memiliki efek samping yang berarti pada proses metabolisme pasien, namun dibutuhkan clinical signifikansi dalam menentukan layak tidaknya terapi ini diterapkan dalam praktik klinik.
Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh Kim dkk (2006) dan Gupta dkk (2005) yang melakukan analisis terhadap keefektifitas heliox sebagai terapi pada pasien asma akut sedang hingga berat yang menunjukkan hasil mampu menurunkan kerja pernapasan, menurunkan skor dypsneu dan meningkatkan nilai PEFR pasien. Hasil berbeda ditunjukkan oleh overview yang dilakukan oleh Rodrigo dkk (2003) bahwa bukti-bukti jurnal yang ia dapatkan tidak mendukung penggunaan heliox untuk pasien asma akut sedang hingga berat pada kondisi gawat darurat.Tingkat signifikansi klinis penggunaan heliox (helium dan oksigen) pada terapi pasien asma di emergency department diperkuat dengan hasil beberapa penelitian yang tercantum pada tabel (Tabel 1 dan Tabel 2).
Penulis mencoba melihat dari 8 artikel, abstrak atau jurnal penelitian yang didapatkan dengan 3 randomized controlled trial (RCT) dan 3 sistematic review dan 5 analisis. Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidance-based Medicine of Evidence (Oxford Centre for Evidance-Based Medicine 2011 Levels of Evidance, 2011). Berdasarkan pada hasil intrepretasi yang didapatkan dimana level 1 pada penelitian dengan systematic review yang menggunakan randomize control, level 2 penelitian dengan randomize control, level 3 penelitian yang tidak menggunakan randomized konrol tetapi terdapat kelompok control dan perlakuan atau bentuk eksperimen (Melynyk, and Overholt, 2011). Dalam jurnal, artikel dan abstrak yang didapat tidak ada level 4 dan 5 dikarenakan tidak ada penelitian yang studi kasus (level 4) dan level 5 yang merupakan sebuah opini. Hasil penilaian evidence base jurnal-jurnal yang didapatkan menunjukkan bahwa level evidence based heliox therapy untuk diterapkan pada praktik klinik tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan terapi konvensional dengan oksigen pada umumnya. Sehingga dengan atau tanpa pemberian heliox terapi sebagai pengganti oksigen tidak akan terlalu berpengaruh pada status pernapasan dan kondisi klinis pasien asma akut sedang hingga berat di emergency department.

Tabel 1. Studi Klinis Keberhasilan Heliox sebagai Terapi pada Pasien Asma
Peneliti/Tahun/Jurnal Publikasi/Judul Penelitian
Jumlah Res
Penyakit
Intervensi Penelitian
Hasil
Level Evidance Based
Lee et al./2005/Acad Emerg Med/ Beneficial effects of Albuterol therapy driven by Heliox versus by Oxygen in severe asthma exacerbation
80
Acute asthma Excerbation
Albuterol nedulized with oxygen vs. Heliox
Meningkatkan Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan score dyspnea
3
Sattonnet et al./2005/Poster/The efficacy of Helium-oxygen mixture 65% versus 35% in acute asthma exacerbation
204
Acute asthma
Conventional treatment vs. heliox therapy
Perbaikan pada nilai spirometri, menghindari intubasi dan memfasilitasi fase pemulihan pasien lebih cepat. 
3
Gupta et al./2005/Pediatric Crit Care Med/Heliox administration in the pediatric intensive care unit: An evidence-based review
Review
Asthma
Heliox therapy
Heliox memiliki efek positif dengan tidak memberikan efek samping. Diperlukan studi lanjutan untuk mengidentifikasi manfaat heliox.
1
Ho et al./2003/Chest/Heliox vs. air-oxygen mixtures for the treatment of patients with acute asthma
278
Acute asthma
Conventional treatment vs. Heliox
Manfaat ringan hingga sedang didapatkan dalam penggunaan pada jam pertama pasien asma berat.
3
Kass et. Al/1999/Chest/ the effect of heliox in acute severe asthma: a randomized controlled trial
23
Refractory asthma
Nebulized albuterol vs. steroid
Heliox memperbaiki parameter
2


Tabel 2: Studi Klinis Ketidakberhasilan Heliox sebagai Terapi pada Pasien Asma
Peneliti/Tahun/Jurnal Publikasi/Judul Penelitian
Jumlah Res
Penyakit
Intervensi Penelitian
Hasil
Level Evidance Based
Rose et al./2002/J Emerg Med/ Prospective Randomized trial of Heliox-driven continuous nebulizer in the treatment of asthma in the emergency department
36
Acute asthma
Albuterol nebulized
Tingginya pengaruh pada dyspnea score namun heliox tidak mampu menunjukkan peningkatan laju pernafasan, saturasi oksigen, PEFR, atau FEV1.
2
Rodrigo et al./2003/Chest/ Use of Helium-oxygen mixtures in the treatment of acute asthma
392
Acute asthma
Conventional therapy vs. heliox
Tinjauan dari 7 uji klinis membandingkan efek placebo heliox dalam hubungannya dengan perawatan standar pada pasien akut asma.
1
Bigham et al./2010/ Pediatr Crit Care Med /Helium/Oxygen-driven albuterol nebulization in the management of children with status asthmaticus: A randomized, placebo-controlled trial.
25
Status asthmaticus severe
Heliox-powered nebulized albuterol vs. oxygen-powered nebulized albuterol (placebo)
Heliox tidak menunjukkan mempercepat peningkatan perbaikan kondisi klinis pasien dan menurunkan waktu tunggu pasien di ED dibandingkan dengan yang deiberikan oksigen. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok.
2

E.    Kesimpulan
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Asma membutuhkan penanganan yang tepat sehingga dapat direkomendasikan pemberian heliox (helium dan oksigen) sebagai alternative pengganti oksigen sebagai terapi konvensional umumnya. Heliox secara umum tidak memberikan efek samping bagi pasien. Namun, berdasar pada jurnal-jurnal yang ada terdapat pro dan kontra dalam efektifitas heliox pada pasien asma akut sedang dan berat di emergency department. Hasil penilaian clinical signivikansi berdasarkan level evidence base menunjukkan heliox tidak terlalu signifikan untuk dapat diterapkan dan memberikan perubahan pada kondisi klinis pasien asma. Sehingga dengan atau tanpa pemberian heliox terapi sebagai pengganti oksigen tidak akan terlalu berpengaruh pada status pernapasan dan kondisi klinis pasien asma akut sedang hingga berat di emergency department.

F.    Daftar Pustaka
   Bigham. M. T., Jacobs. B. R., Monaco. M. A., Brili. R. J., Wells. D., Conway. E. M., Wheeler. D. S. (2010). Helium/Oxygen-driven albuterol nebulization in the management of children with status asthmaticus: A randomized, placebo-controlled trial. Pediatr Crit Care Med. 11(3)
   Carter. E. R., Webb. C. R., and Moffitt. D. R. (1996). Evaluation of heloix in children hospitalized with acute severe asthma. A randomize crossover trial. Chest. 109 (5): 1256-61.
   Kass. J. E., and Terregini. C. A. (1999). Heliox therapy in acute severe asthma; a randomized controlled trial. Chest. 116: 296-300.
   Kim. I. K., Saville. A. L., Sikes. K. L., Corcoran. T. E. (2006). Heliox-Driven Albuterol Nebulization for asthma exacerbations: An Overview. Respir Care. 51(6): 613-618. 
   Melynyk, B. and Fineout-Overholt, E. (2011). Evidence-based practice in nursing & healthcare: A guide to best practice (2nd ed.).  Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins.
   Oxford Centre for Evidance-Based Medicine 2011 Levels of Evidance. (2011). www.cebm.net 
   Papiris. S. A., MAnali. E. D., Kolilekas. L., triantafillidou. C., Tsangaris. I. (2009). Acute Severe Asthma; New Approaches to Assesment and Treatment. Adis Data Information.
   Reuben. A. D., and Harris. A. R. (2004). Heliox for asthma in the emergency department: a review of the literature. Emerge Med J. 21(2). 131-5.
   Rodrigo. G. J., Rodrigo. C., Pollack. C. V., and Rowe. B. (2003). Use of Helium-Oxygen Mixtures in the Treatment of Acute Asthma. CHEST. 123(3). www.chestjournal.org
  Rose. J. S., Panacek. E. A., Miller. P. (2002). Prospective Randomized trial of Heliox-driven continuous nebulizer in the treatment of asthma in the emergency department. J Emerg Med. 22(2): 133-7.
  Sanchez Jesus. (2009). Uncontrolled asthma: Osteopathic Manipulative Treatment Applied in Rural Setting. Journal of The American Osteopthic Association. 19(3).

   Shiue. M. D., and Gluck. E. H. (1989). The use of helium-oxygen mixture in the support of patients with status asthmaticus and respiratory acidosis. J. Asthma. 26: 177-80.

Minggu, 02 Juni 2013

OSTEOPATHIC MANIPULATIVE TREATMENT (OMT) PADA PASIEN ASMA DI EMERGENCY DEPARTMENT


ESSAY


OSTEOPATHIC MANIPULATIVE TREATMENT (OMT)
PADA PASIEN DENGAN ASMA




http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg















Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015







PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013



                
A.   Latar Belakang
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang telah lama menjadi wacana baik pada populasi dewasa maupun anak-anak. Pasien dengan asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Ketidakmampuan ini tercermin dari hasil usaha ekspirasi paksa atau Peak Expiratory Flow Rates (PEFs) pada detik pertama (Sanchez, 2009).   
Individu dengan asma dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus yang abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran nafas. Asma membutuhkan penanganan, perawatan dan evaluasi secara komprehensif dengan penerapan diet yang tepat, pencegahan alergen, medikasi, dan terakhir dengan modalitas terapi seperti Osteopathic Manupulative Treatment (OMT). OMT secara sinergis dapat membantu mengontrol gejala yang muncul pada pasien asma (Sanchez, 2009).
Memahami anatomi tubuh merupakan kunci dalam penerapan OMT pada pasien asma. Thorak merupakan organ penting yang berfungsi melindungi organ-organ penting lainnya yang ada di dalamnya seperti jantung, paru-paru dan pembuluh-pembuluh darah lainnya. Thoraks bekerja secara dinamis dalam proses pernapasan. Dengan OMT secara tidak langsung akan mengevalusi pergerakan dinding dada dalam proses pernapasan (Sanchez, 2009).
OMT merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas untuk menurunkan angka kejadian asma. OMT secara umum lebih berhubungan dengan sistem muskuloskeletal. Namun telah mulai dikembangkan penerapan OMT tidak hanya pada penyakit yang berhubungan dengan sistem musculoskeletal saja tetapi juga pada penyakit lain seperti pada sistem respiratory. Hal ini dilatarbelakangi oleh anatomi sistem pernafasan yang ditunjang oleh sistem musculoskeletal yaitu thoraks (Guiney, Chou, Vianna, Lovenheim, 2005).
OMT merupakan suatu tindakan non invasive yang efektif sebagai terapi pada pasien asma. Terapi yang diberikan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang sering muncul pada pasien asma terutama pada populasi anak-anak. OMT menunjukkan dapat meningkatkan kapasitas vital paru dan pergerakan dinding dada, memperbaiki fungsi diafrgma, meningkatkan bersihan jalan nafas, dan meningkatkan fungsi autoimmune pasien asma (Guiney et al, 2005).
Penerapan OMT secara umum di Emergency Department (ED) lebih sering digunakan pada kondisi kegawatdaruratan yang berhubungan dengan musculoskeletal seperti pada ankle sprain ataupun neck pain. OMT umumnya dilakukan oleh dokter emergensi yang telah mendapatkan pelatihan OMT atau terapis osteopathic sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan dan dilakukan oleh perawat sebagai alternative treatment pada pasien asma (Roberge and  Roberge, 2009).
Pada pasien asama, OMT berfokus pada fungsi dan struktur thorax sehingga dapat digunakan secara maksimal dan efektif selama proses pernapasan. Meskipun agen farmakologi mampu menurunkan tanda dan gejala yang muncul pada pasien asma, namun agen farmakologi tidak mampu menangani komponen-komponen dalam sistem pernapasan seperti pergerakan dan pengembangan dinding dada sehingga dibutuhkan terapi modalitas untuk mendukung peningkatan fungsi pernapasan pasien (Guiney et al, 2005).

B.   Manfaat
OMT merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas yang lebih sering digunakan sebagai alternative terapi pada masalah musculoskeletal. Namun perkembangan menunjukkan OMT dapat diterapkan sebagai terapi bagi pasien asma. Manfaat OMT bagi pasien asma adalah dapat meningkatkan kerja fungsi pernapasan pasien.
Bagi dunia pendidikan keparawatan, pengembangan pelatihan terapi modalitas atau memasukkan terapi modalitas ke dalam kurikulum pembelajaran mahasiswa keperawatan akan menambah pengetahuan dan keterampilan bagi lulusan perawat. Sejauh ini OMT di ruang emergency lebih banyak dilakukan oleh seorang terapis osteopathic, dokter spesialis, residen, dan dokter muda yang telah mendapatkan pelatihan osteopathic. Namun, penggunaannya di emergency department juga masih jarang dilakukan sehingga tidak mentup kemungkinan dapat dilakukan oleh perawat sebagai salah satu terapi alternative modalitas guna meningkatkan layanan keperawatan. Untuk dapat melakukannya, diperlukan peningkatan kompetensi dan skill bagi perawat seperti mengikuti pelatihan-pelatihan.

C.   Analisis Literature
Fokus dan prinsip dari penerapan OMT pada pasien asma adalah untuk melihat adanya hubungan  antara struktur dan fungsi sistem musculoskeletal yang berpengaruh pada sistem lainnya. OMT diberikan pada pasien asma dengan tiga tujuan, pertama untuk memperbaiki dan memaksimalkan pengembangan dada dalam sistem pernapasan, kedua menormalkan fungsi sistem saraf otonom dimana cabang dari nervus vagus sebagai pengatur pergerakan dinding dada bagian dalam terutama pada pernafasan diafragma. Tujuan terakhir adalah memfasilitasi laju limfatik ke dan dari cabang bronchial, dimana terapi yang diberikan berusaha menurunkan ketegangan pada myofascia yang mampu mengurangi kongesti jalan nafas pada pasien asma (Bockenhauer, Julliard, Sing, Huang, Sheth, 2002).
Dalam penerapannya pada pasien asma, ada beberapa tehnik yang umum dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR) dan Balanced Ligamentaous Tension (BLT) yang ditujukan untuk memperbaiki pergerakan dinding dada. Tehnik lain yaitu diafragma impediment yang dapat mengoptimalkan pergerakan diafragma pasien. Tehnik ‘rib raising’ juga dapat digunkan untuk membantu pergerakan dinding dada. Tehnik terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan tehnik jaringan lunak seperti paraspinal inhibition pada area cervical dan suboksipital. Tehnik ini dapat merubah aliran parasimpatik yang akan memberikan keseimbangan antara bronkodilatasi dan bronkokontriksi dan kontrol terhadap kerja paru akibat saraf otonom (Roberge and Roberge; Sanchez; 2009, 2009).
Tehnik-tehnik tersebut juga dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dalam penelitiannya. Studi yang dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dirancang untuk mendapatkan data sebelum dan sesudah pemberian OMT dengan menggunakan 4 tehnik dalam OMT pada pasien dengan asma kronik. Pemberian 4 tehnik ini diharapkan mampu menyingkirkan faktor konfonding yang akan mempengaruhi terjadinya serangan asma. Penelitian dilakukan dengan pre-post cros over design dimana responden dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu yang mendapat OMT kemudian sham dan yang mendapatkan sham kemudian OMT.
OMT diberikan dalam waktu 10 – 15 menit yang mencakup 4 tehnik gerakan OMT yaitu menyeimbangkan ketegangan ligamentum di oksipitoatloid dan di cervicothoracis junctions, A. T. Still’s tehnik untuk meghindari mobilisasi tulang rusuk, melepaskan aksi secara langsung dalam menurunkan tahanan ekspirasi, dan terakhir adalah diafragma impediment. Terapi dilakukan dengan posisi pasien supinasi pada meja terapi dan berbalik (tengkurap), dengan pakaian bagian atas dilepas (Bockenhauer et al, 2002).
Mobilisasi atau mengembangkan thorak dengan menggunakan muscle energy. merupakan tehnik manipulasi jaringan lunak dengan gerakan langsung dan dengan kontrol gerak yang dilakukan oleh pasien sendiri pada saat kontraksi isotonic atau isometric yang bertujuan untuk meningkatkannfusngsi musculoskeletal. Prinsipmnya adalam memanipulasi dengan cara yang halus dengan kekuatan tahanan gerak yang minimal hanya sebesar 20-30% dari kekuatan otot, melibatkan control pernapasan pasien, dengan repitasi optimal. Tehnik ini bekerja dengan merilekskan otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaribgan melalui tekanan yang ringan dan lembut sehingga tidak membuat jaringan iritasi dan teregang kuat  (Chaitow, 2006, Webster, 2001).
Tehnik dilakukan dengan palpasi terlebih dahulu oleh perawat pada otot yang mengalami spasme dengan melakukan gerak pasif pada area leher hingga thoraks dan punggung pasien dapat dilihat pada gambar 1. kemudian pasien dilakukan kontraksi isometric pada otot agonist selama 10 detik seperti melakukan ROM pasien pada area leher dan kedua lengan. Selama dilakukan kontraksi dan diberikan terapi, pasien diajarkan tehnik pernapasan sebagai salah satu terapi. Hal ini penting untuk rileksasi yang diberkan sangat berpengaruh untuk meningkatkan sirkulasi darah. Setelah melakukan isometric selama 10 detik, perawat kemudian dapat meregangkan otot selama 30 detik dengan perlahan dan halus. Peregangan ini tidak boleh dilakukan kurang atau lebih dari 30 detik (gambar 2). Terakhir, pengulangan yang dilakukan hanya 5 kali sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pengulangan ini efektif bagio rileksasi jaringan dan otot serta memperbaikai pola pernapasan pasien.


Gambar 1: Palpasi otot spasme oleh perawat

Gambar  2: Peregangan otot selama 30 detik

Responden yang masuk dalam penelitian tersebut berumur lebih dari 18 tahun dengan diagnosa asma kronik. Dalam penelitian ini ada beberapa kriteria eksklusi yang digunakan untuk menyaring responden yaitu pasien asma dengan pregnancy, pasien asma yang mendapatkan perubahan medikasi selama 4 minggu, pasien asma yang terjadi perburukan kondisi selama empat minggu, pasien asma dengan penyakit penyerta CHF, CRF, sirosis hepatis dan kanker. Kesemua kondisi tersebut disingkirkan karena dapat mempengaruhi hasil penilaian PEFs yang diperoleh (Bockenhauer et al, 2002).
Metode pre-pos cros over design dipilih untuk mengukur efektifitas terapi yang diberikan. Selama pemberian OMT, tidak ada komplikasi yang terjadi pada pasien. Dari hasil, didapatkan peningkatan pengembangan dinding dada pada kedua kelompok dengan komparasi kedua procedure (kelompok pertama prosedur OMT lebih dulu sebelum Sham dan yang kedua prosedur Sham dulu sebelum OMT) menunjukkan perubahan yag signifikan (Bockenhauer et al, 2002).
Namun jika data dilihat dari hasil tiap-tiap prosedur, pada kelompok yang lebih dulu mendapatkan sham dan kemudian langsung dilakukan penilaian pengembangan dinding dadanya, tidak ditemukan peningkatan secara signifikan. Dan pengembangan dinding dada secara siginifikan meningkat setelah kelompok mendapatkan OMT. Berbeda dengan kelompok yang lebih dulu mendapatkan OMT, sudah terjadi peningkatan yang signifikan pada pengembangan dinding dada pasien sebelum diberikan prosedur sham (Bockenhauer et al, 2002).
Sangat penting untuk menjadi catatan bahwa pemberian terapi OMT harus dilakukan sesuai dengan protokol yang ada dengan memperhatikan karakteristik individu masing-masing. Seperti contoh pasien dengan penurunann ekspansi paru akibat ketegangan pada dinding dada akan memiliki diagnosis berbeda antara satu dengan lainnya. Sehingga dibutuhkan tehnik OMT yang berbeda pula dalam aplikasinya.  Kekurangan lain dari penelitian ini adalah hanya menggunakan 10 subjek responden sebagai sample sehingga keakuratan data untuk mencapai hipotesis yang baik masih kurang (Bockenhauer et al, 2002). 
Guiney et al (2005) dalam penelitian yang dilakukan selama 2 tahun (Juli 1997 - Juli 1999) mencoba melihat keefektifan OMT pada pasien pediatric dengan asma yang berumur 5-17 tahun. Responden yang ikut serta dalam penelitian berjumlah 140 responden yang dibagi ke dalam dua grup yaitu 90 pada kelompok yang diberikan perlakuan OMT dan 50 responden pada kelompok control yang diberikan terapi Sham.
OMT yang diberikan pada responden disesuaikan dengan protocol pemberian terapi OMT pada pasien asma yaitu menggunakan tehnik rib raising, muscle energy for ribs, dan myofascial release. PEFs sebelum dan sesudah pemberian terapi diukur. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan t-test menunjukkan OMT secara signifuikan dapat meningkatkan fungsi pulmonary pada pasien. Terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum (7 liter/minute) dan sesudah OMT (19 liter/minute). Hasil utama randomize kontrolt trial menunjukkan OMT sangat signifikan untuk meningkatkan PEFs pasien dengan asma terutama pada pediatric (Guiney et al, 2005).
Namun dalam penelitian ini, responden yang ikut serta adalah yang dalam kondisi stabil bukan yang dalam kondisi akut ataupun distress pernapasan. Selain itu dalam penelitian ini tidak dijelaskan berapa kali terapi yang diberikan dan berapa lama terapi diberikan kepada responden. Sehingga gambaran detail mengenai terapi yang diberikan kepada responden tidak diketahui. Melihat hal tersebut, OMT pada penelitian ini diberikan kepada pasien sebagai terapi rehabilitasi pada pasien asma dan bukan pada kondisi emergency pasien asma (Guiney et al, 2005).
Penerapan OMT belum banyak dilakukan di ED. Penerapan OMT sendiri yang lebih sering dilakukan dan cenderung menguntungkan di ED adalah untuk kegawatan penyakit musculoskeletal seperti acute neck pain, low back pain dan ankle sprain. Selain itu diperlukan design khusus ruangan untuk dapat menerapkan OMT di ED (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010). Hasil survey oleh Johnson (2002) yang dilakukan secara acak pada 955 responden dalam perawatan primer (dokter keluarga), dokter penyakit dalam, obsgin, praktik bidan, praktik dokter osteopathic, dan pelayanan keparawatan khusus menunjukkan bahwa penerapan OMT lebih banyak dilakukan di dokter keluarga dan praktik dokter osteopathic (Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby, 2010).
Estimasi perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam penerapan ED adalah 2-6 menit dari 10-20 menit waktu yang dimiliki untuk pemberian respon cepat terhadap pasien ED Melihat singkatnya waktu penanganan yang ada, OMT yang diterapkan di ED haruslah yang memiliki efektifitas dan keuntungan yang besar pada pasien. Selain itu, dibutuhkan kemampuan dan skill khusus yang harus dimiliki oleh perawat yang akan melakukan terapis. Penerapan OMT sendiri di ED harus mengikuti standar protocol penanganan pasien ED (Stretanski dan Kaiser, 2001).
Penerapan OMT pada pasien asma sejauh ini masih pada tahap rehabilitasi dimana kondisi pasien mulai stabil. Pada fase akut asma belum ada penlitian yang menyebutkan penggunaan OMT. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkannya OMT pada pasien asma di ED terutama pada fase kondisi pasien mulai stabil. Pemberian OMT ini dapat dimodifikasi dan dikombinasi dengan pemberian posisi semi fowler pada pasien, pemberian oksigenasi dan kolaborasi pemberian bronkodilator.
Meskipun belum ada penelitian yang tepat menjelaskan penerapan OMT pada pasien asma di ED, tetapi laporan kasus yang ditulis oleh Stretanski et al (2001) cukup membantu memberikan gambaran kemungkinan OMT sebagai treatment emergensi pada pasien gagal nafas akut. Pada laporan kasusnya, dijelaskan bahwa OMT berpotensial digunkan sebagia maintenance dan memproteksi struktur anatomi jalan nafas. Terapi pada area cervical dapat menjadi pilihan untuk pasien karena sering disfuungsi thoraks merupakan sekunder dari disfungsi cervical. Pengaruh dinamis yang diberikan OMT memberikan keseimbangan antara bronkodilatasi dan bronkokonstriksi melalui pengaturan saraf otonom. Pada akhirnya , OMT pada area cervical menunjukkan efektif pada pasien yang menderita cedera mekanik yang dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Hasil survey yang dilakukan oleh Ray et al (2004), terdapat beberapa kendala dalam mengaplikasikan OMT di ED yaitu: tidak cukupnya waktu untuk OMT, dokter, perawat ataupun tim lainnya kurang percaya diri dengan kemampuan OMT yang mereka miliki, pasien tidak familiar dengan OMT, kurangnya panduan secara tertulis dalam penerapan OMT di ED, menyangkut pertanggungjawaban. Kendala lain yang didapatkan adalah kurang menguntungkannya OMT untuk pasien di ED, dan isu pasien safety yang umumnya tidak menyediakan banyak waktu untuk pasien dilakukan OMT di ED yang umumnya dengan pemberian penanganan segera (Roberge and Roberge, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2009, 2010).
Pasien yang datang ke ED umumnya dalam kondisi akut ataupun akut pada penyakit kronis yang sering muncul akibat satu atau lebih faktor dari penyakit yang mendasarinya. Seperti pada pasien asma yang umumnya datang dengan kondisi sesak nafas berat sehingga penanganan pertama yang tepat diberikan adalah stabilisasi kondisi pasien, mengidentifikasi penyebab, dan memberikan intervensi yang tepat untuk mencegah perburukan kondisi. Dalam kondisi seperti ini perawat ataupun dokter emergency umunya merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk menerapkan OMT dan lebih memilih terapi lain yang dapat segera mencegah perburukan kondisi pasien (Roberge and Roberge, 2009).
Keterbatasan pengetahuan dan kompetensi perawat ataupun dokter mengenai OMT sendiri menjadi masalah dalam penerapannya. Pengetahuan mengenai indikasi dan kontraindikasi dalam penerapan OMT pada pasien akan membantu dalam pengambilan keputusan lebih cepat sehingga penanganan yang diberikan juga dapat lebih cepat.  Beberapa kontraindikasi penerapan OMT adalah pada kasus-kasus seperti: malignancy, osteoporosis, rheumatoid atritis berat, penyakit carotid atau vertebrobasilaris vaskuler, fraktur, aneurisme, dan pasien dengan terapi antikoagulan. Seperti pada pasien asma, jika perawat mengetahui posisi dan tehnik OMT yang tepat untuk mengurangi kejadian sesak pada pasien asma, maka OMT akan dapat secara efektif diterapkan 10-15 menit di ED untuk meningkatkan PEFs pasien asma. (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Masalah kurangnya waktu akan menjadi masalah klasik di ED. Tidak akan pernah mendapatkan waktu yang tepat dan cukup untuk melakukan penanganan. Yang dibutuhkan adalah gambaran waktu yang tepat kapan penanganan diberikan dan pada kondisi seperti apa merupakan alternative pilihan dalam mengambil keputusan. Gambaran waktu yang tepat bisa didapatkan melalu kombinasi pemberian medikasi dan penggunaan teknologi canggih yang ada untuk mengontrol risiko yang mungkin muncul akibat penerapan OMT pada pasien asma di ED dapat menjadi solusi (Stretanski and Kaiser, 2001).



D.   Clinical Significant
Pemberian OMT pada pasein asma dapat mingkatkan  mutu pelayanan dengan memaksimalkan pengembangan dinding dada yang secara tidak langsung dapat meningkatkan fungsi pernapasan pasien. Dalam penelitiannya, Mesisca et al (2010) memberikan rujukan kepada penelitian berikutnya untuk meneliti penerapan OMT di ED pada pasien asma. Hal ini berdasar pada hipotesis yang coba ia jabarkan bahwa pasien asma akut di ED yang pengobatan secara konvensional dan dipadukan dengan pemberian procedure OMT akan menunjukkan nilai tes fungsi paru (spirometri, PEFs dan gas darah arteri) lebih baik dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan terapi pengobatan secara konvensional saja (Mesica et al, 2010). 

E.    Kesimpulan
OMT adalah terapi modalitas sebagai alternative dan penunjang pemeberian perawatan dan pelayanan pada pasien. OMT merupakan terapi modalitas yang menekankan pada peningkatkan fungsi dan struktur muskulo dan skeletal pasien yang secara tidak langsung mempengaruhi status kesehatan pasien. Seperti pada pasien asma, terapi OMT yang diberikan berfokus untuk memperbaiki dan memaksimalkan pengembangan dada dalam sistem pernapasan. Tehnik yang umunya dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR), Balanced Ligamentaous Tension (BLT), rib raising, dan diafragma impediment.
OMT pada pasien asma umumnya dilakukan sebagai terapi rehabilitasi yang diberikan pada saat kondisi pasien stabil. Terapi diberikan guna meningkatkan pengembangan dada, fungsi diafragma, dan mengurangi bronkokrontriksi pada pasien asma. Di ED, OMT lebih sering diterapkan pada pasien dengan kegawatan musculoskeletal seperti pada ankle sprain, low back pain dan acute neck pain. Belum ada penelitian yang menyebutkan OMT dapat diterapkan pada pasien asma di ED dikarenakan masih terdapat beberapa keterbatsan dan kendala yang umum terjadi seperto kurangnya waktu pada penanganan di ED dan kurangnya kepercayaan diri serta kemampuan perawat atau dokter dalam memberikan OMT di ED. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan asal disesuaikan dengan protocol yang berlaku di ED serta meminimlakan risiko yang terjadi akibat terapi dengan kolaborasi pemberian medikasi dan penggunaan teknologi canggih untuk memantau kondisi pasien selama pemberian terapi.

F.    Daftar Pustaka
          Bockenhauer, S. E., Julliard, K. N., Lo, K. S., Huang, E., Sheth, A. M. (2002). Quantifiable effects of osteopathic manipulative techniques on patients with chronic asthma. Journal of The American Osteopthic Association. 102(7).
           Guiney. P. A., Chou. R., Vianna. A., Lovenheim. J. (2005). Effect of osteopathic manipulative treatment on pediatric patients with asthma: A Randomaized Controlled Trial. JAOA. 105(1).
Johnson, S. M., and Kurtz, M. E. (). Conditions an diagnoses for which osteopathic primary care physicians and specialists use osteopathic manipulative treatment. Journal of The American Osteopthic Association. 102(10):527-540.
          Mesica. M., Hoffman. K., Fenati. G., Hruby. R. J. (2010). Osteopathic manipulative treatment in the emergency department: A Two-Dimensional Curriculum. Journal of The American Osteopthic Association. 20(1): 23-31.
      Ray, A. M., Cohen, J, E., Buser, B. R. (2004). OEP training and use of osteopathic manipulative treatment. Journal of The American Osteopthic Association. 104(1): 15-2 1.
           Roberge. R. J., and  Roberge. M. R. (2009). Overcoming barriers to the use of osteopathic manipulation techniques in the emergency department. Western Journal of Emergency Medicine. X(3): 184-189.
            Sanchez Jesus. (2009). Uncontrolled asthma: Osteopathic Manipulative Treatment Applied in Rural Setting. Journal of The American Osteopthic Association. 19(3).
Stretanski, M. F., and Kaiser, G. (2001). Osteopathic philosophy and emergent treatment in acute respiratory failure. Journal of The American Osteopthic Association. 101(8).