ESSAY
OSTEOPATHIC
MANIPULATIVE TREATMENT (OMT)
PADA PASIEN DENGAN ASMA
Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2013
A. Latar
Belakang
Asma
merupakan suatu kondisi kronik yang telah lama menjadi wacana baik pada
populasi dewasa maupun anak-anak. Pasien dengan asma memiliki ketidakmampuan
mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama
pada fase ekspirasi. Ketidakmampuan ini tercermin dari hasil usaha ekspirasi
paksa atau Peak Expiratory Flow Rates
(PEFs) pada detik pertama (Sanchez, 2009).
Individu
dengan asma dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus yang
abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran nafas. Asma membutuhkan
penanganan, perawatan dan evaluasi secara komprehensif dengan penerapan diet
yang tepat, pencegahan alergen, medikasi, dan terakhir dengan modalitas terapi
seperti Osteopathic Manupulative
Treatment (OMT). OMT secara sinergis dapat membantu mengontrol gejala yang
muncul pada pasien asma (Sanchez, 2009).
Memahami
anatomi tubuh merupakan kunci dalam penerapan OMT pada pasien asma. Thorak
merupakan organ penting yang berfungsi melindungi organ-organ penting lainnya
yang ada di dalamnya seperti jantung, paru-paru dan pembuluh-pembuluh darah
lainnya. Thoraks bekerja secara dinamis dalam proses pernapasan. Dengan OMT
secara tidak langsung akan mengevalusi pergerakan dinding dada dalam proses
pernapasan (Sanchez, 2009).
OMT
merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas untuk menurunkan angka
kejadian asma. OMT secara umum lebih berhubungan dengan sistem muskuloskeletal.
Namun telah mulai dikembangkan penerapan OMT tidak hanya pada penyakit yang
berhubungan dengan sistem musculoskeletal saja tetapi juga pada penyakit lain
seperti pada sistem respiratory. Hal ini dilatarbelakangi oleh anatomi sistem
pernafasan yang ditunjang oleh sistem musculoskeletal yaitu thoraks (Guiney,
Chou, Vianna, Lovenheim, 2005).
OMT
merupakan suatu tindakan non invasive
yang efektif sebagai terapi pada pasien asma. Terapi yang diberikan dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang sering muncul pada pasien asma
terutama pada populasi anak-anak. OMT menunjukkan dapat meningkatkan kapasitas
vital paru dan pergerakan dinding dada, memperbaiki fungsi diafrgma,
meningkatkan bersihan jalan nafas, dan meningkatkan fungsi autoimmune pasien asma
(Guiney et al, 2005).
Penerapan
OMT secara umum di Emergency Department
(ED) lebih sering digunakan pada kondisi kegawatdaruratan yang berhubungan
dengan musculoskeletal seperti pada ankle
sprain ataupun neck pain. OMT
umumnya dilakukan oleh dokter emergensi yang telah mendapatkan pelatihan OMT
atau terapis osteopathic sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk
dapat diterapkan dan dilakukan oleh perawat sebagai alternative treatment pada
pasien asma (Roberge and Roberge, 2009).
Pada pasien
asama, OMT berfokus pada fungsi dan struktur thorax sehingga dapat digunakan
secara maksimal dan efektif selama proses pernapasan. Meskipun agen farmakologi
mampu menurunkan tanda dan gejala yang muncul pada pasien asma, namun agen
farmakologi tidak mampu menangani komponen-komponen dalam sistem pernapasan
seperti pergerakan dan pengembangan dinding dada sehingga dibutuhkan terapi
modalitas untuk mendukung peningkatan fungsi pernapasan pasien (Guiney et al, 2005).
B. Manfaat
OMT
merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas yang lebih sering digunakan
sebagai alternative terapi pada masalah musculoskeletal. Namun perkembangan
menunjukkan OMT dapat diterapkan sebagai terapi bagi pasien asma. Manfaat OMT
bagi pasien asma adalah dapat meningkatkan kerja fungsi pernapasan pasien.
Bagi dunia
pendidikan keparawatan, pengembangan pelatihan terapi modalitas atau memasukkan
terapi modalitas ke dalam kurikulum pembelajaran mahasiswa keperawatan akan
menambah pengetahuan dan keterampilan bagi lulusan perawat. Sejauh ini OMT di
ruang emergency lebih banyak
dilakukan oleh seorang terapis osteopathic, dokter spesialis, residen, dan
dokter muda yang telah mendapatkan pelatihan osteopathic. Namun, penggunaannya
di emergency department juga masih
jarang dilakukan sehingga tidak mentup kemungkinan dapat dilakukan oleh perawat
sebagai salah satu terapi alternative modalitas guna meningkatkan layanan
keperawatan. Untuk dapat melakukannya, diperlukan peningkatan kompetensi dan
skill bagi perawat seperti mengikuti pelatihan-pelatihan.
C. Analisis
Literature
Fokus dan
prinsip dari penerapan OMT pada pasien asma adalah untuk melihat adanya
hubungan antara struktur dan fungsi
sistem musculoskeletal yang berpengaruh pada sistem lainnya. OMT diberikan pada
pasien asma dengan tiga tujuan, pertama untuk memperbaiki dan memaksimalkan
pengembangan dada dalam sistem pernapasan, kedua menormalkan fungsi sistem
saraf otonom dimana cabang dari nervus vagus sebagai pengatur pergerakan
dinding dada bagian dalam terutama pada pernafasan diafragma. Tujuan terakhir
adalah memfasilitasi laju limfatik ke dan dari cabang bronchial, dimana terapi
yang diberikan berusaha menurunkan ketegangan pada myofascia yang mampu
mengurangi kongesti jalan nafas pada pasien asma (Bockenhauer, Julliard, Sing,
Huang, Sheth, 2002).
Dalam penerapannya
pada pasien asma, ada beberapa tehnik yang umum dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR) dan Balanced Ligamentaous Tension (BLT) yang
ditujukan untuk memperbaiki pergerakan dinding dada. Tehnik lain yaitu
diafragma impediment yang dapat mengoptimalkan pergerakan diafragma pasien.
Tehnik ‘rib raising’ juga dapat digunkan untuk membantu pergerakan dinding dada.
Tehnik terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan tehnik jaringan lunak
seperti paraspinal inhibition pada area cervical dan suboksipital. Tehnik ini
dapat merubah aliran parasimpatik yang akan memberikan keseimbangan antara
bronkodilatasi dan bronkokontriksi dan kontrol terhadap kerja paru akibat saraf
otonom (Roberge and Roberge; Sanchez; 2009, 2009).
Tehnik-tehnik
tersebut juga dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dalam penelitiannya.
Studi yang dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dirancang untuk mendapatkan
data sebelum dan sesudah pemberian OMT dengan menggunakan 4 tehnik dalam OMT
pada pasien dengan asma kronik. Pemberian 4 tehnik ini diharapkan mampu
menyingkirkan faktor konfonding yang akan mempengaruhi terjadinya serangan
asma. Penelitian dilakukan dengan pre-post
cros over design dimana responden dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu yang
mendapat OMT kemudian sham dan yang mendapatkan sham kemudian OMT.
OMT
diberikan dalam waktu 10 – 15 menit yang mencakup 4 tehnik gerakan OMT yaitu
menyeimbangkan ketegangan ligamentum di oksipitoatloid dan di cervicothoracis
junctions, A. T. Still’s tehnik untuk meghindari mobilisasi tulang rusuk,
melepaskan aksi secara langsung dalam menurunkan tahanan ekspirasi, dan
terakhir adalah diafragma impediment. Terapi dilakukan dengan posisi pasien
supinasi pada meja terapi dan berbalik (tengkurap), dengan pakaian bagian atas
dilepas (Bockenhauer et al, 2002).
Mobilisasi
atau mengembangkan thorak dengan menggunakan muscle energy. merupakan tehnik
manipulasi jaringan lunak dengan gerakan langsung dan dengan kontrol gerak yang
dilakukan oleh pasien sendiri pada saat kontraksi isotonic atau isometric yang
bertujuan untuk meningkatkannfusngsi musculoskeletal. Prinsipmnya adalam
memanipulasi dengan cara yang halus dengan kekuatan tahanan gerak yang minimal
hanya sebesar 20-30% dari kekuatan otot, melibatkan control pernapasan pasien,
dengan repitasi optimal. Tehnik ini bekerja dengan merilekskan otot tanpa
menimbulkan nyeri dan kerusakan jaribgan melalui tekanan yang ringan dan lembut
sehingga tidak membuat jaringan iritasi dan teregang kuat (Chaitow, 2006, Webster, 2001).
Tehnik
dilakukan dengan palpasi terlebih dahulu oleh perawat pada otot yang mengalami
spasme dengan melakukan gerak pasif pada area leher hingga thoraks dan punggung
pasien dapat dilihat pada gambar 1.
kemudian pasien dilakukan kontraksi isometric pada otot agonist selama 10 detik
seperti melakukan ROM pasien pada area leher dan kedua lengan. Selama dilakukan
kontraksi dan diberikan terapi, pasien diajarkan tehnik pernapasan sebagai
salah satu terapi. Hal ini penting untuk rileksasi yang diberkan sangat
berpengaruh untuk meningkatkan sirkulasi darah. Setelah melakukan isometric selama
10 detik, perawat kemudian dapat meregangkan otot selama 30 detik dengan
perlahan dan halus. Peregangan ini tidak boleh dilakukan kurang atau lebih dari
30 detik (gambar 2). Terakhir,
pengulangan yang dilakukan hanya 5 kali sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Pengulangan ini efektif bagio rileksasi jaringan dan otot serta
memperbaikai pola pernapasan pasien.
Gambar 1: Palpasi otot spasme oleh
perawat
Gambar
2: Peregangan otot selama 30 detik
Responden
yang masuk dalam penelitian tersebut berumur lebih dari 18 tahun dengan
diagnosa asma kronik. Dalam penelitian ini ada beberapa kriteria eksklusi yang
digunakan untuk menyaring responden yaitu pasien asma dengan pregnancy, pasien
asma yang mendapatkan perubahan medikasi selama 4 minggu, pasien asma yang
terjadi perburukan kondisi selama empat minggu, pasien asma dengan penyakit
penyerta CHF, CRF, sirosis hepatis dan kanker. Kesemua kondisi tersebut
disingkirkan karena dapat mempengaruhi hasil penilaian PEFs yang diperoleh
(Bockenhauer et al, 2002).
Metode
pre-pos cros over design dipilih
untuk mengukur efektifitas terapi yang diberikan. Selama pemberian OMT, tidak
ada komplikasi yang terjadi pada pasien. Dari hasil, didapatkan peningkatan
pengembangan dinding dada pada kedua kelompok dengan komparasi kedua procedure
(kelompok pertama prosedur OMT lebih dulu sebelum Sham dan yang kedua prosedur
Sham dulu sebelum OMT) menunjukkan perubahan yag signifikan (Bockenhauer et al,
2002).
Namun jika
data dilihat dari hasil tiap-tiap prosedur, pada kelompok yang lebih dulu
mendapatkan sham dan kemudian langsung dilakukan penilaian pengembangan dinding
dadanya, tidak ditemukan peningkatan secara signifikan. Dan pengembangan
dinding dada secara siginifikan meningkat setelah kelompok mendapatkan OMT.
Berbeda dengan kelompok yang lebih dulu mendapatkan OMT, sudah terjadi
peningkatan yang signifikan pada pengembangan dinding dada pasien sebelum
diberikan prosedur sham (Bockenhauer et al, 2002).
Sangat
penting untuk menjadi catatan bahwa pemberian terapi OMT harus dilakukan sesuai
dengan protokol yang ada dengan memperhatikan karakteristik individu
masing-masing. Seperti contoh pasien dengan penurunann ekspansi paru akibat
ketegangan pada dinding dada akan memiliki diagnosis berbeda antara satu dengan
lainnya. Sehingga dibutuhkan tehnik OMT yang berbeda pula dalam
aplikasinya. Kekurangan lain dari
penelitian ini adalah hanya menggunakan 10 subjek responden sebagai sample
sehingga keakuratan data untuk mencapai hipotesis yang baik masih kurang
(Bockenhauer et al, 2002).
Guiney et al
(2005) dalam penelitian yang dilakukan selama 2 tahun (Juli 1997 - Juli 1999)
mencoba melihat keefektifan OMT pada pasien pediatric dengan asma yang berumur
5-17 tahun. Responden yang ikut serta dalam penelitian berjumlah 140 responden yang
dibagi ke dalam dua grup yaitu 90 pada kelompok yang diberikan perlakuan OMT
dan 50 responden pada kelompok control yang diberikan terapi Sham.
OMT yang
diberikan pada responden disesuaikan dengan protocol pemberian terapi OMT pada
pasien asma yaitu menggunakan tehnik rib
raising, muscle energy for ribs, dan
myofascial release. PEFs sebelum dan sesudah pemberian terapi diukur. Hasil
yang diperoleh dengan menggunakan t-test menunjukkan OMT secara signifuikan
dapat meningkatkan fungsi pulmonary pada pasien. Terdapat perbedaan yang
signifikan antara sebelum (7 liter/minute) dan sesudah OMT (19 liter/minute).
Hasil utama randomize kontrolt trial menunjukkan OMT sangat signifikan untuk
meningkatkan PEFs pasien dengan asma terutama pada pediatric (Guiney et al, 2005).
Namun dalam
penelitian ini, responden yang ikut serta adalah yang dalam kondisi stabil
bukan yang dalam kondisi akut ataupun distress pernapasan. Selain itu dalam
penelitian ini tidak dijelaskan berapa kali terapi yang diberikan dan berapa
lama terapi diberikan kepada responden. Sehingga gambaran detail mengenai
terapi yang diberikan kepada responden tidak diketahui. Melihat hal tersebut,
OMT pada penelitian ini diberikan kepada pasien sebagai terapi rehabilitasi
pada pasien asma dan bukan pada kondisi emergency pasien asma (Guiney et al, 2005).
Penerapan
OMT belum banyak dilakukan di ED. Penerapan OMT sendiri yang lebih sering
dilakukan dan cenderung menguntungkan di ED adalah untuk kegawatan penyakit
musculoskeletal seperti acute neck pain,
low back pain dan ankle sprain.
Selain itu diperlukan design khusus ruangan untuk dapat menerapkan OMT di ED
(Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010). Hasil
survey oleh Johnson (2002) yang dilakukan secara acak pada 955 responden dalam
perawatan primer (dokter keluarga), dokter penyakit dalam, obsgin, praktik
bidan, praktik dokter osteopathic, dan pelayanan keparawatan khusus menunjukkan
bahwa penerapan OMT lebih banyak dilakukan di dokter keluarga dan praktik
dokter osteopathic (Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby, 2010).
Estimasi
perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam penerapan ED adalah 2-6 menit dari 10-20
menit waktu yang dimiliki untuk pemberian respon cepat terhadap pasien ED Melihat
singkatnya waktu penanganan yang ada, OMT yang diterapkan di ED haruslah yang
memiliki efektifitas dan keuntungan yang besar pada pasien. Selain itu, dibutuhkan
kemampuan dan skill khusus yang harus dimiliki oleh perawat yang akan melakukan
terapis. Penerapan OMT sendiri di ED harus mengikuti standar protocol
penanganan pasien ED (Stretanski dan Kaiser, 2001).
Penerapan
OMT pada pasien asma sejauh ini masih pada tahap rehabilitasi dimana kondisi
pasien mulai stabil. Pada fase akut asma
belum ada penlitian yang menyebutkan penggunaan OMT. Namun, tidak menutup
kemungkinan untuk dapat diterapkannya OMT pada pasien asma di ED terutama pada
fase kondisi pasien mulai stabil. Pemberian OMT ini dapat dimodifikasi dan
dikombinasi dengan pemberian posisi semi fowler pada pasien, pemberian
oksigenasi dan kolaborasi pemberian bronkodilator.
Meskipun
belum ada penelitian yang tepat menjelaskan penerapan OMT pada pasien asma di
ED, tetapi laporan kasus yang ditulis oleh Stretanski et al (2001) cukup
membantu memberikan gambaran kemungkinan OMT sebagai treatment emergensi pada
pasien gagal nafas akut. Pada laporan kasusnya, dijelaskan bahwa OMT
berpotensial digunkan sebagia maintenance dan memproteksi struktur anatomi
jalan nafas. Terapi pada area cervical dapat menjadi pilihan untuk pasien
karena sering disfuungsi thoraks merupakan sekunder dari disfungsi cervical.
Pengaruh dinamis yang diberikan OMT memberikan keseimbangan antara
bronkodilatasi dan bronkokonstriksi melalui pengaturan saraf otonom. Pada
akhirnya , OMT pada area cervical menunjukkan efektif pada pasien yang
menderita cedera mekanik yang dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma
(Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Hasil survey
yang dilakukan oleh Ray et al (2004), terdapat beberapa kendala dalam
mengaplikasikan OMT di ED yaitu: tidak cukupnya waktu untuk OMT, dokter,
perawat ataupun tim lainnya kurang percaya diri dengan kemampuan OMT yang
mereka miliki, pasien tidak familiar dengan OMT, kurangnya panduan secara
tertulis dalam penerapan OMT di ED, menyangkut pertanggungjawaban. Kendala lain
yang didapatkan adalah kurang menguntungkannya OMT untuk pasien di ED, dan isu
pasien safety yang umumnya tidak menyediakan banyak waktu untuk pasien
dilakukan OMT di ED yang umumnya dengan pemberian penanganan segera (Roberge
and Roberge, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2009, 2010).
Pasien yang
datang ke ED umumnya dalam kondisi akut ataupun akut pada penyakit kronis yang
sering muncul akibat satu atau lebih faktor dari penyakit yang mendasarinya. Seperti
pada pasien asma yang umumnya datang dengan kondisi sesak nafas berat sehingga
penanganan pertama yang tepat diberikan adalah stabilisasi kondisi pasien,
mengidentifikasi penyebab, dan memberikan intervensi yang tepat untuk mencegah
perburukan kondisi. Dalam kondisi seperti ini perawat ataupun dokter emergency
umunya merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk menerapkan OMT dan lebih
memilih terapi lain yang dapat segera mencegah perburukan kondisi pasien
(Roberge and Roberge, 2009).
Keterbatasan
pengetahuan dan kompetensi perawat ataupun dokter mengenai OMT sendiri menjadi
masalah dalam penerapannya. Pengetahuan mengenai indikasi dan kontraindikasi
dalam penerapan OMT pada pasien akan membantu dalam pengambilan keputusan lebih
cepat sehingga penanganan yang diberikan juga dapat lebih cepat. Beberapa kontraindikasi penerapan OMT adalah
pada kasus-kasus seperti: malignancy, osteoporosis, rheumatoid atritis berat,
penyakit carotid atau vertebrobasilaris vaskuler, fraktur, aneurisme, dan
pasien dengan terapi antikoagulan. Seperti pada pasien asma, jika perawat
mengetahui posisi dan tehnik OMT yang tepat untuk mengurangi kejadian sesak
pada pasien asma, maka OMT akan dapat secara efektif diterapkan 10-15 menit di
ED untuk meningkatkan PEFs pasien asma. (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman,
Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Masalah kurangnya
waktu akan menjadi masalah klasik di ED. Tidak akan pernah mendapatkan waktu
yang tepat dan cukup untuk melakukan penanganan. Yang dibutuhkan adalah
gambaran waktu yang tepat kapan penanganan diberikan dan pada kondisi seperti
apa merupakan alternative pilihan dalam mengambil keputusan. Gambaran waktu
yang tepat bisa didapatkan melalu kombinasi pemberian medikasi dan penggunaan
teknologi canggih yang ada untuk mengontrol risiko yang mungkin muncul akibat
penerapan OMT pada pasien asma di ED dapat menjadi solusi (Stretanski and
Kaiser, 2001).
D.
Clinical
Significant
Pemberian
OMT pada pasein asma dapat mingkatkan
mutu pelayanan dengan memaksimalkan pengembangan dinding dada yang
secara tidak langsung dapat meningkatkan fungsi pernapasan pasien. Dalam
penelitiannya, Mesisca et al (2010) memberikan rujukan kepada penelitian
berikutnya untuk meneliti penerapan OMT di ED pada pasien asma. Hal ini
berdasar pada hipotesis yang coba ia jabarkan bahwa pasien asma akut di ED yang
pengobatan secara konvensional dan dipadukan dengan pemberian procedure OMT
akan menunjukkan nilai tes fungsi paru (spirometri, PEFs dan gas darah arteri)
lebih baik dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan terapi pengobatan secara
konvensional saja (Mesica et al, 2010).
E. Kesimpulan
OMT adalah
terapi modalitas sebagai alternative dan penunjang pemeberian perawatan dan
pelayanan pada pasien. OMT merupakan terapi modalitas yang menekankan pada
peningkatkan fungsi dan struktur muskulo dan skeletal pasien yang secara tidak
langsung mempengaruhi status kesehatan pasien. Seperti pada pasien asma, terapi
OMT yang diberikan berfokus untuk memperbaiki dan memaksimalkan pengembangan
dada dalam sistem pernapasan. Tehnik yang umunya dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR), Balanced Ligamentaous Tension (BLT), rib
raising, dan diafragma impediment.
OMT pada
pasien asma umumnya dilakukan sebagai terapi rehabilitasi yang diberikan pada
saat kondisi pasien stabil. Terapi diberikan guna meningkatkan pengembangan
dada, fungsi diafragma, dan mengurangi bronkokrontriksi pada pasien asma. Di
ED, OMT lebih sering diterapkan pada pasien dengan kegawatan musculoskeletal
seperti pada ankle sprain, low back pain dan acute neck pain. Belum ada penelitian yang menyebutkan OMT dapat
diterapkan pada pasien asma di ED dikarenakan masih terdapat beberapa
keterbatsan dan kendala yang umum terjadi seperto kurangnya waktu pada
penanganan di ED dan kurangnya kepercayaan diri serta kemampuan perawat atau
dokter dalam memberikan OMT di ED. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat
diterapkan asal disesuaikan dengan protocol yang berlaku di ED serta
meminimlakan risiko yang terjadi akibat terapi dengan kolaborasi pemberian
medikasi dan penggunaan teknologi canggih untuk memantau kondisi pasien selama
pemberian terapi.
F. Daftar
Pustaka
Bockenhauer, S. E., Julliard, K. N.,
Lo, K. S., Huang, E., Sheth, A. M. (2002). Quantifiable effects of osteopathic
manipulative techniques on patients with chronic asthma. Journal of The American Osteopthic Association. 102(7).
Guiney. P. A., Chou. R., Vianna. A.,
Lovenheim. J. (2005). Effect of osteopathic manipulative treatment on pediatric
patients with asthma: A Randomaized Controlled Trial. JAOA. 105(1).
Johnson, S. M., and Kurtz, M. E. (). Conditions
an diagnoses for which osteopathic primary care physicians and specialists use
osteopathic manipulative treatment. Journal
of The American Osteopthic Association. 102(10):527-540.
Mesica. M., Hoffman. K., Fenati. G.,
Hruby. R. J. (2010). Osteopathic manipulative treatment in the emergency
department: A Two-Dimensional Curriculum. Journal
of The American Osteopthic Association. 20(1): 23-31.
Ray, A. M., Cohen, J, E., Buser, B. R.
(2004). OEP training and use of osteopathic manipulative treatment. Journal of The American Osteopthic
Association. 104(1): 15-2 1.
Roberge. R. J., and Roberge. M. R. (2009). Overcoming barriers to
the use of osteopathic manipulation techniques in the emergency department. Western Journal of Emergency Medicine. X(3):
184-189.
Sanchez Jesus. (2009). Uncontrolled
asthma: Osteopathic Manipulative Treatment Applied in Rural Setting. Journal of The American Osteopthic
Association. 19(3).
Stretanski, M. F., and Kaiser, G.
(2001). Osteopathic philosophy and emergent treatment in acute respiratory
failure. Journal of The American
Osteopthic Association. 101(8).
Awesome article! I want people to know just how good this information is in your article. It’s interesting, compelling content. Your views are much like my own concerning this subject. Osteopath Sydney CBD
BalasHapus