Minggu, 02 Juni 2013

OSTEOPATHIC MANIPULATIVE TREATMENT (OMT) PADA PASIEN ASMA DI EMERGENCY DEPARTMENT


ESSAY


OSTEOPATHIC MANIPULATIVE TREATMENT (OMT)
PADA PASIEN DENGAN ASMA




http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg















Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015







PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013



                
A.   Latar Belakang
Asma merupakan suatu kondisi kronik yang telah lama menjadi wacana baik pada populasi dewasa maupun anak-anak. Pasien dengan asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan terutama pada fase ekspirasi. Ketidakmampuan ini tercermin dari hasil usaha ekspirasi paksa atau Peak Expiratory Flow Rates (PEFs) pada detik pertama (Sanchez, 2009).   
Individu dengan asma dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus yang abnormal sehingga mempermudah penyempitan saluran nafas. Asma membutuhkan penanganan, perawatan dan evaluasi secara komprehensif dengan penerapan diet yang tepat, pencegahan alergen, medikasi, dan terakhir dengan modalitas terapi seperti Osteopathic Manupulative Treatment (OMT). OMT secara sinergis dapat membantu mengontrol gejala yang muncul pada pasien asma (Sanchez, 2009).
Memahami anatomi tubuh merupakan kunci dalam penerapan OMT pada pasien asma. Thorak merupakan organ penting yang berfungsi melindungi organ-organ penting lainnya yang ada di dalamnya seperti jantung, paru-paru dan pembuluh-pembuluh darah lainnya. Thoraks bekerja secara dinamis dalam proses pernapasan. Dengan OMT secara tidak langsung akan mengevalusi pergerakan dinding dada dalam proses pernapasan (Sanchez, 2009).
OMT merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas untuk menurunkan angka kejadian asma. OMT secara umum lebih berhubungan dengan sistem muskuloskeletal. Namun telah mulai dikembangkan penerapan OMT tidak hanya pada penyakit yang berhubungan dengan sistem musculoskeletal saja tetapi juga pada penyakit lain seperti pada sistem respiratory. Hal ini dilatarbelakangi oleh anatomi sistem pernafasan yang ditunjang oleh sistem musculoskeletal yaitu thoraks (Guiney, Chou, Vianna, Lovenheim, 2005).
OMT merupakan suatu tindakan non invasive yang efektif sebagai terapi pada pasien asma. Terapi yang diberikan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang sering muncul pada pasien asma terutama pada populasi anak-anak. OMT menunjukkan dapat meningkatkan kapasitas vital paru dan pergerakan dinding dada, memperbaiki fungsi diafrgma, meningkatkan bersihan jalan nafas, dan meningkatkan fungsi autoimmune pasien asma (Guiney et al, 2005).
Penerapan OMT secara umum di Emergency Department (ED) lebih sering digunakan pada kondisi kegawatdaruratan yang berhubungan dengan musculoskeletal seperti pada ankle sprain ataupun neck pain. OMT umumnya dilakukan oleh dokter emergensi yang telah mendapatkan pelatihan OMT atau terapis osteopathic sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan dan dilakukan oleh perawat sebagai alternative treatment pada pasien asma (Roberge and  Roberge, 2009).
Pada pasien asama, OMT berfokus pada fungsi dan struktur thorax sehingga dapat digunakan secara maksimal dan efektif selama proses pernapasan. Meskipun agen farmakologi mampu menurunkan tanda dan gejala yang muncul pada pasien asma, namun agen farmakologi tidak mampu menangani komponen-komponen dalam sistem pernapasan seperti pergerakan dan pengembangan dinding dada sehingga dibutuhkan terapi modalitas untuk mendukung peningkatan fungsi pernapasan pasien (Guiney et al, 2005).

B.   Manfaat
OMT merupakan salah satu pengembangan terapi modalitas yang lebih sering digunakan sebagai alternative terapi pada masalah musculoskeletal. Namun perkembangan menunjukkan OMT dapat diterapkan sebagai terapi bagi pasien asma. Manfaat OMT bagi pasien asma adalah dapat meningkatkan kerja fungsi pernapasan pasien.
Bagi dunia pendidikan keparawatan, pengembangan pelatihan terapi modalitas atau memasukkan terapi modalitas ke dalam kurikulum pembelajaran mahasiswa keperawatan akan menambah pengetahuan dan keterampilan bagi lulusan perawat. Sejauh ini OMT di ruang emergency lebih banyak dilakukan oleh seorang terapis osteopathic, dokter spesialis, residen, dan dokter muda yang telah mendapatkan pelatihan osteopathic. Namun, penggunaannya di emergency department juga masih jarang dilakukan sehingga tidak mentup kemungkinan dapat dilakukan oleh perawat sebagai salah satu terapi alternative modalitas guna meningkatkan layanan keperawatan. Untuk dapat melakukannya, diperlukan peningkatan kompetensi dan skill bagi perawat seperti mengikuti pelatihan-pelatihan.

C.   Analisis Literature
Fokus dan prinsip dari penerapan OMT pada pasien asma adalah untuk melihat adanya hubungan  antara struktur dan fungsi sistem musculoskeletal yang berpengaruh pada sistem lainnya. OMT diberikan pada pasien asma dengan tiga tujuan, pertama untuk memperbaiki dan memaksimalkan pengembangan dada dalam sistem pernapasan, kedua menormalkan fungsi sistem saraf otonom dimana cabang dari nervus vagus sebagai pengatur pergerakan dinding dada bagian dalam terutama pada pernafasan diafragma. Tujuan terakhir adalah memfasilitasi laju limfatik ke dan dari cabang bronchial, dimana terapi yang diberikan berusaha menurunkan ketegangan pada myofascia yang mampu mengurangi kongesti jalan nafas pada pasien asma (Bockenhauer, Julliard, Sing, Huang, Sheth, 2002).
Dalam penerapannya pada pasien asma, ada beberapa tehnik yang umum dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR) dan Balanced Ligamentaous Tension (BLT) yang ditujukan untuk memperbaiki pergerakan dinding dada. Tehnik lain yaitu diafragma impediment yang dapat mengoptimalkan pergerakan diafragma pasien. Tehnik ‘rib raising’ juga dapat digunkan untuk membantu pergerakan dinding dada. Tehnik terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan tehnik jaringan lunak seperti paraspinal inhibition pada area cervical dan suboksipital. Tehnik ini dapat merubah aliran parasimpatik yang akan memberikan keseimbangan antara bronkodilatasi dan bronkokontriksi dan kontrol terhadap kerja paru akibat saraf otonom (Roberge and Roberge; Sanchez; 2009, 2009).
Tehnik-tehnik tersebut juga dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dalam penelitiannya. Studi yang dilakukan oleh Bockenhauer et al (2002) dirancang untuk mendapatkan data sebelum dan sesudah pemberian OMT dengan menggunakan 4 tehnik dalam OMT pada pasien dengan asma kronik. Pemberian 4 tehnik ini diharapkan mampu menyingkirkan faktor konfonding yang akan mempengaruhi terjadinya serangan asma. Penelitian dilakukan dengan pre-post cros over design dimana responden dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu yang mendapat OMT kemudian sham dan yang mendapatkan sham kemudian OMT.
OMT diberikan dalam waktu 10 – 15 menit yang mencakup 4 tehnik gerakan OMT yaitu menyeimbangkan ketegangan ligamentum di oksipitoatloid dan di cervicothoracis junctions, A. T. Still’s tehnik untuk meghindari mobilisasi tulang rusuk, melepaskan aksi secara langsung dalam menurunkan tahanan ekspirasi, dan terakhir adalah diafragma impediment. Terapi dilakukan dengan posisi pasien supinasi pada meja terapi dan berbalik (tengkurap), dengan pakaian bagian atas dilepas (Bockenhauer et al, 2002).
Mobilisasi atau mengembangkan thorak dengan menggunakan muscle energy. merupakan tehnik manipulasi jaringan lunak dengan gerakan langsung dan dengan kontrol gerak yang dilakukan oleh pasien sendiri pada saat kontraksi isotonic atau isometric yang bertujuan untuk meningkatkannfusngsi musculoskeletal. Prinsipmnya adalam memanipulasi dengan cara yang halus dengan kekuatan tahanan gerak yang minimal hanya sebesar 20-30% dari kekuatan otot, melibatkan control pernapasan pasien, dengan repitasi optimal. Tehnik ini bekerja dengan merilekskan otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaribgan melalui tekanan yang ringan dan lembut sehingga tidak membuat jaringan iritasi dan teregang kuat  (Chaitow, 2006, Webster, 2001).
Tehnik dilakukan dengan palpasi terlebih dahulu oleh perawat pada otot yang mengalami spasme dengan melakukan gerak pasif pada area leher hingga thoraks dan punggung pasien dapat dilihat pada gambar 1. kemudian pasien dilakukan kontraksi isometric pada otot agonist selama 10 detik seperti melakukan ROM pasien pada area leher dan kedua lengan. Selama dilakukan kontraksi dan diberikan terapi, pasien diajarkan tehnik pernapasan sebagai salah satu terapi. Hal ini penting untuk rileksasi yang diberkan sangat berpengaruh untuk meningkatkan sirkulasi darah. Setelah melakukan isometric selama 10 detik, perawat kemudian dapat meregangkan otot selama 30 detik dengan perlahan dan halus. Peregangan ini tidak boleh dilakukan kurang atau lebih dari 30 detik (gambar 2). Terakhir, pengulangan yang dilakukan hanya 5 kali sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pengulangan ini efektif bagio rileksasi jaringan dan otot serta memperbaikai pola pernapasan pasien.


Gambar 1: Palpasi otot spasme oleh perawat

Gambar  2: Peregangan otot selama 30 detik

Responden yang masuk dalam penelitian tersebut berumur lebih dari 18 tahun dengan diagnosa asma kronik. Dalam penelitian ini ada beberapa kriteria eksklusi yang digunakan untuk menyaring responden yaitu pasien asma dengan pregnancy, pasien asma yang mendapatkan perubahan medikasi selama 4 minggu, pasien asma yang terjadi perburukan kondisi selama empat minggu, pasien asma dengan penyakit penyerta CHF, CRF, sirosis hepatis dan kanker. Kesemua kondisi tersebut disingkirkan karena dapat mempengaruhi hasil penilaian PEFs yang diperoleh (Bockenhauer et al, 2002).
Metode pre-pos cros over design dipilih untuk mengukur efektifitas terapi yang diberikan. Selama pemberian OMT, tidak ada komplikasi yang terjadi pada pasien. Dari hasil, didapatkan peningkatan pengembangan dinding dada pada kedua kelompok dengan komparasi kedua procedure (kelompok pertama prosedur OMT lebih dulu sebelum Sham dan yang kedua prosedur Sham dulu sebelum OMT) menunjukkan perubahan yag signifikan (Bockenhauer et al, 2002).
Namun jika data dilihat dari hasil tiap-tiap prosedur, pada kelompok yang lebih dulu mendapatkan sham dan kemudian langsung dilakukan penilaian pengembangan dinding dadanya, tidak ditemukan peningkatan secara signifikan. Dan pengembangan dinding dada secara siginifikan meningkat setelah kelompok mendapatkan OMT. Berbeda dengan kelompok yang lebih dulu mendapatkan OMT, sudah terjadi peningkatan yang signifikan pada pengembangan dinding dada pasien sebelum diberikan prosedur sham (Bockenhauer et al, 2002).
Sangat penting untuk menjadi catatan bahwa pemberian terapi OMT harus dilakukan sesuai dengan protokol yang ada dengan memperhatikan karakteristik individu masing-masing. Seperti contoh pasien dengan penurunann ekspansi paru akibat ketegangan pada dinding dada akan memiliki diagnosis berbeda antara satu dengan lainnya. Sehingga dibutuhkan tehnik OMT yang berbeda pula dalam aplikasinya.  Kekurangan lain dari penelitian ini adalah hanya menggunakan 10 subjek responden sebagai sample sehingga keakuratan data untuk mencapai hipotesis yang baik masih kurang (Bockenhauer et al, 2002). 
Guiney et al (2005) dalam penelitian yang dilakukan selama 2 tahun (Juli 1997 - Juli 1999) mencoba melihat keefektifan OMT pada pasien pediatric dengan asma yang berumur 5-17 tahun. Responden yang ikut serta dalam penelitian berjumlah 140 responden yang dibagi ke dalam dua grup yaitu 90 pada kelompok yang diberikan perlakuan OMT dan 50 responden pada kelompok control yang diberikan terapi Sham.
OMT yang diberikan pada responden disesuaikan dengan protocol pemberian terapi OMT pada pasien asma yaitu menggunakan tehnik rib raising, muscle energy for ribs, dan myofascial release. PEFs sebelum dan sesudah pemberian terapi diukur. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan t-test menunjukkan OMT secara signifuikan dapat meningkatkan fungsi pulmonary pada pasien. Terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum (7 liter/minute) dan sesudah OMT (19 liter/minute). Hasil utama randomize kontrolt trial menunjukkan OMT sangat signifikan untuk meningkatkan PEFs pasien dengan asma terutama pada pediatric (Guiney et al, 2005).
Namun dalam penelitian ini, responden yang ikut serta adalah yang dalam kondisi stabil bukan yang dalam kondisi akut ataupun distress pernapasan. Selain itu dalam penelitian ini tidak dijelaskan berapa kali terapi yang diberikan dan berapa lama terapi diberikan kepada responden. Sehingga gambaran detail mengenai terapi yang diberikan kepada responden tidak diketahui. Melihat hal tersebut, OMT pada penelitian ini diberikan kepada pasien sebagai terapi rehabilitasi pada pasien asma dan bukan pada kondisi emergency pasien asma (Guiney et al, 2005).
Penerapan OMT belum banyak dilakukan di ED. Penerapan OMT sendiri yang lebih sering dilakukan dan cenderung menguntungkan di ED adalah untuk kegawatan penyakit musculoskeletal seperti acute neck pain, low back pain dan ankle sprain. Selain itu diperlukan design khusus ruangan untuk dapat menerapkan OMT di ED (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010). Hasil survey oleh Johnson (2002) yang dilakukan secara acak pada 955 responden dalam perawatan primer (dokter keluarga), dokter penyakit dalam, obsgin, praktik bidan, praktik dokter osteopathic, dan pelayanan keparawatan khusus menunjukkan bahwa penerapan OMT lebih banyak dilakukan di dokter keluarga dan praktik dokter osteopathic (Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby, 2010).
Estimasi perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam penerapan ED adalah 2-6 menit dari 10-20 menit waktu yang dimiliki untuk pemberian respon cepat terhadap pasien ED Melihat singkatnya waktu penanganan yang ada, OMT yang diterapkan di ED haruslah yang memiliki efektifitas dan keuntungan yang besar pada pasien. Selain itu, dibutuhkan kemampuan dan skill khusus yang harus dimiliki oleh perawat yang akan melakukan terapis. Penerapan OMT sendiri di ED harus mengikuti standar protocol penanganan pasien ED (Stretanski dan Kaiser, 2001).
Penerapan OMT pada pasien asma sejauh ini masih pada tahap rehabilitasi dimana kondisi pasien mulai stabil. Pada fase akut asma belum ada penlitian yang menyebutkan penggunaan OMT. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkannya OMT pada pasien asma di ED terutama pada fase kondisi pasien mulai stabil. Pemberian OMT ini dapat dimodifikasi dan dikombinasi dengan pemberian posisi semi fowler pada pasien, pemberian oksigenasi dan kolaborasi pemberian bronkodilator.
Meskipun belum ada penelitian yang tepat menjelaskan penerapan OMT pada pasien asma di ED, tetapi laporan kasus yang ditulis oleh Stretanski et al (2001) cukup membantu memberikan gambaran kemungkinan OMT sebagai treatment emergensi pada pasien gagal nafas akut. Pada laporan kasusnya, dijelaskan bahwa OMT berpotensial digunkan sebagia maintenance dan memproteksi struktur anatomi jalan nafas. Terapi pada area cervical dapat menjadi pilihan untuk pasien karena sering disfuungsi thoraks merupakan sekunder dari disfungsi cervical. Pengaruh dinamis yang diberikan OMT memberikan keseimbangan antara bronkodilatasi dan bronkokonstriksi melalui pengaturan saraf otonom. Pada akhirnya , OMT pada area cervical menunjukkan efektif pada pasien yang menderita cedera mekanik yang dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Hasil survey yang dilakukan oleh Ray et al (2004), terdapat beberapa kendala dalam mengaplikasikan OMT di ED yaitu: tidak cukupnya waktu untuk OMT, dokter, perawat ataupun tim lainnya kurang percaya diri dengan kemampuan OMT yang mereka miliki, pasien tidak familiar dengan OMT, kurangnya panduan secara tertulis dalam penerapan OMT di ED, menyangkut pertanggungjawaban. Kendala lain yang didapatkan adalah kurang menguntungkannya OMT untuk pasien di ED, dan isu pasien safety yang umumnya tidak menyediakan banyak waktu untuk pasien dilakukan OMT di ED yang umumnya dengan pemberian penanganan segera (Roberge and Roberge, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2009, 2010).
Pasien yang datang ke ED umumnya dalam kondisi akut ataupun akut pada penyakit kronis yang sering muncul akibat satu atau lebih faktor dari penyakit yang mendasarinya. Seperti pada pasien asma yang umumnya datang dengan kondisi sesak nafas berat sehingga penanganan pertama yang tepat diberikan adalah stabilisasi kondisi pasien, mengidentifikasi penyebab, dan memberikan intervensi yang tepat untuk mencegah perburukan kondisi. Dalam kondisi seperti ini perawat ataupun dokter emergency umunya merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk menerapkan OMT dan lebih memilih terapi lain yang dapat segera mencegah perburukan kondisi pasien (Roberge and Roberge, 2009).
Keterbatasan pengetahuan dan kompetensi perawat ataupun dokter mengenai OMT sendiri menjadi masalah dalam penerapannya. Pengetahuan mengenai indikasi dan kontraindikasi dalam penerapan OMT pada pasien akan membantu dalam pengambilan keputusan lebih cepat sehingga penanganan yang diberikan juga dapat lebih cepat.  Beberapa kontraindikasi penerapan OMT adalah pada kasus-kasus seperti: malignancy, osteoporosis, rheumatoid atritis berat, penyakit carotid atau vertebrobasilaris vaskuler, fraktur, aneurisme, dan pasien dengan terapi antikoagulan. Seperti pada pasien asma, jika perawat mengetahui posisi dan tehnik OMT yang tepat untuk mengurangi kejadian sesak pada pasien asma, maka OMT akan dapat secara efektif diterapkan 10-15 menit di ED untuk meningkatkan PEFs pasien asma. (Stretanski dan Kaiser, Mesica, Hoffman, Fenati, Hruby; 2001, 2010).
Masalah kurangnya waktu akan menjadi masalah klasik di ED. Tidak akan pernah mendapatkan waktu yang tepat dan cukup untuk melakukan penanganan. Yang dibutuhkan adalah gambaran waktu yang tepat kapan penanganan diberikan dan pada kondisi seperti apa merupakan alternative pilihan dalam mengambil keputusan. Gambaran waktu yang tepat bisa didapatkan melalu kombinasi pemberian medikasi dan penggunaan teknologi canggih yang ada untuk mengontrol risiko yang mungkin muncul akibat penerapan OMT pada pasien asma di ED dapat menjadi solusi (Stretanski and Kaiser, 2001).



D.   Clinical Significant
Pemberian OMT pada pasein asma dapat mingkatkan  mutu pelayanan dengan memaksimalkan pengembangan dinding dada yang secara tidak langsung dapat meningkatkan fungsi pernapasan pasien. Dalam penelitiannya, Mesisca et al (2010) memberikan rujukan kepada penelitian berikutnya untuk meneliti penerapan OMT di ED pada pasien asma. Hal ini berdasar pada hipotesis yang coba ia jabarkan bahwa pasien asma akut di ED yang pengobatan secara konvensional dan dipadukan dengan pemberian procedure OMT akan menunjukkan nilai tes fungsi paru (spirometri, PEFs dan gas darah arteri) lebih baik dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan terapi pengobatan secara konvensional saja (Mesica et al, 2010). 

E.    Kesimpulan
OMT adalah terapi modalitas sebagai alternative dan penunjang pemeberian perawatan dan pelayanan pada pasien. OMT merupakan terapi modalitas yang menekankan pada peningkatkan fungsi dan struktur muskulo dan skeletal pasien yang secara tidak langsung mempengaruhi status kesehatan pasien. Seperti pada pasien asma, terapi OMT yang diberikan berfokus untuk memperbaiki dan memaksimalkan pengembangan dada dalam sistem pernapasan. Tehnik yang umunya dilakukan oleh terapis yaitu Myofascia Release (MFR), Balanced Ligamentaous Tension (BLT), rib raising, dan diafragma impediment.
OMT pada pasien asma umumnya dilakukan sebagai terapi rehabilitasi yang diberikan pada saat kondisi pasien stabil. Terapi diberikan guna meningkatkan pengembangan dada, fungsi diafragma, dan mengurangi bronkokrontriksi pada pasien asma. Di ED, OMT lebih sering diterapkan pada pasien dengan kegawatan musculoskeletal seperti pada ankle sprain, low back pain dan acute neck pain. Belum ada penelitian yang menyebutkan OMT dapat diterapkan pada pasien asma di ED dikarenakan masih terdapat beberapa keterbatsan dan kendala yang umum terjadi seperto kurangnya waktu pada penanganan di ED dan kurangnya kepercayaan diri serta kemampuan perawat atau dokter dalam memberikan OMT di ED. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan asal disesuaikan dengan protocol yang berlaku di ED serta meminimlakan risiko yang terjadi akibat terapi dengan kolaborasi pemberian medikasi dan penggunaan teknologi canggih untuk memantau kondisi pasien selama pemberian terapi.

F.    Daftar Pustaka
          Bockenhauer, S. E., Julliard, K. N., Lo, K. S., Huang, E., Sheth, A. M. (2002). Quantifiable effects of osteopathic manipulative techniques on patients with chronic asthma. Journal of The American Osteopthic Association. 102(7).
           Guiney. P. A., Chou. R., Vianna. A., Lovenheim. J. (2005). Effect of osteopathic manipulative treatment on pediatric patients with asthma: A Randomaized Controlled Trial. JAOA. 105(1).
Johnson, S. M., and Kurtz, M. E. (). Conditions an diagnoses for which osteopathic primary care physicians and specialists use osteopathic manipulative treatment. Journal of The American Osteopthic Association. 102(10):527-540.
          Mesica. M., Hoffman. K., Fenati. G., Hruby. R. J. (2010). Osteopathic manipulative treatment in the emergency department: A Two-Dimensional Curriculum. Journal of The American Osteopthic Association. 20(1): 23-31.
      Ray, A. M., Cohen, J, E., Buser, B. R. (2004). OEP training and use of osteopathic manipulative treatment. Journal of The American Osteopthic Association. 104(1): 15-2 1.
           Roberge. R. J., and  Roberge. M. R. (2009). Overcoming barriers to the use of osteopathic manipulation techniques in the emergency department. Western Journal of Emergency Medicine. X(3): 184-189.
            Sanchez Jesus. (2009). Uncontrolled asthma: Osteopathic Manipulative Treatment Applied in Rural Setting. Journal of The American Osteopthic Association. 19(3).
Stretanski, M. F., and Kaiser, G. (2001). Osteopathic philosophy and emergent treatment in acute respiratory failure. Journal of The American Osteopthic Association. 101(8).

1 komentar:

  1. Awesome article! I want people to know just how good this information is in your article. It’s interesting, compelling content. Your views are much like my own concerning this subject. Osteopath Sydney CBD

    BalasHapus