RINGKASAN HIV/AIDS
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S.
Kep., Ns., M. Kep
Patofisiologi
Program Studi D III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
A. Definisi
Human
Immunodefisiensi Virus (HIV) yaitu penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga lebih rentan
terkena penyakit. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh
rusak dan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang. HIV kemudian berkembang menjadi penyebab AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
AIDS merupakan kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari
infeksi HIV oleh retrovirus RNA (Price
and Wilson, 2006).
B. Penularan
HIV
Lima
faktor umum yang mempengaruhi penularan penyakit yaitu: sumber infeksi,
vehikulum yang membawa agen, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat
masuk kuman (port’d entree).
Virus
HIV hingga saat ini terbukti hanya menyerang sel Limfosit T dan sel otak.
Penularan HIV melalui pertukaran cairan tubuh; darah, semen, cairan vagina, dan
air susu. Urin dan saluran cerna tidak dianggap sebagai sumber penularan, kecuali apabila jelas tampak mengandung
darah. Air mata, air liur dan keringat mengandung virus, tetapi jumlahnya
sangat kecil (Corwin, 2001). Di bawah
ini merupakan cara penularan HIV secara umum:
- Transmisi seksual
Yaitu penularan melalui hubungan
seksual baik heteroseksual maupun homoseksual. Paling banyak melalui cairan
vagina.
- Transmisi Non seksual
a.
Transmisi
parenteral
Akibat penggunaan jarum suntik dan
alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi. Contoh: pengguna
NAPZA, jarum suntik dari pasien terinfeksi HIV ke petugas kesehatan atau pasien
lain.
b.
Produk
darah
Biasanya terjadi melalui transfusi
darah.
- Transmisi transplasenta yaitu Penularan ibu yang mengandung HIV positif ke anak. Penularan dapat terjadi saat hamil, melahirkan ataupun menyusui.
C. Patofisiologi
Infeksi HIV
HIV
yang masuk ke dalam tubuh secara selektif menginfeksi
sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tubuh melalui
perlekatan gp120 ke reseptor sel limfosit T terutama sel T helper (CD4).
Setelah HIV mengikuti CD4, virus masuk
ke dalam target dan melepas bungkusnya kemudian dengan transkrip enzim merubah bentuk RNA virus agar dapat bergabung atau melekat dengan DNA sel target. Selanjutnya,
sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian bersifat
irreversible dan berlangsung seumur hidup (Price and Wilson, 2006).
Awal
infeksi, HIV tidak segera membunuh sel target tetapi melakukan replikasi (penggandaan)
yang terus akan berkembang dalam tubuh penderita dan akan merusak sel limfosit
T sampai jumlah tertentu. Selama waktu (2-10 tahun) itu, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari 1000 sel/ml darah sebelum terinfeksi menjadi 200-300 sel/ml
darah. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi jamur
opertunistik atau timbulnya herpes zoster mulai muncul (Corwin, 2001). Pada sistem imun yang masih utuh, jumlah
normal Sel T CD4 antara 600-1200/µl atau mm3 (Price and Wilson, 2006)..
Masa
antara terinveksi HIV dengan timbulnya gejala
penyakit (masa inkubasi) yaitu 6 bulan – 10 tahun. Rata-rata 21 bulan pada
anak-anak, dan 60 bulan untuk orang
dewasa. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV samapai dengan menunjukkan gejala AIDS. Pada masa ini ada fase dimana
virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan laboraturium ± 3 bulan sejak tertular
virus HIV yang dikenal dengan masa window
period (Corwin, 2001).
D. Gambaran
Klinis
Tanda
utama infeksi virus HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4 (sel T helper). Kategori
laboratorium pada nilai CD4 yaitu :
- Kategori I : >
500 µl limfosit T CD4+/ µl
- Kategori II :
200-400 µl limfosit T CD4+/ µl
- Kategori III: < 200 µl limfosit T CD4+/ µl
Di
bawah ini klasifikasi Stadium Klinis HIV menurut WHO (Price and Wilson, 2006).;
Stadium
|
Gambaran Klinis
|
Skala Aktivitas
|
I
Asimtomatik
|
a.
Tidak
ada penurunan berat badan
b.
Limfadenopati
Generalisata Persisten
|
Asimtomatik,
aktifitas normal
|
II
Sakit
ringan
|
a.
Penurunan
BB 5-10%
b.
ISPA
berulang seperti sinusitis atau otitis
c.
Herpes
zoster dalam 5 tahun terakhir
d.
Luka
disekitar bibir
e.
Ulkus
mulut berulang
f.
Ruam
kulit yang gatal
g.
Dermatitis
seboroik
h.
Infeksi
jamur kuku
|
Simptomatik,
aktifitas normal
|
III
Sakit
sedang
|
a.
Penurunan
BB > 10%
b.
Diare,
demam yang tidak diketahui penyebabnya, > 1 bulan
c.
Kandidosis
oral atau vaginal
d.
Oral
hairy leukoplakia
e.
TB
Paru dalam 1 tahun terakhir
f.
Infeksi
bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
g.
TB
limfadenopati
h.
Gingivitis
i.
Anemia
(HB<8 g%), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
|
Umumnya
lemah, aktivitas ditempat tidur kurang dari 50%
|
IV
Sakit
berat (AIDS)
|
a.
Sindrom
wasting HIV
b.
Penumonia
pneumositis, pneumonia bacterial yang berat berulang
c.
Herpes
simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
d.
Kandidosis
esophageal
e.
Retinitis
CMV
f.
Abses
otak toxoplasma
g.
Encephalophati
HIV
h.
Meningitis
Kriptokokus
i.
Kanker
serviks invasive
j.
Sarkoma
Kaposi
k.
Limfoma
serebral
l.
Leukoensefalopati
multifocal progresif
|
Sangat
lemah, aktivitas ditempat tidur lebih dari 50%.
|
E. Pemeriksaan
Diagnostik
Metode pemeriksaan laboratorium dasar
untuk diagnostic infeksi HIV (Price
and Wilson; Corwin, 2006; 2001).:
- Rapid tes; pemeriksaan pertama untuk uji
tapis. Cukup sensitif dan spesifitas tinggi. Hasil rapid tes dapat dilihat
dalam waktu 20 menit.
- Enzyme Immunoassays
atau Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) akan
menunjukkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang
lebih besar. Hasil uji ELISA mungkin masih akan negative 6-10 minggu
setelah pasien terinfeksi. Hasil uji ELISA yang positif akan diuji 2 kali
agar hasilnya lebih meyakinkan dan kemudian akan dilakukan uji yang lebih
spesifik Western Blot.
- Western Blot; hanya digunkan untuk konfirmasi
hasil reaktif ELISA atau hasil rapit test. Hasil negative Western Blot
menunjukkan bahwa ELISA atau repid tes dinyatakan sebagai hasil positif
palsu dan dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Western Blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV -1 pada individu dengan usia lebih
dari 18 bulan.
- IFA (Indirect Immunofluorescence
Assays); uji ini lebih sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan
lebih sedikit dan lebih mahal. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma
dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi
HIV-1.
F. Penatalaksanaan
Belum
ada penyembuhan bagi AIDS sehingga hal yang paling utama adalah pencegahan HIV. Namun, jika telah
terinfeksi pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat disarankan. Berdasarkan
pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan antiretrovirus adalah:
- Mengurangi laju penularan HIV di
masyarakat.
- Menurunkan angka kematian dan
kesakitan di masyarakat
- Memperbaiaki kualitas hidup ODHA
- Memelihara fungsi kekebalan tubuh
- Menekan replikasi virus secara
maksimal dan terus menerus
Prosedur
memulai ARV sesuai dengan pedoman nasional tahun 2007, tes HIV dapat dilakukan
pada pasien yang menginginkannya setelah mendapatkan konseling dan pemeriksaan
sukarela VCT (Voluntary Counseling and
Testing).
WHO
pada tahun 2009 merekomendasikan untuk memulai terapi ARV:
- Pengobatan ARV dimulai pada semua pasien HIV dengan
CD4 ≤ 350 sel/mm3 tanpa memandang gejala klinik.
- Tes CD4 segera dilakukan jika pasien dengan stdium
klinik 1 dan 2 perlu memulai terapi ARV.
- Mulai pengobatan ARV pada stadium klinik 3 dan 4
tanda memandang jumlah CD4.
Pilihan
terapi antiretroviral (ARV) dimaksudkan untuk mengurangi jumlah virus di dalam
tubuh. Biasanya obat akan diberikan dalam dua atau tiga kombinasi antara laian
golongan Nukleosid ReverseTranscript
Inhibitor (NRTI), Non-Nukleoside Reverse
Transcript Inhibitor (NNRTI) dan Protease
Inhibitor (PI) (Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Price and Wilson, 2011;
2006).
- Golongan Nukleosid ReverseTranscript Inhibitor (NRTI):
-
Zidovudin
(ZDV/Retrovir)
-
Lamivudin
(Epivir)
-
Stavudin
(d4T, Zerit)
- Golongan Non-Nukleoside Reverse Transcript Inhibitor (NNRTI):
-
Neviapin
-
Efavirenz
- Golongan Protease Inhibitor (PI):
-
Ritonavir
-
Indinavir
-
Sakuinavir
G. Daftar
Pustaka
- Price, S., A and Wilson, L., M. (2006).
Patofifiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
- Corwin, E., J. (2001). Buku Saku Patofisiologi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
- Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. (2011). Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.