Jumat, 26 September 2014

RINGKASAN HIV/AIDS

RINGKASAN HIV/AIDS
Oleh: Anissa Cindy Nurul Afni, S. Kep., Ns., M. Kep
Patofisiologi
Program Studi D III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

A.   Definisi
Human Immunodefisiensi Virus (HIV) yaitu penyakit yang menyerang sistem  kekebalan tubuh manusia sehingga lebih rentan terkena penyakit. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak dan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang.  HIV kemudian berkembang menjadi penyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi HIV oleh retrovirus RNA (Price and Wilson, 2006).

B.   Penularan HIV
Lima faktor umum yang mempengaruhi penularan penyakit yaitu: sumber infeksi, vehikulum yang membawa agen, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entree).
Virus HIV hingga saat ini terbukti hanya menyerang sel Limfosit T dan sel otak. Penularan HIV melalui pertukaran cairan tubuh; darah, semen, cairan vagina, dan air susu. Urin dan saluran cerna tidak dianggap sebagai sumber penularan, kecuali apabila jelas tampak mengandung darah. Air mata, air liur dan keringat mengandung virus, tetapi jumlahnya sangat kecil (Corwin, 2001).  Di bawah ini merupakan cara penularan HIV secara umum:
  1. Transmisi seksual
Yaitu penularan melalui hubungan seksual baik heteroseksual maupun homoseksual. Paling banyak melalui cairan vagina.
  1. Transmisi Non seksual
a.    Transmisi parenteral
Akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi. Contoh: pengguna NAPZA, jarum suntik dari pasien terinfeksi HIV ke petugas kesehatan atau pasien lain.
b.    Produk darah
Biasanya terjadi melalui transfusi darah.
  1. Transmisi transplasenta yaitu Penularan ibu yang mengandung HIV positif ke anak. Penularan dapat terjadi saat hamil, melahirkan ataupun menyusui.

C.   Patofisiologi Infeksi HIV
HIV yang masuk ke dalam tubuh secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tubuh melalui perlekatan gp120 ke reseptor sel limfosit T terutama sel T helper (CD4). Setelah HIV mengikuti CD4, virus masuk ke dalam target dan melepas bungkusnya kemudian dengan transkrip enzim merubah bentuk RNA virus agar dapat bergabung atau melekat dengan DNA sel target. Selanjutnya, sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian bersifat irreversible dan berlangsung seumur hidup (Price and Wilson, 2006).
Awal infeksi, HIV tidak segera membunuh sel target tetapi melakukan replikasi (penggandaan) yang terus akan berkembang dalam tubuh penderita dan akan merusak sel limfosit T sampai jumlah tertentu. Selama waktu (2-10 tahun) itu, jumlah sel T4 dapat berkurang dari 1000 sel/ml darah sebelum terinfeksi menjadi 200-300 sel/ml darah. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi jamur opertunistik atau timbulnya herpes zoster mulai muncul (Corwin, 2001).  Pada sistem imun yang masih utuh, jumlah normal Sel T CD4 antara 600-1200/µl atau mm3 (Price and Wilson, 2006)..
Masa antara terinveksi HIV  dengan timbulnya gejala penyakit (masa inkubasi) yaitu 6 bulan – 10 tahun. Rata-rata 21 bulan pada anak-anak, dan 60 bulan  untuk orang dewasa. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV samapai dengan menunjukkan gejala AIDS. Pada masa ini ada fase dimana virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan laboraturium ± 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period (Corwin, 2001).

D.   Gambaran Klinis
Tanda utama infeksi virus HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4 (sel T helper). Kategori laboratorium pada nilai CD4 yaitu :
  1. Kategori I :  > 500 µl limfosit T CD4+/ µl
  2. Kategori II :  200-400 µl limfosit T CD4+/ µl
  3. Kategori III: < 200 µl limfosit T CD4+/ µl

Di bawah ini klasifikasi Stadium Klinis HIV menurut WHO (Price and Wilson, 2006).;
Stadium
Gambaran Klinis
Skala Aktivitas
I
Asimtomatik
a.    Tidak ada penurunan berat badan
b.    Limfadenopati Generalisata Persisten
Asimtomatik, aktifitas normal
II
Sakit ringan
a.    Penurunan BB 5-10%
b.    ISPA berulang seperti sinusitis atau otitis
c.    Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
d.    Luka disekitar bibir
e.    Ulkus mulut berulang
f.     Ruam kulit yang gatal
g.    Dermatitis seboroik
h.    Infeksi jamur kuku
Simptomatik, aktifitas normal
III
Sakit sedang
a.    Penurunan BB > 10%
b.    Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, > 1 bulan
c.    Kandidosis oral atau vaginal
d.    Oral hairy leukoplakia
e.    TB Paru dalam 1 tahun terakhir
f.     Infeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
g.    TB limfadenopati
h.    Gingivitis
i.      Anemia (HB<8 g%), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Umumnya lemah, aktivitas ditempat tidur kurang dari 50%
IV
Sakit berat (AIDS)
a.    Sindrom wasting HIV
b.    Penumonia pneumositis, pneumonia bacterial yang berat berulang
c.    Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
d.    Kandidosis esophageal
e.    Retinitis CMV
f.     Abses otak toxoplasma
g.    Encephalophati HIV
h.    Meningitis Kriptokokus
i.      Kanker serviks invasive
j.      Sarkoma Kaposi
k.    Limfoma serebral
l.      Leukoensefalopati multifocal progresif
Sangat lemah, aktivitas ditempat tidur lebih dari 50%.

E.    Pemeriksaan Diagnostik
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnostic infeksi HIV (Price and Wilson; Corwin, 2006; 2001).:
  1. Rapid tes; pemeriksaan pertama untuk uji tapis. Cukup sensitif dan spesifitas tinggi. Hasil rapid tes dapat dilihat dalam waktu 20 menit.
  2. Enzyme Immunoassays atau Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) akan menunjukkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih besar. Hasil uji ELISA mungkin masih akan negative 6-10 minggu setelah pasien terinfeksi. Hasil uji ELISA yang positif akan diuji 2 kali agar hasilnya lebih meyakinkan dan kemudian akan dilakukan uji yang lebih spesifik Western Blot.
  3. Western Blot; hanya digunkan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil rapit test. Hasil negative Western Blot menunjukkan bahwa ELISA atau repid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Western Blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV -1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
  4. IFA (Indirect Immunofluorescence Assays); uji ini lebih sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan lebih mahal. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

F.    Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan bagi AIDS sehingga hal yang paling utama adalah pencegahan HIV. Namun, jika telah terinfeksi pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat disarankan. Berdasarkan pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan antiretrovirus adalah:
  1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.
  2. Menurunkan angka kematian dan kesakitan di masyarakat
  3. Memperbaiaki kualitas hidup ODHA
  4. Memelihara fungsi kekebalan tubuh
  5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus menerus

Prosedur memulai ARV sesuai dengan pedoman nasional tahun 2007, tes HIV dapat dilakukan pada pasien yang menginginkannya setelah mendapatkan konseling dan pemeriksaan sukarela VCT (Voluntary Counseling and Testing).
WHO pada tahun 2009 merekomendasikan untuk memulai terapi ARV:
  1. Pengobatan ARV dimulai pada semua pasien HIV dengan CD4 ≤ 350 sel/mm3 tanpa memandang gejala klinik.
  2. Tes CD4 segera dilakukan jika pasien dengan stdium klinik 1 dan 2 perlu memulai terapi ARV.
  3. Mulai pengobatan ARV pada stadium klinik 3 dan 4 tanda memandang jumlah CD4.

Pilihan terapi antiretroviral (ARV) dimaksudkan untuk mengurangi jumlah virus di dalam tubuh. Biasanya obat akan diberikan dalam dua atau tiga kombinasi antara laian golongan Nukleosid ReverseTranscript Inhibitor (NRTI), Non-Nukleoside Reverse Transcript Inhibitor (NNRTI) dan Protease Inhibitor (PI) (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Price and Wilson, 2011; 2006).
  1. Golongan Nukleosid ReverseTranscript Inhibitor (NRTI):
-       Zidovudin (ZDV/Retrovir)
-       Lamivudin (Epivir)
-       Stavudin (d4T, Zerit)
  1. Golongan Non-Nukleoside Reverse Transcript Inhibitor (NNRTI):
-       Neviapin
-       Efavirenz
  1. Golongan Protease Inhibitor (PI):
-       Ritonavir
-       Indinavir
-       Sakuinavir

G.   Daftar Pustaka

  1. Price, S., A and Wilson, L., M. (2006). Patofifiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
  2. Corwin, E., J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
  3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2011). Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar