Selasa, 26 Maret 2013

KONFLIK ETIK DALAM PREHOSPITAL EMERGENSI CARE

KONFLIK ETIK DALAM PREHOSPITAL EMERGENSI CARE

Etika dan Hukum dalam Keperawatan





Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
                                                         MALANG                                                        
2012



KONFLIK ETIK DALAM PRE HOSPITAL EMERGENSI CARE

Presentasi kebutuhan publik untuk pelayanan gawat darurat meningkat baik dalam jumlah total pasien maupun tingkat keparahan kondisi. Pada saat yang sama harapan masyarakat mengenai kualitas dan ketepatan waktu perawatan juga meningkat. Tidak jarang dalam situasi tersebut ada peristiwa musibah massal, korban massal akibat kecelakaan lalulintas dan bencana alam atau kegawatan individu yang lain. Sering individu dan masyarakat yang tertimpa musibah tidak mendapat tindakan pertolongan gawat darurat sebagaimana mestinya, sehingga sebelum tiba di rumah sakit dapat menjadi cacat atau meninggal dunia. Dibutuhkan pendekatan sistematis untuk perawatan gawat darurat guna meminimlakan angka kecacatan dan kematian korban.
Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu sistem  yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem yang baik harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Penanganan korban dimulai dari pre hospital emergency care, hospital stage dan rehabilitation (Danismaya, 2010).
Salah satu sistem pelayanan kesehatan yang bersifat tindakan darurat medik yang sering terlupakan dalam Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yaitu pelayanan kesehatan gawat darurat di luar institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) atau biasa disebut pre hospital emergency care (Supriyantoro, 2011). Pre hospital emergency care merupakan salah satu sub sistem pelayanan gawat darurat terpadu (Saanin, 2012). Dimana penanganan yang cepat dan tepat akan meminimalkan terjadinya korban.
Namun dalam kondisi seperti ini, tim pre hospital  juga mengalami konflik tersendiri dalam melakukan penanganan dan perawatan terhadap pasien. Setiap profesi memiliki konflik etik yang sering dihadapi terutama yang berhubungan dengan pemberian pelayanan terhadap manusia. Tidak terlepas pula pelayanan prehospital care emergency. Hal ini diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang menjadikan mereka terkadang memiliki ciri tersendiri dalam konflik etik yang kemungkinan muncul. Faktor-faktor tersebut antara lain:  jarak tenaga ke sumber bencana atau korban, mengandalakan informasi dan medicotecnical dalam bantuan, korban berada pada area publik yang sulit dijangkau, tim umumnya mendapat panggilan ketika ada korban yang membutuhkan pertolongan, dan bekerja dalam tim kecil (Sandman and Nordmark, 2006).
Faktor-faktor ini justru memiliki potensi untuk menghasilkan dilema etis bagi tim prehospital emergency. Mereka harus menghadapi situasi sulit dimana mereka dituntut untuk menentukan prioritas antara mengutamakan nilai-nilai atau norma-norma yang konsekuensinya jauh lebih besar. Dalam kondisi seperti ini mereka dituntut untuk mengambil keputusan cepat dan tepat sehingga terkadang mereka membuat keputusan lebih diarahkan kepada anggota tim yang lebih berkualifikasi dan atau professional medis yang ada (Sandman and Nordmark, 2006).
Dalam kondisi tersebut langkah yang paling tepat adalah menggunakan aspek etik dalam pengambilan keputusan yang diperlukan. Sikap etik dapat tercermin dalam penanganan pre hospital ketika ditekankan pada pembentukan tim pre hospital emergency care dengan penguasaan keterampilan dan prinsip etik (French and Casali, 2008). Untuk mendapatkan hal tersebut, jenis konflik etik yang terjadi harus dianalisis dengan baik karena keputusan yang diambil terbatas dengan ruang dan waktu. Dan tim dituntut untuk mampu menganalisa situasi secara cepat, memunculkan berbagai argumen dengan berbagai pertimbangan kelebihan dan kekurangannya (Sandman and Nordmark, 2006).   
Tiga dasar pemikiran etik sebagai panduan pre hospital care yaitu pertama prinsip justice atau memberikan keadilan yang tepat bagi korban. Kedua beneficience,  mengupayakan setiap tindakan yang diberikan mengupayakan yang terbaik bagi pasien. Ketiga adalah bersikap empati dan respek terhadap prinsip autonomy pasien dimana tim harus menghormati hak pasien untuk menentukan sendiri pilihannya (James,1993).
Ketika tim memberikan perawatan kepada pasien, munculnya konflik saling berkaitan. Isu etik yang umumnya muncul dalam pelayanan pre hospital care  adalah minimnya upaya atau terhalangnya upaya pemberian resusitasi, informed consent, kewajiban memberikan perawatan terbaik bagi pengguna jasa, dan kerahasiaan.
Beberapa isu di atas kemudian diperparah dengan konflik yang muncul diantaranya: kepentingan untuk memberikan pasien pelayanan yang terbaik, tim bertindak secara profesional, tim memiliki visi dan misi profesional, struktur organisasi, manajeman sumber daya, pasien memiliki hak dan berkompeten untuk mengambil keputusan akan nasibnya. Selain itu, dalam kegiatannya tim juga terkadang melibatkan professional lain yang berkompeten seperti polisi dan pemadam kebakaran yang tak jarang akan memunculkan konflik tersendiri . Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi masalah etik, namun dilain waktu tidak menjadi masalah (Sandman and Nordmark, 2006).
Konflik yang utama sering terjadi adalah kepentingan tim untuk memberikan korban pelayanan yang terbaik. Dalam menjalankan tugas utamanya, tim pre hospital emergency care bertanggungjawab memberikan pelayanan yang terbaik pada korban. Namun dalam kondisi seperti ini, terkadang ada konflik etik dapat muncul dalam diri perawat. Salah satu contoh adalah memberikan CPR atau tidak kepada korban (Sandman and Nordmark, 2006).
Memunculnya konflik di atas diasumsikan tim ingin memberikan kematian bermartabat kepada korban atau memberikan usaha terlebih dulu dengan melakukan CPR untuk meningkatkan harapan hidup pasien. Melihat faktor bahwa tim dihubungi oleh korban untuk memberikan penanganan, maka tim harus memberikan bantuan semaksimal mungkin guna menyelamatkan nyawa korban. Sehingga keputusan untuk memberikan CPR atau tidak dapat ditentukan dengan menggunakan penyelesaian dilema etik dengan menilai kondisi korban dan melihat kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaan CPR.
Konflik lain yang muncul adalah ketika menentukan apakah pasien berhak dan kompeten untuk mengambil keputusan akan dirinya (County of Los Angeles, 2005). Contoh kasus, ketika korban yang hendak dievakuasi menolak untuk dibawa oleh tim sehingga menjadikan tim kesulitan. Atau pasien menolak untuk diberikan tindakan penanganan oleh tim. Dalam waktu singkat, tim harus mampu menentukan apakah korban kompeten dan memiliki hak untuk mengambil keputusan. Atau adakah anggota keluarga yang mampu dimintai pertimbangan untuk tindakan yang akan dilakukan oleh tim.
Contoh lain adalah ketika korban memilih untuk dibawa kesebuah rumah sakit terbaik namun tim melihat kondisi korban tidak cukup bertahan untuk sampai pada rumah sakit tersebut dan hanya mampu ke rumah sakit terdekat guna mendapatkan pertoloangan pertama. Hal-hal seperti di atas akan menjadikan konflik tersendiri bagi tim. Tim pre hospital umumnya menerima pendapat pasien sejauh pasien dalam kondisi stabil dan berkompeten untuk memahami kondisinya.
Untuk memahami kondisi tersebut tim harus mampu mengkaji situasi kondisi korban, cukup berkompeten atau tidak. Jika tidak berkompeten maka kaji juga keluarga terdekat atau orang yang mendampingi korban saat terjadinya bencana. Sehingga keputusan yang diambil tepat untuk menyelamatkan nyawa korban.
Selain konflik di atas, sikap professional tim pre hospital emergency care juga menjadi dilema tersendiri. Tim pre hospital emergency care secara profesional memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang menjadi identitas diri antaralain memberikan pelayanan dan perawatan kepada korban hanya dalam batas perawatan pre hospital. Namun tidak jarang tim menjumpai kondisi korban yang membutuhkan penanganan di luar kewenangan tim. Seperti pasien dengan masalah psikologis atau sosial. Demi komitmen memberikan pelayanan yang terbaik, tim juga dapat membantu korban. Contoh ketika tim mendapatkan korban cedera akibat child abuse, maka konflik yang muncul pada tim adalah menjaga kerahasiaan korban dan hanya memberikan pertolongan atau melaporkan kondisi tersebut dengan melibatkan profesional lain seperti polisi.
Secara profesional tim tidak boleh membeda-bedakan tingkat sosial, status, kondisi korban dan usia korban dalam penanganan. Namun akan memunculkan sebuah dilemma jika tim mendapat panggilan dengan korban serangan jantung. Pada kondisi ini tim akan mengalami dilema apakah akan memulai tindakan CPR atau tidak dikarenakan usia korban yang sudah tidak memungkinkan dilakukan CPR. Dalam kondisi ini tim harus mengkaji keefektifan CPR pada usia korban. Atau tim telah memiliki protocol tersendiri terkait dengan kondisi seperti itu.
Dalam melakukan tugasnya, pre hospital emergency care memiliki protokol tersendiri. Namun penelitian yang dilakukan  oleh Sandman and Nordmark (2006) menunjukkan bahwa protokol yang ada terkadang tidak mendukung untuk dilakukan di lapangan. Protokol dapat menjadi acuan namun ketika terjadi konflik etik maka yang lebih dapat digunakan adalah penyelesaian masalah dengan dilema etik. Hal ini dikarenakan bukan lagi masalah kegawatdaruratan saja yang akan dialami oleh tim namun juga situasi etik yang justru lebih sering dihadapi.
Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden Periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal  istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban (Pitt and Pusponegoro, 2004).
Melihat konflik etik yang terjadi pada tim pre hospital emergency care, maka dibutuhkan kemampuan tim untuk memahami situasi etik yang muncul. Selain itu kompetensi dan kemampuan berpikiran kritis sangat diperlukan guna menemukan keputusan yang tepat untuk dilakukan dalam waktu singkat.
Solusi penatalaksanaan dilema etik dalam pre hospital care adalah dengan meningkatkan pendidikan tim dan sensitivitas tim untuk mampu memahami situasi yang  terjadi. Dalam operasionalnya, pre hospital care harus melihat hukum ketika menyusun dan mengembangkan protokol. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko akibat resusitasi (CPR) yang mungkin dilakukan atau kemungkinan terjadinya transport yang membahayakan bagi korban (James,1993).
Banyak kasus di pre hospital care yang tidak jelas areanya apakah area hukum atau kasus etik dan bahkan dapat saling beririsan. Pemecahan kasus dengan menggunakan pemecahan masalah dilemma etik akan sangat membantu tim. Namun terkadang ini juga tidak diperlukan jika terdapat protokol atau panduan yang jelas mengenai penangann dan kondisi yang dihadapi.
Selain protokol, hal lain yang akan memudahkan tim terhindar dari konflik etik dan kasus hukum adalah adanya keluarga korban yang berkompeten untuk mengambil keputusan terkait kondisi korban. Adanya inform consent selama proses perawatan juga sangat mendukung. Karna pada dasarnya penanganan yang diberikan berdasarkan permintaan korban dan atau keluarga atau orang-orang disekitar kejadian sehingga dalam kondisi gawat darurat, tim dapat mengupayakan pemberian pelayanan yang terbaik guna mencegah kecacatan dan atau kematian korban.
Prinsip autonomi, beneficience, dan justice bagi korban merupakan dasar prinsip etik dalam pre hospital emergency care. Konflik etik akan selalu hadir dalam pemberian pelayanan yang dilakukan oleh tim pre hospital emergency care. Tim harus tetap konsisten pada cita-cita dan tujuan profesi dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi korban tanda membeda-bedakan status, ekonomi, jenis kelamin, usia serta kondisi kegawatan. Tim harus memprioritaskan kepentingan korban di atas kepentingan pribadi dan organisasi.
Untuk mendapatkan tim pre hospital emergency care yang siap memberikan pelayanan dalam kondisi dan situasi apapun, perlu adanya pengalaman dan panduan bagi tim. Idealnya, tim mendapatkan pemahaman lebih sebelum terjun ke lapangan terkait skill khusus yang dibutuhkan, pendidikan, dan teknik pemecahan masalah etik selama pemberian pelayanan. Berbekal hal tersebut, konflik etik yang umumnya terjadi di dalam pelayanan pre hospital emergency care akan dapat diminamilisir.


Daftar Pustaka:
County of Los Angeles. (2005). Los Angeles County Prehospital Code of Ethics. California: Ethic for EMS Personnel.
Danismaya. (2010 ). Pelayanan  gawat darurat di Indonesia. www.fik.ui.ac.id
French. E, and Casali. G., L. (2008). Ethics in Emergency Medical Services-Who Cares? An exploratory analysis from Australia. EJBO Electronic Jaournal Business Ethics and Organization Studies. 13 (2).
James G. Adams. (1993). Ethical Challenges in Emregncy Medical Services. Prehospital and Disaster Medicine.
Pitt, E, & Pusponegoro, A. (2004). Prehospital care in Indonesia. Emergency Medicine. Emerg Med J. 22. 144-147
Saanin, S. (2012) Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB Dinkes Prop. Sumbar
Sandman. L and Nordmark. A. (2006). Ethical Conflicts in Prehospital Emergency Care. Nursing Ethics. 13(16). 592-607.
Supriyantoro. (2011). Kebijakan Kemenkes dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar