KONFLIK
ETIK DALAM PREHOSPITAL EMERGENSI CARE
Etika
dan Hukum dalam Keperawatan
Oleh:
ANISSA
CINDY NURUL AFNI
126070300111015
PROGRAM
MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
KONFLIK
ETIK DALAM PRE HOSPITAL EMERGENSI CARE
Presentasi kebutuhan publik
untuk pelayanan gawat darurat meningkat baik dalam jumlah total pasien maupun
tingkat keparahan kondisi. Pada saat yang sama harapan masyarakat mengenai
kualitas dan ketepatan waktu perawatan juga meningkat. Tidak jarang dalam situasi tersebut ada peristiwa musibah
massal, korban massal akibat kecelakaan lalulintas dan bencana alam atau
kegawatan individu yang lain. Sering individu dan masyarakat yang tertimpa
musibah tidak mendapat tindakan pertolongan gawat darurat sebagaimana mestinya,
sehingga sebelum tiba di rumah sakit dapat menjadi cacat atau meninggal dunia. Dibutuhkan
pendekatan sistematis untuk perawatan gawat darurat guna meminimlakan angka
kecacatan dan kematian korban.
Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu sistem yang terpadu dan
tidak terpecah-pecah. Sistem yang baik harus dapat diukur dengan melalui proses
evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Penanganan korban dimulai dari pre hospital emergency care, hospital stage dan rehabilitation (Danismaya,
2010).
Salah satu sistem pelayanan kesehatan yang bersifat tindakan
darurat medik yang sering terlupakan dalam Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) yaitu pelayanan kesehatan gawat darurat di luar institusi
pelayanan kesehatan (rumah sakit) atau biasa disebut pre hospital emergency care (Supriyantoro, 2011). Pre hospital emergency care merupakan
salah satu sub sistem pelayanan gawat darurat terpadu (Saanin, 2012). Dimana penanganan yang cepat dan tepat akan
meminimalkan terjadinya korban.
Namun dalam kondisi seperti ini, tim pre hospital juga mengalami
konflik tersendiri dalam melakukan penanganan dan perawatan terhadap pasien. Setiap
profesi memiliki konflik etik yang sering dihadapi terutama yang berhubungan
dengan pemberian pelayanan terhadap manusia. Tidak terlepas pula pelayanan prehospital care emergency. Hal ini
diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang menjadikan mereka terkadang memiliki
ciri tersendiri dalam konflik etik yang kemungkinan muncul. Faktor-faktor
tersebut antara lain: jarak tenaga ke
sumber bencana atau korban, mengandalakan informasi dan medicotecnical dalam bantuan, korban berada pada area publik yang
sulit dijangkau, tim umumnya mendapat panggilan ketika ada korban yang
membutuhkan pertolongan, dan bekerja dalam tim kecil (Sandman and Nordmark,
2006).
Faktor-faktor ini justru
memiliki potensi untuk menghasilkan dilema etis bagi tim prehospital emergency. Mereka harus menghadapi situasi sulit dimana
mereka dituntut untuk menentukan prioritas antara mengutamakan nilai-nilai atau
norma-norma yang konsekuensinya jauh lebih besar. Dalam kondisi seperti ini mereka
dituntut untuk mengambil keputusan cepat dan tepat sehingga terkadang mereka
membuat keputusan lebih diarahkan kepada anggota tim yang lebih berkualifikasi dan
atau professional medis yang ada (Sandman and Nordmark, 2006).
Dalam kondisi tersebut
langkah yang paling tepat adalah menggunakan aspek etik dalam pengambilan
keputusan yang diperlukan. Sikap etik dapat tercermin dalam penanganan pre hospital ketika ditekankan pada
pembentukan tim pre hospital emergency
care dengan penguasaan keterampilan dan prinsip etik (French and Casali,
2008). Untuk mendapatkan hal tersebut, jenis konflik etik yang terjadi harus
dianalisis dengan baik karena keputusan yang diambil terbatas dengan ruang dan
waktu. Dan tim dituntut untuk mampu menganalisa situasi secara cepat,
memunculkan berbagai argumen dengan berbagai pertimbangan kelebihan dan
kekurangannya (Sandman and Nordmark, 2006).
Tiga dasar pemikiran etik sebagai panduan pre hospital care yaitu pertama prinsip justice atau memberikan keadilan yang
tepat bagi korban. Kedua beneficience, mengupayakan setiap tindakan yang diberikan
mengupayakan yang terbaik bagi pasien. Ketiga adalah bersikap empati dan respek
terhadap prinsip autonomy pasien
dimana tim harus menghormati hak pasien untuk menentukan sendiri pilihannya (James,1993).
Ketika tim memberikan perawatan kepada pasien, munculnya
konflik saling berkaitan. Isu etik yang umumnya muncul dalam
pelayanan pre hospital care adalah minimnya upaya atau terhalangnya upaya
pemberian resusitasi, informed consent,
kewajiban memberikan perawatan terbaik bagi pengguna jasa, dan kerahasiaan.
Beberapa isu di atas kemudian diperparah dengan konflik yang
muncul diantaranya: kepentingan untuk memberikan pasien pelayanan yang terbaik,
tim bertindak secara profesional, tim memiliki visi dan misi profesional,
struktur organisasi, manajeman sumber daya, pasien memiliki hak dan berkompeten
untuk mengambil keputusan akan nasibnya. Selain itu, dalam kegiatannya tim juga
terkadang melibatkan professional lain yang berkompeten seperti polisi dan
pemadam kebakaran yang tak jarang akan memunculkan konflik tersendiri .
Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi masalah etik, namun dilain waktu tidak
menjadi masalah (Sandman and Nordmark, 2006).
Konflik yang utama sering terjadi adalah kepentingan tim untuk
memberikan korban pelayanan yang terbaik. Dalam menjalankan tugas utamanya, tim
pre hospital emergency care
bertanggungjawab memberikan pelayanan yang terbaik pada korban. Namun dalam
kondisi seperti ini, terkadang ada konflik etik dapat muncul dalam diri perawat.
Salah satu contoh adalah memberikan CPR atau tidak kepada korban
(Sandman and Nordmark, 2006).
Memunculnya konflik di atas diasumsikan tim ingin memberikan
kematian bermartabat kepada korban atau memberikan usaha terlebih dulu dengan
melakukan CPR untuk meningkatkan harapan hidup pasien.
Melihat faktor bahwa tim dihubungi oleh korban untuk memberikan penanganan,
maka tim harus memberikan bantuan semaksimal mungkin guna menyelamatkan nyawa
korban. Sehingga keputusan untuk memberikan CPR atau tidak dapat ditentukan
dengan menggunakan penyelesaian dilema etik dengan menilai kondisi korban dan
melihat kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaan CPR.
Konflik lain yang muncul adalah ketika menentukan apakah pasien
berhak dan kompeten untuk mengambil keputusan akan dirinya (County
of Los Angeles, 2005).
Contoh kasus, ketika korban yang hendak dievakuasi menolak untuk dibawa oleh
tim sehingga menjadikan tim kesulitan. Atau pasien menolak untuk diberikan
tindakan penanganan oleh tim. Dalam waktu singkat, tim harus mampu menentukan
apakah korban kompeten dan memiliki hak untuk mengambil keputusan. Atau adakah
anggota keluarga yang mampu dimintai pertimbangan untuk tindakan yang akan
dilakukan oleh tim.
Contoh lain adalah ketika korban memilih untuk dibawa
kesebuah rumah sakit terbaik namun tim melihat kondisi korban tidak cukup
bertahan untuk sampai pada rumah sakit tersebut dan hanya mampu ke rumah sakit
terdekat guna mendapatkan pertoloangan pertama. Hal-hal seperti di atas akan
menjadikan konflik tersendiri bagi tim. Tim pre hospital umumnya menerima pendapat
pasien sejauh pasien dalam kondisi stabil dan berkompeten untuk memahami
kondisinya.
Untuk memahami kondisi tersebut tim harus mampu mengkaji
situasi kondisi korban, cukup berkompeten atau tidak. Jika tidak berkompeten
maka kaji juga keluarga terdekat atau orang yang mendampingi korban saat
terjadinya bencana. Sehingga keputusan yang diambil tepat untuk menyelamatkan
nyawa korban.
Selain konflik di atas, sikap professional tim pre hospital emergency care juga menjadi
dilema tersendiri. Tim pre hospital
emergency care secara profesional memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang
menjadi identitas diri antaralain memberikan pelayanan dan perawatan kepada
korban hanya dalam batas perawatan pre
hospital. Namun tidak jarang tim menjumpai kondisi korban yang membutuhkan
penanganan di luar kewenangan tim. Seperti pasien dengan masalah psikologis
atau sosial. Demi komitmen memberikan pelayanan yang terbaik, tim juga dapat
membantu korban. Contoh ketika tim mendapatkan korban
cedera akibat child abuse, maka
konflik yang muncul pada tim adalah menjaga kerahasiaan korban dan hanya
memberikan pertolongan atau melaporkan kondisi tersebut dengan melibatkan
profesional lain seperti polisi.
Secara profesional tim tidak boleh membeda-bedakan tingkat
sosial, status, kondisi korban dan usia korban dalam penanganan. Namun akan
memunculkan sebuah dilemma jika tim mendapat panggilan dengan korban serangan
jantung. Pada kondisi ini tim akan mengalami dilema apakah akan memulai tindakan
CPR atau tidak dikarenakan usia korban yang sudah tidak memungkinkan dilakukan
CPR. Dalam kondisi ini tim harus mengkaji keefektifan CPR pada usia korban.
Atau tim telah memiliki protocol tersendiri terkait dengan kondisi seperti itu.
Dalam melakukan tugasnya, pre hospital emergency care memiliki protokol tersendiri. Namun
penelitian yang dilakukan oleh Sandman and
Nordmark (2006) menunjukkan bahwa protokol yang ada terkadang tidak mendukung
untuk dilakukan di lapangan. Protokol dapat menjadi acuan namun ketika terjadi
konflik etik maka yang lebih dapat digunakan adalah penyelesaian masalah dengan
dilema etik. Hal ini dikarenakan bukan lagi masalah kegawatdaruratan saja yang
akan dialami oleh tim namun juga situasi etik yang justru lebih sering
dihadapi.
Jika di tempat pertama kali kejadian penderita
mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan
kecacatan dapat dihindari. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang
disebut waktu emas (The Golden Periode). Satu
jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat
berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban (Pitt
and Pusponegoro, 2004).
Melihat konflik etik yang terjadi pada tim pre
hospital emergency care, maka dibutuhkan kemampuan tim untuk
memahami situasi etik yang muncul. Selain itu kompetensi dan kemampuan
berpikiran kritis sangat diperlukan guna menemukan keputusan yang tepat untuk
dilakukan dalam waktu singkat.
Solusi penatalaksanaan
dilema etik dalam pre hospital care
adalah dengan meningkatkan pendidikan tim dan sensitivitas tim untuk mampu
memahami situasi yang terjadi. Dalam
operasionalnya, pre hospital care
harus melihat hukum ketika menyusun dan mengembangkan protokol. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan risiko akibat resusitasi (CPR) yang mungkin
dilakukan atau kemungkinan terjadinya transport
yang membahayakan bagi korban (James,1993).
Banyak kasus di pre hospital care yang tidak jelas areanya apakah area hukum atau
kasus etik dan bahkan dapat saling beririsan. Pemecahan kasus dengan
menggunakan pemecahan masalah dilemma etik akan sangat membantu tim. Namun
terkadang ini juga tidak diperlukan jika terdapat protokol atau panduan yang
jelas mengenai penangann dan kondisi yang dihadapi.
Selain protokol, hal lain yang akan memudahkan
tim terhindar dari konflik etik dan kasus hukum adalah adanya keluarga korban
yang berkompeten untuk mengambil keputusan terkait kondisi korban. Adanya
inform consent selama proses perawatan juga sangat mendukung. Karna pada
dasarnya penanganan yang diberikan berdasarkan permintaan korban dan atau
keluarga atau orang-orang disekitar kejadian sehingga dalam kondisi gawat
darurat, tim dapat mengupayakan pemberian pelayanan yang terbaik guna mencegah
kecacatan dan atau kematian korban.
Prinsip autonomi, beneficience, dan justice bagi
korban merupakan dasar prinsip etik dalam pre
hospital emergency care. Konflik etik akan selalu hadir dalam pemberian
pelayanan yang dilakukan oleh tim pre
hospital emergency care. Tim harus tetap konsisten pada cita-cita dan
tujuan profesi dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi korban tanda
membeda-bedakan status, ekonomi, jenis kelamin, usia serta kondisi kegawatan.
Tim harus memprioritaskan kepentingan korban di atas kepentingan pribadi dan
organisasi.
Untuk mendapatkan tim pre hospital emergency care yang siap memberikan pelayanan dalam
kondisi dan situasi apapun, perlu adanya pengalaman dan panduan bagi tim.
Idealnya, tim mendapatkan pemahaman lebih sebelum terjun ke lapangan terkait
skill khusus yang dibutuhkan, pendidikan, dan teknik pemecahan masalah etik
selama pemberian pelayanan. Berbekal hal tersebut, konflik etik yang umumnya
terjadi di dalam pelayanan pre hospital
emergency care akan dapat diminamilisir.
Daftar
Pustaka:
County of Los Angeles. (2005). Los Angeles County Prehospital Code of Ethics. California: Ethic
for EMS Personnel.
Danismaya. (2010 ).
Pelayanan gawat darurat di Indonesia. www.fik.ui.ac.id
French. E, and Casali. G., L. (2008). Ethics in
Emergency Medical Services-Who Cares? An exploratory analysis from Australia. EJBO Electronic Jaournal Business Ethics and
Organization Studies. 13 (2).
James G. Adams. (1993). Ethical Challenges in
Emregncy Medical Services. Prehospital
and Disaster Medicine.
Pitt, E, & Pusponegoro, A. (2004). Prehospital care in Indonesia. Emergency Medicine. Emerg Med J.
22. 144-147
Saanin, S. (2012) Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). BSB Dinkes Prop. Sumbar
Sandman. L and Nordmark. A. (2006). Ethical
Conflicts in Prehospital Emergency Care. Nursing
Ethics. 13(16). 592-607.
Supriyantoro. (2011). Kebijakan Kemenkes dalam Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar