STUDI
KASUS PASIEN DENGAN ATRIAL FIBRILASI
DI
UNIT GAWAT DARURAT
Disusun
untuk Memnuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Kecenderungan
dan Isue dalam Keperawatan
Oleh:
ANISSA
CINDY NURUL AFNI
126070300111015
PROGRAM
MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
DAFTAR
ISI
Halaman Judul................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................ 2
Kasus Pemicu
………………………………………………………3
BAB 1. Pendahuluan......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang................................................................ 4
1.2 Tujuan............................................................................. 5
BAB 2. Tinjauan Pustaka.................................................................. 6
2.1 Definisi Atrial Fibrilasi................................................... 6
2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi............................................... 7
2.3 Manajemen Atrial Fibrilasi............................................. 8
BAB 3. Pembahasan......................................................................... 11
BAB 4. Penutup............................................................................... 21
4.1 Simpulan........................................................................ 21
4.2 Saran.............................................................................. 21
Daftar Pustaka
KASUS
PEMICU
Pasien
laki-laki 50 tahun, dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum karena sejak tadi
pagi merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang. Hal itu dirasakan
sampai sekarang. Pasien mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak.
Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak
sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan
denyut sekitar 140x/menit. Data penunjang gambaran EKG pasien:
PERTANYAAN
PEMICU
• Apakah yang harus anda kaji lebih lanjut?
• Apa masalah keperawatan yang terjadi pada pasien ini?
• Apa tindakan yang harus segera dilakukan?
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atrial fibrilasi
didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung
yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus
menghantarkan implus ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler.
Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada
usia di atas 50 tahun (Berry and Padgett,
2012).
Literatur lain
menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi aritmia yang
paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barrett, Martin, Storrow, 2011).
Kejadian atrial fibrilasi meningkat
dengan bertambahnya usia (Patrick, 2002). Pada abad ke-21 ini semakin
meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial fibrilasi (Alfred, Jennife, Steven,
Devender, 2012). Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial
fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5 juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan
kejadian atrial fibrilasi akan terus meningkat 0,1% setiap tahunnya pada
populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan 2% pada lansia dengan
umur lebih dari 80 tahun (Camm, Kirchhof, Lip, Schotten, Irene, Ernst, Gelder
et al 2010). Angka kejadian atrial
fibrilasi di dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050
diperkirakan sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua decade ini angka kematian
akibat atrial fibrilasi meningkat (Department Health and Human Services USA, 2010).
Di
Amerika, lebih dari 850,000 orang dirawat di rumah sakit karena aritmia setiap
tahunnya. Atrial fibrilasi mengenai
kurang lebih 2,3 juta
orang di amerika
utara dan 4,5
juta orang
di eropa, terutama yang berusia lanjut.
Di Amerika, kira-kira 75 % orang yang terkena atrial fibrilasin berusia 65
tahun atau bahkan lebih tua. Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling
sering terjadi dengan prevalensi 0,4 % pada golongan usia <65 tahun dan
meningkat 10 % pada kelompok usia > 75 tahun. Di Amerika Utara,
prevalensi atrial fibrilasi diperkirakan meningkat dua sampai tiga kali lipat
pada tahun 2050 (Department Health and Human Services
USA, 2010).
Kejadian Atrial
fibrilasi dapat terjadi pada jantung normal, namun umumnya lebih sering terjadi
pada penyakit jantung (Shay, 2010). Penyebab atrial fibrilasi yang paling
sering terjadi adalah akibat; penyakit jantung iskemik, penyakit jantung
hipertensi, kelainan katup mitral, perikarditis, kardiomiopati, emboli paru,
pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, kor pulmonal. Pada beberapa kasus
tidak ditemukan penyebabnya (Patrick, 2002).
Namun dapat dipastikan
bahwa atrial fibrilasi sebagai salah satu penyumbang kematian dan kesakitan dewasa
ini. Atrial fibrilasi juga memberikan dampak terjadinya stroke, demensia, gagal
jantung dan kematian (Benjamin, Chen, Bild, 2009). Akibat yang ditimbulkan oleh
atrial fibrilasi akan meningkatkan risiko terjadinya stroke pada pasien pasca
mengalami atrial fibrilasi dan juga meningkatkan risiko kematian. Selain itu
pasien pasca atrial fibrilasi akan mengalami penurunan kualitas hidup (Craig,
Coleman, Michael, William, 2009).
Sehingga perlu
perhatian dan penangan kusus oleh tenaga medis di emergency department salah satunya perawat guna meminimalkan angka
kesakitan dan kematian yang ditimbulkan oleh atrial fibrilasi (Aliot,
Breithardt, Brugada, 2010). Dan perawat dituntut untuk memberikan perhatian
kepada kondisi pasien. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik
mengambil kasus no 1 dengan gambaran atrial fibrilasi sebagai bahan diskusi.
1.2 Tujuan
Tujuan
makalah ini adalah:
1.2.1
Memberikan gambaran mengenai atrial
fibrilasi
1.2.2
Memberikan gambaran penanganan pasien
dengan atrial fibrilasi
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi
merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak
terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi
mekanik atrial. Pada gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan
sebagai tidak adanya gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari
ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi (National
Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi
terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan
yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus
AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi
tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler
(Patrick, 2002).
Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus
tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007). Pasien umumnya memiliki keluhan palpitasi,
perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada), dispnea, pusing, atau sinkop
(pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau
tidak adanya pengisian sistolik ventrikel. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi
bersifat asimptomatik (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena
tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan
ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya
serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007).
Gambaran
elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama umumnya tidak teratur dengan
frekuensi laju jantung bervariasi (bias normal/lambat/cepat). Jika laju jantung
kurang dari 60 kali permenit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons
(SVR), jika laju jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi normo
ventricular respon (NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali
permenit disebut atrial fibrilasi rapid
ventricular respon (RVR). Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat dengan
gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil
sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan (Chuchum, 2010).
Banyak faktor risiko
yang menyebabkan berkembangnya kejadian atrial fibrilasi terutama dengan
semakin meningkatnya usia semakin meningkat pula risiko kejadian atrial
fibrilasi (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Faktor
risiko lainnya dapat dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non
jantung. Selain faktor usia, faktor risiko yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit diabetes,
penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan emboli pulmonal. Sedangkan faktor
risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial septal defect, post
operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung
iskemik, dll (Berry and Padgett, 2012).
2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Banyak tipe atau
klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya berdasarkan
waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit
lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Klasifikasi atrial
fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan
menjadi; AF initial event (episode
pertama kali terdeteksi atau new AF),
AF paroksismal, AF persisten, dan AF permanen (Levy, Camm, Saksena, 2003). AF initial event terjadi pertama kali
dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF proksimal
terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh hari dan kurang dari 48 jam, tanpa diberikan
intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti kardioversi. AF
persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika
diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari tujuh hari. AF permanen terjadi jika AF tidak
hilang dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono,
Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Klasifikasi atrial
fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF primer
dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain
atau penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit
jantung lain atau penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan
katub mitral dan lain-lain (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk
gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse
AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk
gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk
gelombang P halus hampir seperti garis lurus (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
2.3 Manajemen Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi harus
benar-benar dipertimbangkan jika pasien telah mengalami dua kali atau lebih episode atrial fibrilasi.
Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus normal, dapat
digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat lain yang dapat diberikan
adalah agen lain yang digunakan untuk mensupresi konduksi AV (Philip and
Jeremy, 2007).
Tujuan penanganan AF
menurut American College of Cardiology
(ACC)/American Heart Association
(AHA)/European Society of Cardiology
(ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan lagi irama sinus dan menurunkan risiko
terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik (Shay, 2010). Terdapat tiga
kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi profilaksis untuk
mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal,
dan memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut
menjadi tujuan penting dalam mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF
berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Edisi III (Ed: Irmalita et al, 2009) yaitu:
2.3.1
Medikamentosa
a.
Rhythm
control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama
sinus sehingga memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan
takikardiomiopati. Dapat diberikan anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide
dan propafenon. Untuk golongan III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga
dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Pengembalian irama sinus
dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau sotalol) bisa mengubah AF
menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih jalnjt. Antikoagulasi untuk mencehag tromboembolik sistemik (Patrick,
2002).
b.
Rate control dan
pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat yang bekerja pada
AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker). Amiodaron
dapat juga digunakan untuk rate control.
Namun pemberian obat-obat tersebut harus hati-hati pada pasien dengan AF
disertai hipertrovi ventrikel.
Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu sebelum pemberian obat-obat tersebut (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto,
Hananto et al, 2009).
Pemberian
obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan menurunkan
kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV menggunakan digoksin, B
bloker, atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun kadang AF sendiri tidak
menghilang sehingga pasien membutuhkan digoksin untuk memperlambat repon
ventrikel terhadap AF saat istirahat dan β bloker untuk memperlambat denyut
ventrikel selama olahraga (Patrick, 2002).
2.3.2
Non-farmakologi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009)
a. Kardioversi
eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF. Jika pasien
mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika
AF lebih dari 48 jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3
minggu pasca kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli.
Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat direkomendasikan sebelum melakukan
kardioversi dengan DC shock jika pemberian antikoagulan belum dapat diberikan
untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b. Pemasangan
pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian menunjukkan
pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode AF
dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini
pemasangan lead atrium pada lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian
bawah dapat mencegah terjadinya AF (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
c. Ablasi
kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary dapat dilakukan.
d. Ablasi
AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini digunakan
terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan obat
antikoagulan.
e. Pembedahan
diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan sekaligus
pada pasien dengan kelainan katub mitral (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
BAB
III
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan
dibahas mengenai hasil analisa kasus pasien laki-laki berumur 50 tahun, yang dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum karena sejak tadi
pagi merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang. Hal itu dirasakan
sampai sekarang. Pasien mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak.
Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak
sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan
denyut sekitar 140x/menit.
Dalam mengidentifikasi
masalah pasien tersebut, ada beberapa hal yang diperhatikan. Pengkajian tanda
gejala yang menjadi keluhan pasien, hasil analisa EKG, hasil Echokardiografi
dan terakhir hasil pemeriksaan lab. Keempat hal tersebut menjadi dasar dalam menentukan
diagnose dan manajemen pasien pada kasus di atas.
Pengkajian menjadi
faktor utama dalam menentukan diagnose pasien dan manajemen penanganan pasien. Beberapa
pertanyaan yang dapat diajukan kepada pasien saat datang ke emergency depertment untuk memperjelas
proses diagnosis, yaitu: Seberapa sering anda merasakan palpitasi? Kapan anda
merasakannya? Apakah bersamaan dengan perasaan sesak dan kurang nyaman di dada
ataukah kelemahan yang sangat dan perasaan ingin pingsan? Apakah anda pengguna
alkohol? Apakah anda punya riwayat penyakit sebelumnya? (Camm, Kirchhof, Lip,
2010). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menuntun dalam memastikan diagnosa
pasien.
Hasil pengkajian yang
didapat pada pasien adalah usia pasien 50 tahun. Usia pasien ini dapat menjadi
salah satu faktor risiko pasien mengalami atrial fibrilasi. Karena usia
merupakan salah satu faktor terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi. Sebuah
studi di Framingham menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian atrial fibrilasi
pada beberapa kondisi yaitu usia di atas 50 tahun, pasien dengan diabetes,
hipertensi dan juga pasien dengan kelainan katub jantung (National Collaborating
Center for Chronic Condition, 2006).
Selain usia, pengkajian
lain yang dapat dilakukan di emergency
department pada pasien atrial fibrilasi adalah riwayat kesehatan pasien
sebelumnya, penyakit yang pernah di derita, dan pemeriksaan penunjang. Riwayat
kesehatan pasien dapat dikaji mengenai tanda dan gejala yang umumnya tampak
pada pasien atrial fibrilasi seperti palpitasi, dyspnea, kelemahan, poliuri,
menurunnya status kognitif. Pengakjian berikutnya adalah penyakit yang pernah
diderita seperti penyakit jantung, hepar dan tiroid (Wakai and O’Neill, 2003). Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan
pengukuran tanda vital, tekanan vena jugularis, ronki paru dan bunyi jantung S3
untuk melihat apakah ada gagal jantung, dan murmur untuk mengetahui adanya
kelainan katup (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al,
2009).
Penetuan gejala dan
tanda palpitasi pada pasien dapat menjadi awal pengkajian untuk menegakkan
diagnosa. Pasien mengeluhkan adanya gejala denyut jantungnya berdetak dengan kencang
dan dirasakan hingga sekarang. Palpitasi
merupakan salah satu gejala yang muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi
akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi ini dapat juga
terjadi pada pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi ini belum
menjadi gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi.
Untuk menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan
keluhan kesulitan bernafas seperti sesak, syncope,
pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh
pasien dimana pasien juga
mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak.
Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak
sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan
denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan
pingsan (syncope) ataupun dengan pusing “nggliyeng”. Kondisi ini akibat
menurunnya suplai darah ke sitemik dank ke otak.
Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada pasien antaralain pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), rontgen thorax (Wakai and O’Neill,
2003). Analisa hasil EKG 12 lead juga menjadi penentu dalam mendiagnosa atrial
fibrilasi. Terdeteksinya irama ireguler dalam EKG menjadi hal yang penting
sebagai salah satu dasar diagnosa. Namun ini bukan satu-satunya dasar, karena
atrial takikardi juga memiliki irama ireguler. EKG lanjutan dan monitoring
dapat menjadi pilhan dalam manajemen atrial fibrilasi.
Pada pasien tersebut
telah dilakukan perekaman EKG. Gambaran analisa hasil EKG pasien dapat
dijabarkan pada kolom di bawah ini berdasarkan Cara Praktis Membaca
Elektrokardiogram EKG oleh Chuchum (2010) dan Introduction to ECG Interpretation
oleh Frank (2012).
Kolom 3.1 Hasil analisa EKG pasien
·
Irama :
tidak teratur
·
HR :
16 x 10 = 160 x/mnt
·
Gel P (Leada II):
t:
0,1 mv
l:
0,08 s
pada
lead V1-V6 tidak dapat terbaca.
·
Interval PR: 0,24 s (tidak normal di Lead II dimana
ada interval PR berbeda dalam lead II), sedangkan di lead lainnya tidak
terdefinisikan.
·
Kompleka QRS (Lead II):
t;
0,15 mv
l:
0,08 s
di
Lead 1, V1 dan V6 ada pelebaran
·
Gel Q :
t:
0,05 mv
l:
0,02 s (normal)
Q
patologis: tidak ada
|
·
Gel T :
T inverted di Lead I dan aVL, V5, V6
·
Segmen ST: depresi segmen ST di Lead II, III, aVF
·
M shape : Lead I, aVL, V5 dan V6
·
Axis :
LAD (Left Axis Deviation)
X= lead I (2-1
= 1)
Y= aVF (1-3 = -2
)
Kesan:
atrial fibrilasi RVR (Rapid Ventrikular Respon) dengan disertai LBBB (Left
Bundle Branch Block) dan LAD
|
Sumber :Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram
EKG. Surya Gemilang. Jakarta
Frank
GY. (2012). Introduction to ECG Interpretation, V8.0 (July 2012). Intermountain Healthcare.
Dapat dilihat pada
kolom di atas, irama yang dihasilkan ireguler dengan kecepatan denyut jantung
yang terbaca pada Lead II adalah 160 kali permenit. Gambaran gelombang P pada
Lead II masih dapat terbaca dengan lebar dan tinggi yang normal, namun pada
lead yang lain gelombang P tidak dapat didefinisikan terutama pada V1-V6. Interval
PR juga tidak normal pada Lead II karena terdapat interval PR yang berbeda
dalam satu lead, sedangkan di lead lainnya interval PR tidak terdefinisikan.
Kompleks QRS normal pada Lead II (0,08 detik) dan terdapat pelebaran kompleks
QRS lebih dari 0,12 detik di Lead I, V1 dan V6. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon
(AFRVR). Atrial fibrilasi rapid ventricular respon adalah atrial fibrilasi
dengan heart rate diatas 100 kali permenit.
Namun, dari hasil
analisa juga terdapat beberapa kelainan pada hasil EKG. Adanya gelombang T inverted atau terbalik pada Lead I, aVL,
V5, V6. Dan depresi segmen ST di Lead II, III, aVF. Selain iu terdapat M shape
di Lead I, aVL, V5 dan V6. Terdapat gelombang Q yang lebar dan dalam di V1-V4. Hal
ini menunjukkan pasien selain mengalami atrial fibrilasi juga disertai dengan
LBBB (Left Bundle Branch Block). Kompleks
QRS yang lebar pada Lead I, V1 dan V6 menjadi penentu juga pasien mengalami
LBBB komplit. Sedangkan hasil analisa aksis jantung pasien berada pada -60
sehingga aksis jantung pasien bergeser kesebelah kiri dengan Left Axiz Deviation (LAD) karena lebih
negative dari -30. Kesimpulan terakhir hasil analisa EKG pasien adalah atrial
fibrilasi dengan rapid ventricular respon disertai bifasikuler blok (LBBB dan
LAD).
Secara jelas, gambaran LBBB
dengan atrial fibrilasi rapid ventricular response dilihat dari hasil EKG
dimana pada lead I terdapat QRS kompleks dengan cirri-ciri LBBB (terdapat M
sahape dan T inverted). Selain itu terdapat irama yang tidak teratur dan
gelombang P yang tidak dapat didefinisikan sehingga memunculkan hasil analisa
yang jelas sekali bukan ventricular takikardi sebagai diagnosa banding. Hal ini karena ventrikel takikardi memiliki
irama teratur. Hal ini diperjelas dengan adanya kompleks QRS yang lebar lebih
dari 0,12 detik di Lead I dan V6. LBBB masuk ke dalam aritmia gangguan sistem
konduksi atau penghantaran arus litrik pada serabut his. Sedangkan atrial
fibrilasi masuk ke dalam aritmia gangguan implus (Tintanali., Cameron.,
Holloman, 2010).
Pemeriksaan
laboraturium juga menjadi penunjang dalam penentuan diagnosis. Pemeriksaan
darah lengkap seperti elektrolit dan ureum, gas darah arteri, enzim jantung,
fungsi hati, glukosa darah, dan fungsi tiroid (Wakai and O’Neill, 2003).
Pemeriksaan fungsi tiroid bermanfaat karena sebagai salah satu faktor risiko
terjadinya atrial fibrilasi. Penelitian yang dilakukan oleh Canadian Registry
of Atrial fibrillation Investigators menunjukkan bahwa pada 5,4% kasus pasien
dengan TSH (Tiroid Stimulating Hormone) menunjukkan adanya gambaran atrial
fibrilasi akut (Guy, Karine and Jean, 2002).
Pengkajian
pelengkap lain yang dapat membantu menentukan
manajemen kasus di atas adalah dengan prosedur invasive transesofagus
echocardiografi (TOE). Tranesofagus echocardiografi ini berfungsi memberikan
gambaran ukuran atrium kiri dan menentukan fungsi sistolik ventrikel kiri,
selain itu sekaligus dapat memperlihatkan kemungkinan adanya penyakit katub
jantung (Berry and Padgett, 2012). Transesofagus echocardiografi ini dapat
dilakukan sebelum pemberian kardioversi dan juga setelah dilakukan kardioversi.
Karena prosedur ini sangat spesifik untuk menentukan risiko stroke dan
tromboemboli pada pasien atrial fibrilasi (National Collaborating Center for
Chronic Condition, 2006).
Hasil pengkajian pada
kasus dapat dirujuk kepada atrial fibrilasi
akut baru dengan onset yang baru saja terjadi kurang dari 48 jam. Hal
ini dapat dilihat dari pernyataan dokter yang merujuk bahwa pasien datang
dengan keluhan sejak tadi pagi
merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang sampai sekarang
dan mengeluh dadanya terasa seperti
diikat dan agak sesak. Saat pasien berjalan merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak
sampai pingsan. Sehingga dapat disimpulkan pasien baru mengalami
beberapa jam lalu mengalami gejala yang dirasakannya. Ketika pasien datang
pertama kali ke rumah sakit dan hasil analisa EKG menunjukkan atrial fibrilasi,
pasien dapat dirujuk kepada kemungkinan atrial fibrilasi proksismal atau persisten
(ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Hal ini akan menentukan tindakan apa yang
akan diberikan kepada pasien.
Mengacu pada hasil
pengkajian yang ada dimana pasien mengeluh adanya palpitasi, agak sesak,
perasaan tidak nyaman di dada dan “nggliyeng”, maka masalah keperawatan yang
muncul pada pasien tersebut adalah penurunan curah jantung. Hal ini dikarenakan
atrial fibrilasi menyebabkan respon ventrikel yang tidak beraturan sehingga
memunculkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara lengkap ke atrium
dan ventrikel. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gumpalan (emboli) yang
dapat berkembang menjadi tromboembolisme (National Collaborating Center for
Chronic Condition, 2006). Tanda dan gejala yang muncul adalah adanya perubahan
hemodinamik dan trombogenesis dengan gejala palpitasi, perasaan tidak enak di
dada (nyeri dada), kelemahan hingga tidak sadarkan diri akibat kurangnya suplai
darah ke otak.
Manajemen penanganan pasien
tersebut bertujuan mengurangi gejala dan mencegah komplikasi pada pasien. Gambaran
atrial fibrilasi rapid ventricular respon disebabkan oleh adanya depolarisasi
atrium secara spontan dengan cepat dan tidak beraturan sehingga menghantarkan
implus listrik terus menerus ke nodus AV. Hal ini dapat mengakibatkan ventrikel
berespon sangat irregular. Kondisi ini
yang menjadi dasar dalam penanganan pasien dengan atrial fibrilasi dimana harus
segera mengembalikan irama ireguler kembali ke irama sinus dan mengontrol heart
rate yang cepat menjadi normal kembali. Kondisi ini juga dapat mengembalikan
curah jantung menjadi normal sehingga keluhan-keluhan palpitasi, nyeri dada,
kelemahan, serta sinkop akan berkurang.
Usaha di atas dapat
dilakukan dengan obat antiaritmia, kardioversi dan ablasi (Camm, Kirchhof, Lip,
2010). Berdasarkan algoritma pasien dengan atrial fibrilasi menurut American Heart
Association (AHA), atrial fibrilasi baru seperti kasus di atas dapat dicurigai
mengalami AF paroksismal atau persisten. Pasien tersebut dapat ditangani dulu
dengan pemberian antikoagulan, namun jika dalam waktu 48 jam tidak mengalami
perubahan, dapat diberikan antikoagulan lagi untuk rate control dan antiaritmia untuk rhythm control dan terakhir dapat dilakukan kardioversi (ACCF/AHA
Pocket Guidelne, 2011).
Merujuk panduan
tersebut, tindakan awal yang harus segera dilakukan kepada pasien yang datang
ke emergensi department adalah
secepatnya memberikan oksigen, memasang intravenous
line dan monitoring EKG untuk membantu mengurangi gejala yang muncul dengan
pemberian obat serta monitor kondisi jantung. Setelah itu, untuk memperlambat
denyut jantung, dapat ditangani penyebabnya atrial fibrilasi rapid vantrikular
respon ini dengan memperlambat konduksi yang arus listrik ke nodus AV (Patrick,
2006).
Prinsip penanganan
pasien atrial fibrilasi di ruang emergensi terdiri atas tiga hal yang mendasar
yaitu mempertahankan sinus rhythm (control
rythm), control ventricular rate (control
rate) dan terapi antitrombotik (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Langkah
yang dapat diambil selama di ruang emergensi untuk mengatasi penyebabnya adalah;
Pertama dengan maneuver vagatonik, yaitu meningkatkan tonus fagus contohnya
dengan valsava maneuver, menelan air dingin atau menekan sinus karotis.
Namun sebelum melakukan tindakan ini pasien wajib diberikan informasi agar
tidak terkejut. Kedua Pemberian obat yang dapat memblok konduksi ke dalam nodus
AV sementara misal dengan adenosine intravena, efeknya ≤ 4 detik, hal ini dapat
mengembalikan ke irama sinus. Ketiga dengan pemberian beta bloker (β bloker) seperti verapamil atau
flekainid (Patrick, 2006).
Namun, pasien pada
kasus tersebut juga mengalami LBBB sehingga tidak direkomendasikan untuk
menggunakan verapamil. Meskipun sebuah literature menyebutkan bahwa LBBB tidak
membutuhkan terapi, tetapi perlu juga diperhatikan obat-obat yang sekiranya
kontaindikasi dengan kondisi tersebut. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
verapamil tidak tepat digunakan pada pasien AF dengan LBBB. Sehingga pengobatan
dengan beta bloker dapat direkomendasikan salah satunya adalah dengan
Metroprolol (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al,
2009).
Rate
control bertujuan untuk mengembalikan denyut jantung kembali
kepada kisaran normal 60-80 kali permenit. Untuk itu pasien tersebut dapat
diberikan obat-obatan kelas I yaitu dengan digoxin oral. Atau dapat diberikan
obat-obatan kelas IIa yaitu dengan kombinasi antara digoksin dengan beta
bloker, diltiazem atau verapamil untuk mengontrol denyut jantung pasien selama
istirahat ataupun latihan. Namun jika pasien tidak dapat bertahan menggunakan
obat-obat tersebut, amiodaron oral dapat direkomendasikan untuk pasien
(ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011).
Tindakan berikutnya
yaitu pencegahan tromboembolisme pada pasien dengan control rythm. Control rhythm
bertujuan mengembalikan irama ireguler menjadi irama regular sinus.
Sehingga meminimalkan risiko terjadinya emboli atrium. Antitrombotik dapat
direkomendasikan pada seluruh pasien dengan atrial fibrilasi. Antitrombotik
yang dipilih harus memiliki manfaat untuk menurunkan risiko stroke dan tidak
adanya risiko perdarahan (Camm, Kirchhof, Lip, 2010). Terapi yang diberikan
pada intinya adalah memberikan obat-obat yang bekerja pada AV node sehingga
respon ventrikel yang semula ireguler dapat menjadi regular ketika konduksi ke
ventrikel tidak lagi dibatasi oleh refrakter AV node (Patrick, 2006).
Sebuah studi pada
pasien dengan atrial fibrilasi dengan onset kurang dari 24 jam, amiodarone dapan
mengembalikan ke irama sinus dengan 61,4% pada jam pertama. Dan menghasilkan
pengembalian denyut jantung dalam rentang normal dengan jumlah 93% dari jumlah sampel setelah 24 jam. Studi ini
menggunakan dosis tinggi 300mg amiodarone, dengan 20 mg/kg BB dalam 24 jam.
Observasi efeksampingnya adalah hipertensi dengan 11% dan phlebitis pada luka
tusukan infuse 16% (Weizberg, 2007). Amiodaron dapat menjadi alternatif dalam
mengembalikan ke irama sinus dan menormalkan denyut jantung.
Dalam memilih obat-obatan
tersebut diperlukan kehati-hatian sebab efek sampingnya adalah proaritmia
(kemungkinan jenis lain). Perlu evaluasi yang sangat ketat pada pemakaian
obat-obatan ini. Obat yang dinilai efektif sebagai kardioversi farmakologis
pada AF adalah amiodaron, dofetilide, flekainid, ibutilide, propafenon, dan
kuinidin (Shay, 2010).
Jika pengobatan yang
diberikan tidak berhassil atau pada kondisi kegawatdaruratan misalnya
hemodinamik tidak stabil disertai tanda iskemia, dan sinkop perlu dilakukan
kardioversi elektrik yang dimulai dengan 200 Joule, bila tidak berhasil boleh
dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi singkat
(Shay, 2010).
Panduan lain dalam
algoritma penanganan perawatan pasien atrial fibrilasi dengan menggunakan
kardioversi, disebutkan bahwa ketika pasien datang dengan onset atrial
fibrilasi kurang dari 48 jam, maka dapat diberikan heparin dan diteruskan dengan
pemberian terapi kardioversi. Kardioversi yang diberikan dapat berupa electrical maupun pharmacological.
Setelah itu dipantau kejadian atrial fibliasi selama onset 48 jam tersebut dan
dilanjutkan dengan pemberian obat antikoagulan (National Collaborating Center
for Chronic Condition, 2006). Kesimpulan akhir penanganan pasien di ruang
emergensi dapat diberikan obat-obatan anti aritmia dan antikoagulan serta
diberikan kardioversi elektrik.
Sedangkan untuk
penanganan lanjutan pasien dengan kardioversi, ada pertimbangan yang harus
diberikan ketika memilih kardioversi elektrikal ataupun kardioversi
pharmacological. Akibat mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon,
pasien tidak akan memberikan respon yang tepat kepada pemberian pharmacological
kardioversi. Sehingga dengan segera kardioversi elektrik dapat direkomendasikan
kepada pasien tersebut (Camm, Kirchhof, Lip et al, 2010).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pasien yang diberikan kardioversi elektrikal dalam
penanganannya dapat bertahan secara signifikan tanpa adanya komplikasi seperti
stroke, kejadian tromboemboli baru, ataupun kematian dalam waktu 30 hari pearawatan.
Hal ini kontras dengan hasil penelitian sebelumnya dimana pasien dengan atrial
fibrilasi yang tidak diberikan kardioversi elektrikal dan hanya diberi kardioversi
pharmacheoumical mengalami banyak
kompilkasi ikutan akibat atrial fibrilasi (Frank, Eric, Rob, Grant, Iraj and
Maziar, 2010). Sehingga kardioversi elektrik dapat menjadi pilihan dalam
penanganan pasien selama di ruang emergensi.
Namun beberapa studi
menyebutkan bahwa pemberian obat anti aritmi disertai dengan pemberian
kardioversi dapat memberikan hasil yang baik pada pasien. Hal ini diperkuat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bellone A, Etteri M, Vettorello M, dan
kawan-kawan (2011) dimana disebutkan bahwa pada pasien dengan onset kejadian
atrial fibrilasi yang baru muncul kurang dari 48 jam dapat diberikan penanganan
pertama dengan obat dan dikombinasi dengan pemberian kardioversi elektrik. Obat
bertindak sebagai rate control dan
juga rhythm control dengan
mempertahankan irama sinus, sedangkan kardioversi dapat bertindak sebagai rhythm control (Berry and Padget, 2012).
Jika dengan obat-obatan
dan kardioversi tidak berhasil, maka dapat diberikan tindakan ablasi pada
pasien tersebut. Ablasi AV node dan permanen pacing bukanlah bentuk perawatan dengan obat. Ablasi dan pacemaker
dapat membantu mengontrol irama dan denyut jantung pasien dengan atau tanpa
penggunaan obat. Ini dapat digunakan pada pasien yang tetap merasakan palpitasi
setelah pengobatan dan yang tidak toleran terhadap obat-obat pengontrol irama
dan denyut jantung (Berry and Padget, 2012).
Peran perawat emergensi
antaralain adalah memantau setiap saat irama jantung dan laju denyut jantung
pasien dan memberikan obat-obatan dan tindakan yang dibutuhkan pasien sebagai
penanganan pertama (Greener, 2010). Selain itu, peran perawat adalah memberikan
konseling kepada pasien setelah kondisi pasien mulai stabil (Greener, 2010).
Pasien umumnya telah
memiliki pandangan negatif terhadap kondisi dirinya jika telah berhubungan
dengan penyakit jantung. Selain itu pasien akan meragukan keberhasilan
penanganan yang diberikan. Sehingga sangat dibutuhkan peran perawat dalam
memberikan motivasi dan penjelasan akan setiap keuntungan tindakan yang
diberikan kepada pasien untuk menurunkan kecemasan. Paisen juga diinformasikan
terkait dengan komplikasi yang akan muncul. Hal ini berguna agar pasien lebih
siap ketika dikemudian hari ada beberapa penyakit yang menyertai post atrial
fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010).
Sebuah survey
menunjukkan bahwa 29% mengalami kecemasan akan penyakitnya dan membutuhkan
pengetahauan mengenai atrial fibrilasi 5%. Dan sisanya mengalami depresi dan
kecemasan tinggi setelah didiagnosa atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt,
Brugada, 2010). Peran perawat disini dapat memberikan informasi terkait
perawatan yang akan diberikan dengan bahasa yang mudah diterima oleh pasien
(Greener, 2010).
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Paisen atrial fibrilasi umumnya memiliki
keluhan palpitasi, rasa tidak nyaman di
dada (nyeri dada), terasa sesak, kelemahan hingga pingsan. Untuk menentukan
diagnose atrial fibrilasi diperkuat dengan hasil analisa EKG yang direkam.
4.1.2 Pengkajian lain yang dapat dilakukan untuk
memperkuat diagnosa atrial fibrilasi adalah pengkajian tanda dan gejala lain
yang mungkin dirasakan pasien, pemeriksaan hasil laboratorium darah lengkap dan
pemeriksaan transesofagus echocardiografi.
4.1.3. Masalah keperawatan yang biasanya muncul
adalah penurunan curah jantung diakibatkan ketidakmampuan jantung memompakan
darah ke atrium dan ventrikel akibat atrial vibrilasi yang menyebabkan respon
ventrikel tidak beraturan.
4.1.4 Penanganan pasien atrial fibrilasi saat di
ruang emergensi adalah dengan memberikan obat-obat anti aritmia, antikoagulan
dan juga dengan kardioversi, atau jika tidak berhasil dapat dilakukan ablasi.
4.1.5 Dalam penanganan pasien atrial fibrilasi di
ruang emergensi, perawat tidak hanya mengelola kondisi fisik pasien agar irama
dan denyut jantung pasien stabil serta mencegah komplikasi, tetapi juga
memperhatikan kondisi kecemasan pasien.
4.2
Saran
4.2.1 Penanganan pasien di ruang emergensi oleh
perawat hendaknya juga memperhatikan kondisi psikis pasien seperti kecemasan
pasien.
DAFTAR
PUSTAKA
ACCF/AHA Pocket Guidelne. (2011). Management of Patients With Atrial
Fibrillation. American: American College of Cardiology Foundation and
American Heart Association. www.heart.org
Alfred, S, Jennife, W, Steven, L, Devender, A.
(2012). Impact of emergency department management of atrial fibrilation on
hospital charges. Western Journal of Emergency
Medicine. www.escholarship.org
Aliot, E, Breithardt, G, Brugada, J. (2010). An
international survey of physician and patient understanding, perception, and
attitudes to atrial fibrillation and its contribution to cardiovascular disease
morbidity and mortality. Europen. 12 (5),
626-633
Barrett, T. W., Martin, A. R., Storrow, A. B., et
al. (2011). A clinical prediction model to estimate risk for 30-day adverse
events in emergency department patients with symptomatic atrial fibrillation. Ann
Emerg Med. 57, 1-12.
Bellone, A., Etteri, M., Vettorello, M., et all.
(2011). Cardioversion of acute atrial fibrilation in the emergency department: A
Prospective Randomized Trial. Emergency
Medicine Journal.
Benjamin, E. J., Chen, P. S., Bild, D. E. (2009).
Prevention of atrial fibrillation: Report From A National Heart, Lung, and
Blood Institute Workshop. Circulation. 119 (4), 606–618
Berry. A and Padgett, H. (2012). Management of
patients with atrial fibrillation: Diagnosis and Treatment. Nursing Standard/RCN Publishing. 26 (22),
47.
Camm, A. J., Kirchhof, P., Lip, G. Y., Schotten, U.,
Irene, S., Ernst, S., Gelder, I. C. V., et al. (2010). Guidelines for the
management of atrial fibrillation: The Task Force For The Management of Atrial
Fibrillation of The European Society of Cardiology. Europen Heart Journal. 31, 2369-2429
Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca
Elektrokardiogram EKG. Jakarta: Surya Gemilang.
Craig, I., Coleman, White, M., Baker, W. L. (2009).
An antiarrhythmic agent forthe management of atrial fibrillation and atrial
flutter. Formulary. 44. www.formularyjoumal.com
Department Health and Human Services USA. (2010). Atrial Fibrillation Fact Sheet. CDC. www.stoptheclot.org
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S.,
Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed).
(2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
Frank, G. Y,. (2012). Introduction to ECG
Interpretation. Intermountain Healthcare.
Frank, X. S., Eric, R., Rob, S., Grant, I., Iraj, P.,
Maziar, S. (2010). Thirty-day outcomes of emergency department patients
undergoing electrical cardioversion for atrial fibrillation or flutter. Society fo Academic Emergency Medicine. 17, 408-415.
Greener, M. (2010). The nurse’s role in the
management of atrial fibrillation. Nurse
Prescribing. 8 (11),532-537.
Guy, C., Karine, G., and Jean, P. (2002). Atrial
fibrillation in the elderly facts and management. Drugs Aging. 19 (11), 819-846
Levy, S., Camm, A. J., Saksena, S. (2003).
International consensus on nomenclature and classification of atrial
fibrillation. Europace. 5, 119–221.
National Collaborating Center for Chronic Condition.
(2006). Atrial fibrillation. London. National
Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal College
of Physicians. www.escardio.org
Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Philip, I. A., and Jeremy, P. T. W,. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Shay, E. P. (2010). Guideiin-Specific Management of
Atrial Fibrilation. Foimulary. 45. www.foimularyjournal.com
Tintinalli
J., Cameron P., Holliman J., C. (2010). EMS: a Practical Global
Guidebook. USA: People’s Medical Publishing. www.ebookee.org
Wakai, A., and O’Neill, O. (2003). Emergency
management of atrial fibrillation. Postgrad
Med J. 79,313-319. www.posgradmedj.com
Weizberg, M. (2007). Foccus on atrial fibrillation-rhythm
control option in the emergency department. ACEP
News
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusassalamu'alaikum saya mau tanya untuk Normo ventrikel respon itu berarti seseorang normal dan tidak memiliki penyakit AF? atau gimana? karena laju jantung org normal juga 60-100 kali per menit? terimakasih
BalasHapus