Selasa, 26 Maret 2013

STUDI KASUS PASIEN DENGAN ATRIAL FIBRILASI


STUDI KASUS PASIEN DENGAN ATRIAL FIBRILASI
DI UNIT GAWAT DARURAT






Disusun untuk Memnuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Kecenderungan dan Isue dalam Keperawatan


Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015




PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012





DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................ 2
Kasus Pemicu ………………………………………………………3
BAB 1. Pendahuluan......................................................................... 4
             1.1 Latar Belakang................................................................ 4
             1.2 Tujuan............................................................................. 5
BAB 2. Tinjauan Pustaka.................................................................. 6
             2.1 Definisi Atrial Fibrilasi................................................... 6
             2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi............................................... 7
             2.3  Manajemen Atrial Fibrilasi............................................. 8
BAB 3.  Pembahasan......................................................................... 11
BAB 4.  Penutup............................................................................... 21
             4.1  Simpulan........................................................................ 21
             4.2  Saran.............................................................................. 21
Daftar Pustaka






KASUS PEMICU
Pasien laki-laki 50 tahun, dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum karena sejak tadi pagi merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang. Hal itu dirasakan sampai sekarang. Pasien mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Data penunjang gambaran EKG pasien:
PERTANYAAN PEMICU
      Apakah yang harus anda kaji lebih lanjut?
      Apa masalah keperawatan yang terjadi pada pasien ini?
      Apa tindakan yang harus segera dilakukan?



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan implus ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun  (Berry and Padgett, 2012).
Literatur lain menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barrett, Martin, Storrow, 2011). Kejadian atrial fibrilasi meningkat  dengan bertambahnya usia (Patrick, 2002). Pada abad ke-21 ini semakin meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial fibrilasi (Alfred, Jennife, Steven, Devender, 2012).  Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5 juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus meningkat 0,1% setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan 2% pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun (Camm, Kirchhof, Lip, Schotten, Irene, Ernst, Gelder et al  2010). Angka kejadian atrial fibrilasi di dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua decade ini angka kematian akibat atrial fibrilasi meningkat (Department Health and Human Services USA, 2010).
Di Amerika, lebih dari 850,000 orang dirawat di rumah sakit karena aritmia setiap tahunnya. Atrial fibrilasi mengenai kurang lebih 2,3 juta orang di amerika utara dan 4,5 juta orang di eropa, terutama yang berusia lanjut. Di Amerika, kira-kira 75 % orang yang terkena atrial fibrilasin berusia 65 tahun atau bahkan lebih tua. Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering terjadi dengan prevalensi 0,4 % pada golongan usia <65 tahun dan meningkat 10 % pada kelompok usia > 75 tahun. Di Amerika Utara, prevalensi atrial fibrilasi diperkirakan meningkat dua sampai tiga kali lipat pada tahun 2050 (Department Health and Human Services USA, 2010).
Kejadian Atrial fibrilasi dapat terjadi pada jantung normal, namun umumnya lebih sering terjadi pada penyakit jantung (Shay, 2010). Penyebab atrial fibrilasi yang paling sering terjadi adalah akibat; penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensi, kelainan katup mitral, perikarditis, kardiomiopati, emboli paru, pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, kor pulmonal. Pada beberapa kasus tidak ditemukan penyebabnya (Patrick, 2002).
Namun dapat dipastikan bahwa atrial fibrilasi sebagai salah satu penyumbang kematian dan kesakitan dewasa ini. Atrial fibrilasi juga memberikan dampak terjadinya stroke, demensia, gagal jantung dan kematian (Benjamin, Chen, Bild, 2009). Akibat yang ditimbulkan oleh atrial fibrilasi akan meningkatkan risiko terjadinya stroke pada pasien pasca mengalami atrial fibrilasi dan juga meningkatkan risiko kematian. Selain itu pasien pasca atrial fibrilasi akan mengalami penurunan kualitas hidup (Craig, Coleman, Michael, William, 2009).
Sehingga perlu perhatian dan penangan kusus oleh tenaga medis di emergency department salah satunya perawat guna meminimalkan angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkan oleh atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010). Dan perawat dituntut untuk memberikan perhatian kepada kondisi pasien. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengambil kasus no 1 dengan gambaran atrial fibrilasi sebagai bahan diskusi.

1.2  Tujuan
Tujuan makalah ini adalah:
1.2.1        Memberikan gambaran mengenai atrial fibrilasi
1.2.2        Memberikan gambaran penanganan pasien dengan atrial fibrilasi 







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium  menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002).
Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007).  Pasien umumnya memiliki keluhan palpitasi, perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada), dispnea, pusing, atau sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik ventrikel. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007).
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama umumnya tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali permenit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), jika laju jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit disebut  atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR). Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan (Chuchum, 2010).
Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya kejadian atrial fibrilasi terutama dengan semakin meningkatnya usia semakin meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Faktor risiko lainnya dapat dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non jantung. Selain faktor usia, faktor risiko yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan emboli pulmonal. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial septal defect, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemik, dll (Berry and Padgett, 2012).

2.2  Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi; AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF paroksismal, AF persisten, dan AF permanen (Levy, Camm, Saksena, 2003). AF initial event terjadi pertama kali dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh  hari dan kurang dari 48 jam, tanpa diberikan intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti kardioversi. AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari tujuh  hari. AF permanen terjadi jika AF tidak hilang dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).

2.3  Manajemen Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi harus benar-benar dipertimbangkan jika pasien telah mengalami  dua kali atau lebih episode atrial fibrilasi. Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus normal, dapat digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat lain yang dapat diberikan adalah agen lain yang digunakan untuk mensupresi konduksi AV (Philip and Jeremy, 2007).
Tujuan penanganan AF menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart Association (AHA)/European Society of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan lagi irama sinus dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik (Shay, 2010). Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut menjadi tujuan penting dalam mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III (Ed: Irmalita et al, 2009) yaitu:

2.3.1        Medikamentosa
a.      Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus sehingga memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat diberikan anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan propafenon. Untuk golongan III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Pengembalian irama sinus dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau sotalol) bisa mengubah AF menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih jalnjt. Antikoagulasi untuk mencehag tromboembolik sistemik (Patrick, 2002).
b.       Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat yang bekerja pada AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker). Amiodaron dapat juga digunakan untuk rate control. Namun pemberian obat-obat tersebut harus hati-hati pada pasien dengan AF disertai  hipertrovi ventrikel. Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu sebelum pemberian obat-obat tersebut (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).  
Pemberian obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan menurunkan kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV menggunakan digoksin, B bloker, atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga pasien membutuhkan digoksin untuk memperlambat repon ventrikel terhadap AF saat istirahat dan β bloker untuk memperlambat denyut ventrikel selama olahraga (Patrick, 2002).
2.3.2        Non-farmakologi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009)
a.       Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF. Jika pasien mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF lebih dari 48 jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu pasca kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat direkomendasikan sebelum melakukan kardioversi dengan DC shock jika pemberian antikoagulan belum dapat diberikan untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b.      Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian menunjukkan pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini pemasangan lead atrium pada lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian bawah dapat mencegah terjadinya AF (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).  
c.       Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary  dapat dilakukan.  
d.      Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini digunakan terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan obat antikoagulan.
e.       Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan sekaligus pada pasien dengan kelainan katub mitral (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).


 

 











BAB III
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil analisa kasus pasien laki-laki berumur 50 tahun, yang dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum karena sejak tadi pagi merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang. Hal itu dirasakan sampai sekarang. Pasien mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit.
Dalam mengidentifikasi masalah pasien tersebut, ada beberapa hal yang diperhatikan. Pengkajian tanda gejala yang menjadi keluhan pasien, hasil analisa EKG, hasil Echokardiografi dan terakhir hasil pemeriksaan lab. Keempat hal tersebut menjadi dasar dalam menentukan diagnose dan manajemen pasien pada kasus di atas.
Pengkajian menjadi faktor utama dalam menentukan diagnose pasien dan manajemen penanganan pasien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada pasien saat datang ke emergency depertment untuk memperjelas proses diagnosis, yaitu: Seberapa sering anda merasakan palpitasi? Kapan anda merasakannya? Apakah bersamaan dengan perasaan sesak dan kurang nyaman di dada ataukah kelemahan yang sangat dan perasaan ingin pingsan? Apakah anda pengguna alkohol? Apakah anda punya riwayat penyakit sebelumnya? (Camm, Kirchhof, Lip, 2010). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menuntun dalam memastikan diagnosa pasien.
Hasil pengkajian yang didapat pada pasien adalah usia pasien 50 tahun. Usia pasien ini dapat menjadi salah satu faktor risiko pasien mengalami atrial fibrilasi. Karena usia merupakan salah satu faktor terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi. Sebuah studi di Framingham menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di atas 50 tahun, pasien dengan diabetes, hipertensi dan juga pasien dengan kelainan katub jantung (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Selain usia, pengkajian lain yang dapat dilakukan di emergency department pada pasien atrial fibrilasi adalah riwayat kesehatan pasien sebelumnya, penyakit yang pernah di derita, dan pemeriksaan penunjang. Riwayat kesehatan pasien dapat dikaji mengenai tanda dan gejala yang umumnya tampak pada pasien atrial fibrilasi seperti palpitasi, dyspnea, kelemahan, poliuri, menurunnya status kognitif. Pengakjian berikutnya adalah penyakit yang pernah diderita seperti penyakit jantung, hepar dan tiroid (Wakai and O’Neill, 2003).  Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pengukuran tanda vital, tekanan vena jugularis, ronki paru dan bunyi jantung S3 untuk melihat apakah ada gagal jantung, dan murmur untuk mengetahui adanya kelainan katup (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Penetuan gejala dan tanda palpitasi pada pasien dapat menjadi awal pengkajian untuk menegakkan diagnosa. Pasien mengeluhkan adanya gejala denyut jantungnya berdetak dengan kencang dan dirasakan hingga sekarang. Palpitasi merupakan salah satu gejala yang muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi ini dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi ini belum menjadi gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan kesulitan bernafas seperti sesak, syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat digunakan berjalan, pasien merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Dokter memberikan catatan: nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan pingsan (syncope) ataupun dengan pusing “nggliyeng”. Kondisi ini akibat menurunnya suplai darah ke sitemik dank ke otak.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien antaralain pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), rontgen thorax (Wakai and O’Neill, 2003). Analisa hasil EKG 12 lead juga menjadi penentu dalam mendiagnosa atrial fibrilasi. Terdeteksinya irama ireguler dalam EKG menjadi hal yang penting sebagai salah satu dasar diagnosa. Namun ini bukan satu-satunya dasar, karena atrial takikardi juga memiliki irama ireguler. EKG lanjutan dan monitoring dapat menjadi pilhan dalam manajemen atrial fibrilasi.
Pada pasien tersebut telah dilakukan perekaman EKG. Gambaran analisa hasil EKG pasien dapat dijabarkan pada kolom di bawah ini berdasarkan Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG oleh Chuchum (2010) dan Introduction to ECG Interpretation  oleh Frank (2012).

Kolom 3.1 Hasil analisa EKG pasien
·         Irama         : tidak teratur
·         HR                        : 16 x 10 = 160 x/mnt
·         Gel P (Leada II):
t: 0,1 mv
l: 0,08 s
pada lead V1-V6 tidak dapat terbaca.
·         Interval PR: 0,24 s (tidak normal di Lead II dimana ada interval PR berbeda dalam lead II), sedangkan di lead lainnya tidak terdefinisikan.
·         Kompleka QRS (Lead II):
t; 0,15 mv
l: 0,08 s
di Lead 1, V1 dan V6 ada pelebaran
·         Gel Q        :
t: 0,05 mv
l: 0,02 s (normal)
Q patologis: tidak ada
·         Gel T         : T inverted di Lead I dan aVL, V5, V6
·         Segmen ST: depresi segmen ST di Lead II, III, aVF
·         M shape : Lead I, aVL, V5 dan V6
·         Axis           : LAD (Left Axis Deviation)
X= lead I (2-1 = 1)
Y= aVF (1-3 = -2 )
                      

Kesan: atrial fibrilasi RVR (Rapid Ventrikular Respon) dengan disertai LBBB (Left Bundle Branch Block) dan LAD

Sumber :Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Surya Gemilang.   Jakarta
Frank GY. (2012). Introduction to ECG Interpretation, V8.0 (July 2012). Intermountain Healthcare.

Dapat dilihat pada kolom di atas, irama yang dihasilkan ireguler dengan kecepatan denyut jantung yang terbaca pada Lead II adalah 160 kali permenit. Gambaran gelombang P pada Lead II masih dapat terbaca dengan lebar dan tinggi yang normal, namun pada lead yang lain gelombang P tidak dapat didefinisikan terutama pada V1-V6. Interval PR juga tidak normal pada Lead II karena terdapat interval PR yang berbeda dalam satu lead, sedangkan di lead lainnya interval PR tidak terdefinisikan. Kompleks QRS normal pada Lead II (0,08 detik) dan terdapat pelebaran kompleks QRS lebih dari 0,12 detik di Lead I, V1 dan V6. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon (AFRVR). Atrial fibrilasi rapid ventricular respon adalah atrial fibrilasi dengan heart rate diatas 100 kali permenit.
Namun, dari hasil analisa juga terdapat beberapa kelainan pada hasil EKG. Adanya gelombang T     inverted atau terbalik pada Lead I, aVL, V5, V6. Dan depresi segmen ST di Lead II, III, aVF. Selain iu terdapat M shape di Lead I, aVL, V5 dan V6. Terdapat gelombang Q yang lebar dan dalam di V1-V4. Hal ini menunjukkan pasien selain mengalami atrial fibrilasi juga disertai dengan LBBB (Left Bundle Branch Block). Kompleks QRS yang lebar pada Lead I, V1 dan V6 menjadi penentu juga pasien mengalami LBBB komplit. Sedangkan hasil analisa aksis jantung pasien berada pada -60 sehingga aksis jantung pasien bergeser kesebelah kiri dengan Left Axiz Deviation (LAD) karena lebih negative dari -30. Kesimpulan terakhir hasil analisa EKG pasien adalah atrial fibrilasi dengan rapid ventricular respon disertai bifasikuler blok (LBBB dan LAD).
Secara jelas, gambaran LBBB dengan atrial fibrilasi rapid ventricular response dilihat dari hasil EKG dimana pada lead I terdapat QRS kompleks dengan cirri-ciri LBBB (terdapat M sahape dan T inverted). Selain itu terdapat irama yang tidak teratur dan gelombang P yang tidak dapat didefinisikan sehingga memunculkan hasil analisa yang jelas sekali bukan ventricular takikardi sebagai diagnosa banding.  Hal ini karena ventrikel takikardi memiliki irama teratur. Hal ini diperjelas dengan adanya kompleks QRS yang lebar lebih dari 0,12 detik di Lead I dan V6. LBBB masuk ke dalam aritmia gangguan sistem konduksi atau penghantaran arus litrik pada serabut his. Sedangkan atrial fibrilasi masuk ke dalam aritmia gangguan implus (Tintanali., Cameron., Holloman, 2010).
Pemeriksaan laboraturium juga menjadi penunjang dalam penentuan diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap seperti elektrolit dan ureum, gas darah arteri, enzim jantung, fungsi hati, glukosa darah, dan fungsi tiroid (Wakai and O’Neill, 2003). Pemeriksaan fungsi tiroid bermanfaat karena sebagai salah satu faktor risiko terjadinya atrial fibrilasi. Penelitian yang dilakukan oleh Canadian Registry of Atrial fibrillation Investigators menunjukkan bahwa pada 5,4% kasus pasien dengan TSH (Tiroid Stimulating Hormone) menunjukkan adanya gambaran atrial fibrilasi akut (Guy, Karine and Jean, 2002).
Pengkajian pelengkap  lain yang dapat membantu menentukan manajemen kasus di atas adalah dengan prosedur invasive transesofagus echocardiografi (TOE). Tranesofagus echocardiografi ini berfungsi memberikan gambaran ukuran atrium kiri dan menentukan fungsi sistolik ventrikel kiri, selain itu sekaligus dapat memperlihatkan kemungkinan adanya penyakit katub jantung (Berry and Padgett, 2012). Transesofagus echocardiografi ini dapat dilakukan sebelum pemberian kardioversi dan juga setelah dilakukan kardioversi. Karena prosedur ini sangat spesifik untuk menentukan risiko stroke dan tromboemboli pada pasien atrial fibrilasi (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Hasil pengkajian pada kasus dapat dirujuk kepada atrial fibrilasi  akut baru dengan onset yang baru saja terjadi kurang dari 48 jam. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan dokter yang merujuk bahwa pasien datang dengan keluhan sejak tadi pagi merasakan denyut jantungnya berdetak dengan kencang sampai sekarang dan mengeluh dadanya terasa seperti diikat dan agak sesak. Saat pasien berjalan merasakan seperti “nggliyeng” tetapi tidak sampai pingsan. Sehingga dapat disimpulkan pasien baru mengalami beberapa jam lalu mengalami gejala yang dirasakannya. Ketika pasien datang pertama kali ke rumah sakit dan hasil analisa EKG menunjukkan atrial fibrilasi, pasien dapat dirujuk kepada kemungkinan atrial fibrilasi proksismal atau persisten (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Hal ini akan menentukan tindakan apa yang akan diberikan kepada pasien.
Mengacu pada hasil pengkajian yang ada dimana pasien mengeluh adanya palpitasi, agak sesak, perasaan tidak nyaman di dada dan “nggliyeng”, maka masalah keperawatan yang muncul pada pasien tersebut adalah penurunan curah jantung. Hal ini dikarenakan atrial fibrilasi menyebabkan respon ventrikel yang tidak beraturan sehingga memunculkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara lengkap ke atrium dan ventrikel. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gumpalan (emboli) yang dapat berkembang menjadi tromboembolisme (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Tanda dan gejala yang muncul adalah adanya perubahan hemodinamik dan trombogenesis dengan gejala palpitasi, perasaan tidak enak di dada (nyeri dada), kelemahan hingga tidak sadarkan diri akibat kurangnya suplai darah ke otak.
Manajemen penanganan pasien tersebut bertujuan mengurangi gejala dan mencegah komplikasi pada pasien. Gambaran atrial fibrilasi rapid ventricular respon disebabkan oleh adanya depolarisasi atrium secara spontan dengan cepat dan tidak beraturan sehingga menghantarkan implus listrik terus menerus ke nodus AV. Hal ini dapat mengakibatkan ventrikel berespon sangat irregular.  Kondisi ini yang menjadi dasar dalam penanganan pasien dengan atrial fibrilasi dimana harus segera mengembalikan irama ireguler kembali ke irama sinus dan mengontrol heart rate yang cepat menjadi normal kembali. Kondisi ini juga dapat mengembalikan curah jantung menjadi normal sehingga keluhan-keluhan palpitasi, nyeri dada, kelemahan, serta sinkop akan berkurang.
Usaha di atas dapat dilakukan dengan obat antiaritmia, kardioversi dan ablasi (Camm, Kirchhof, Lip, 2010). Berdasarkan algoritma pasien dengan atrial fibrilasi menurut American Heart Association (AHA), atrial fibrilasi baru seperti kasus di atas dapat dicurigai mengalami AF paroksismal atau persisten. Pasien tersebut dapat ditangani dulu dengan pemberian antikoagulan, namun jika dalam waktu 48 jam tidak mengalami perubahan, dapat diberikan antikoagulan lagi untuk rate control dan antiaritmia untuk rhythm control dan terakhir dapat dilakukan kardioversi (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). 
Merujuk panduan tersebut, tindakan awal yang harus segera dilakukan kepada pasien yang datang ke emergensi department adalah secepatnya memberikan oksigen, memasang intravenous line dan monitoring EKG untuk membantu mengurangi gejala yang muncul dengan pemberian obat serta monitor kondisi jantung. Setelah itu, untuk memperlambat denyut jantung, dapat ditangani penyebabnya atrial fibrilasi rapid vantrikular respon ini dengan memperlambat konduksi yang arus listrik ke nodus AV (Patrick, 2006).
Prinsip penanganan pasien atrial fibrilasi di ruang emergensi terdiri atas tiga hal yang mendasar yaitu mempertahankan sinus rhythm (control rythm), control ventricular rate (control rate) dan terapi antitrombotik (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011). Langkah yang dapat diambil selama di ruang emergensi untuk mengatasi penyebabnya adalah; Pertama dengan maneuver vagatonik, yaitu meningkatkan tonus fagus contohnya dengan  valsava maneuver, menelan air dingin atau menekan sinus karotis. Namun sebelum melakukan tindakan ini pasien wajib diberikan informasi agar tidak terkejut. Kedua Pemberian obat yang dapat memblok konduksi ke dalam nodus AV sementara misal dengan adenosine intravena, efeknya ≤ 4 detik, hal ini dapat mengembalikan ke irama sinus. Ketiga dengan pemberian  beta bloker (β bloker) seperti verapamil atau flekainid (Patrick, 2006).
Namun, pasien pada kasus tersebut juga mengalami LBBB sehingga tidak direkomendasikan untuk menggunakan verapamil. Meskipun sebuah literature menyebutkan bahwa LBBB tidak membutuhkan terapi, tetapi perlu juga diperhatikan obat-obat yang sekiranya kontaindikasi dengan kondisi tersebut. Sebuah studi mengungkapkan bahwa verapamil tidak tepat digunakan pada pasien AF dengan LBBB. Sehingga pengobatan dengan beta bloker dapat direkomendasikan salah satunya adalah dengan Metroprolol (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Rate control bertujuan untuk mengembalikan denyut jantung kembali kepada kisaran normal 60-80 kali permenit. Untuk itu pasien tersebut dapat diberikan obat-obatan kelas I yaitu dengan digoxin oral. Atau dapat diberikan obat-obatan kelas IIa yaitu dengan kombinasi antara digoksin dengan beta bloker, diltiazem atau verapamil untuk mengontrol denyut jantung pasien selama istirahat ataupun latihan. Namun jika pasien tidak dapat bertahan menggunakan obat-obat tersebut, amiodaron oral dapat direkomendasikan untuk pasien (ACCF/AHA Pocket Guidelne, 2011).
Tindakan berikutnya yaitu pencegahan tromboembolisme pada pasien dengan control rythm. Control rhythm bertujuan mengembalikan irama ireguler menjadi irama regular sinus. Sehingga meminimalkan risiko terjadinya emboli atrium. Antitrombotik dapat direkomendasikan pada seluruh pasien dengan atrial fibrilasi. Antitrombotik yang dipilih harus memiliki manfaat untuk menurunkan risiko stroke dan tidak adanya risiko perdarahan (Camm, Kirchhof, Lip, 2010). Terapi yang diberikan pada intinya adalah memberikan obat-obat yang bekerja pada AV node sehingga respon ventrikel yang semula ireguler dapat menjadi regular ketika konduksi ke ventrikel tidak lagi dibatasi oleh refrakter AV node (Patrick, 2006).
Sebuah studi pada pasien dengan atrial fibrilasi dengan onset kurang dari 24 jam, amiodarone dapan mengembalikan ke irama sinus dengan 61,4% pada jam pertama. Dan menghasilkan pengembalian denyut jantung dalam rentang normal dengan jumlah 93%  dari jumlah sampel setelah 24 jam. Studi ini menggunakan dosis tinggi 300mg amiodarone, dengan 20 mg/kg BB dalam 24 jam. Observasi efeksampingnya adalah hipertensi dengan 11% dan phlebitis pada luka tusukan infuse 16% (Weizberg, 2007). Amiodaron dapat menjadi alternatif dalam mengembalikan ke irama sinus dan menormalkan denyut jantung.
Dalam memilih obat-obatan tersebut diperlukan kehati-hatian sebab efek sampingnya adalah proaritmia (kemungkinan jenis lain). Perlu evaluasi yang sangat ketat pada pemakaian obat-obatan ini. Obat yang dinilai efektif sebagai kardioversi farmakologis pada AF adalah amiodaron, dofetilide, flekainid, ibutilide, propafenon, dan kuinidin (Shay, 2010).
Jika pengobatan yang diberikan tidak berhassil atau pada kondisi kegawatdaruratan misalnya hemodinamik tidak stabil disertai tanda iskemia, dan sinkop perlu dilakukan kardioversi elektrik yang dimulai dengan 200 Joule, bila tidak berhasil boleh dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi singkat (Shay, 2010).
Panduan lain dalam algoritma penanganan perawatan pasien atrial fibrilasi dengan menggunakan kardioversi, disebutkan bahwa ketika pasien datang dengan onset atrial fibrilasi kurang dari 48 jam,  maka  dapat diberikan heparin dan diteruskan dengan pemberian terapi kardioversi. Kardioversi yang diberikan dapat berupa electrical maupun  pharmacological. Setelah itu dipantau kejadian atrial fibliasi selama onset 48 jam tersebut dan dilanjutkan dengan pemberian obat antikoagulan (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Kesimpulan akhir penanganan pasien di ruang emergensi dapat diberikan obat-obatan anti aritmia dan antikoagulan serta diberikan kardioversi elektrik.
Sedangkan untuk penanganan lanjutan pasien dengan kardioversi, ada pertimbangan yang harus diberikan ketika memilih kardioversi elektrikal ataupun kardioversi pharmacological. Akibat mengalami atrial fibrilasi rapid ventricular respon, pasien tidak akan memberikan respon yang tepat kepada pemberian pharmacological kardioversi. Sehingga dengan segera kardioversi elektrik dapat direkomendasikan kepada pasien tersebut (Camm, Kirchhof, Lip et al, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diberikan kardioversi elektrikal dalam penanganannya dapat bertahan secara signifikan tanpa adanya komplikasi seperti stroke, kejadian tromboemboli baru, ataupun kematian dalam waktu 30 hari pearawatan. Hal ini kontras dengan hasil penelitian sebelumnya dimana pasien dengan atrial fibrilasi yang tidak diberikan kardioversi elektrikal dan hanya diberi kardioversi pharmacheoumical mengalami banyak kompilkasi ikutan akibat atrial fibrilasi (Frank, Eric, Rob, Grant, Iraj and Maziar, 2010). Sehingga kardioversi elektrik dapat menjadi pilihan dalam penanganan pasien selama di ruang emergensi.
Namun beberapa studi menyebutkan bahwa pemberian obat anti aritmi disertai dengan pemberian kardioversi dapat memberikan hasil yang baik pada pasien. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Bellone A, Etteri M, Vettorello M, dan kawan-kawan (2011) dimana disebutkan bahwa pada pasien dengan onset kejadian atrial fibrilasi yang baru muncul kurang dari 48 jam dapat diberikan penanganan pertama dengan obat dan dikombinasi dengan pemberian kardioversi elektrik. Obat bertindak sebagai rate control dan juga rhythm control dengan mempertahankan irama sinus, sedangkan kardioversi dapat bertindak sebagai rhythm control (Berry and Padget, 2012).
Jika dengan obat-obatan dan kardioversi tidak berhasil, maka dapat diberikan tindakan ablasi pada pasien tersebut. Ablasi AV node dan permanen pacing bukanlah bentuk perawatan dengan obat. Ablasi dan pacemaker dapat membantu mengontrol irama dan denyut jantung pasien dengan atau tanpa penggunaan obat. Ini dapat digunakan pada pasien yang tetap merasakan palpitasi setelah pengobatan dan yang tidak toleran terhadap obat-obat pengontrol irama dan denyut jantung (Berry and Padget, 2012).
Peran perawat emergensi antaralain adalah memantau setiap saat irama jantung dan laju denyut jantung pasien dan memberikan obat-obatan dan tindakan yang dibutuhkan pasien sebagai penanganan pertama (Greener, 2010). Selain itu, peran perawat adalah memberikan konseling kepada pasien setelah kondisi pasien mulai stabil (Greener, 2010).
Pasien umumnya telah memiliki pandangan negatif terhadap kondisi dirinya jika telah berhubungan dengan penyakit jantung. Selain itu pasien akan meragukan keberhasilan penanganan yang diberikan. Sehingga sangat dibutuhkan peran perawat dalam memberikan motivasi dan penjelasan akan setiap keuntungan tindakan yang diberikan kepada pasien untuk menurunkan kecemasan. Paisen juga diinformasikan terkait dengan komplikasi yang akan muncul. Hal ini berguna agar pasien lebih siap ketika dikemudian hari ada beberapa penyakit yang menyertai post atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010).
Sebuah survey menunjukkan bahwa 29% mengalami kecemasan akan penyakitnya dan membutuhkan pengetahauan mengenai atrial fibrilasi 5%. Dan sisanya mengalami depresi dan kecemasan tinggi setelah didiagnosa atrial fibrilasi (Aliot, Breithardt, Brugada, 2010). Peran perawat disini dapat memberikan informasi terkait perawatan yang akan diberikan dengan bahasa yang mudah diterima oleh pasien (Greener, 2010).   









BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
4.1.1 Paisen atrial fibrilasi umumnya memiliki keluhan palpitasi, rasa tidak  nyaman di dada (nyeri dada), terasa sesak, kelemahan hingga pingsan. Untuk menentukan diagnose atrial fibrilasi diperkuat dengan hasil analisa EKG yang direkam.
4.1.2 Pengkajian lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa atrial fibrilasi adalah pengkajian tanda dan gejala lain yang mungkin dirasakan pasien, pemeriksaan hasil laboratorium darah lengkap dan pemeriksaan transesofagus echocardiografi.
4.1.3. Masalah keperawatan yang biasanya muncul adalah penurunan curah jantung diakibatkan ketidakmampuan jantung memompakan darah ke atrium dan ventrikel akibat atrial vibrilasi yang menyebabkan respon ventrikel tidak beraturan.
4.1.4 Penanganan pasien atrial fibrilasi saat di ruang emergensi adalah dengan memberikan obat-obat anti aritmia, antikoagulan dan juga dengan kardioversi, atau jika tidak berhasil dapat dilakukan ablasi.
4.1.5 Dalam penanganan pasien atrial fibrilasi di ruang emergensi, perawat tidak hanya mengelola kondisi fisik pasien agar irama dan denyut jantung pasien stabil serta mencegah komplikasi, tetapi juga memperhatikan kondisi kecemasan pasien.

4.2  Saran
4.2.1 Penanganan pasien di ruang emergensi oleh perawat hendaknya juga memperhatikan kondisi psikis pasien seperti kecemasan pasien.





DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Pocket Guidelne. (2011). Management of Patients With Atrial Fibrillation. American: American College of Cardiology Foundation and American Heart Association. www.heart.org
Alfred, S, Jennife, W, Steven, L, Devender, A. (2012). Impact of emergency department management of atrial fibrilation on hospital charges. Western Journal of Emergency Medicine. www.escholarship.org
Aliot, E, Breithardt, G, Brugada, J. (2010). An international survey of physician and patient understanding, perception, and attitudes to atrial fibrillation and its contribution to cardiovascular disease morbidity and mortality. Europen. 12 (5), 626-633
Barrett, T. W., Martin, A. R., Storrow, A. B., et al. (2011). A clinical prediction model to estimate risk for 30-day adverse events in emergency department patients with symptomatic atrial fibrillation. Ann Emerg Med. 57, 1-12.
Bellone, A., Etteri, M., Vettorello, M., et all. (2011). Cardioversion of acute atrial fibrilation in the emergency department: A Prospective Randomized Trial. Emergency Medicine Journal.
Benjamin, E. J., Chen, P. S., Bild, D. E. (2009). Prevention of atrial fibrillation: Report From A National Heart, Lung, and Blood Institute Workshop. Circulation. 119 (4), 606–618
Berry. A and Padgett, H. (2012). Management of patients with atrial fibrillation: Diagnosis and Treatment. Nursing Standard/RCN Publishing. 26 (22), 47.
Camm, A. J., Kirchhof, P., Lip, G. Y., Schotten, U., Irene, S., Ernst, S., Gelder, I. C. V., et al. (2010). Guidelines for the management of atrial fibrillation: The Task Force For The Management of Atrial Fibrillation of The European Society of Cardiology. Europen Heart Journal. 31, 2369-2429
Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Jakarta: Surya Gemilang.
Craig, I., Coleman, White, M., Baker, W. L. (2009). An antiarrhythmic agent forthe management of atrial fibrillation and atrial flutter. Formulary. 44. www.formularyjoumal.com
Department Health and Human Services USA. (2010). Atrial Fibrillation Fact Sheet. CDC. www.stoptheclot.org
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
Frank, G. Y,. (2012). Introduction to ECG Interpretation. Intermountain Healthcare.
Frank, X. S., Eric, R., Rob, S., Grant, I., Iraj, P., Maziar, S. (2010). Thirty-day outcomes of emergency department patients undergoing electrical cardioversion for atrial fibrillation or flutter. Society fo Academic Emergency Medicine. 17, 408-415.
Greener, M. (2010). The nurse’s role in the management of atrial fibrillation. Nurse Prescribing. 8 (11),532-537.
Guy, C., Karine, G., and Jean, P. (2002). Atrial fibrillation in the elderly facts and management. Drugs Aging. 19 (11), 819-846
Levy, S., Camm, A. J., Saksena, S. (2003). International consensus on nomenclature and classification of atrial fibrillation. Europace. 5, 119–221.
National Collaborating Center for Chronic Condition. (2006). Atrial fibrillation. London. National Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal College of Physicians. www.escardio.org
Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Philip, I. A., and Jeremy, P. T. W,. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shay, E. P. (2010). Guideiin-Specific Management of Atrial Fibrilation. Foimulary. 45. www.foimularyjournal.com
Tintinalli J., Cameron P., Holliman J., C. (2010). EMS: a Practical Global Guidebook. USA: People’s Medical Publishing. www.ebookee.org
Wakai, A., and O’Neill, O. (2003). Emergency management of atrial fibrillation. Postgrad Med J. 79,313-319. www.posgradmedj.com
Weizberg, M. (2007). Foccus on atrial fibrillation-rhythm control option in the emergency department. ACEP News

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum saya mau tanya untuk Normo ventrikel respon itu berarti seseorang normal dan tidak memiliki penyakit AF? atau gimana? karena laju jantung org normal juga 60-100 kali per menit? terimakasih

    BalasHapus