Sabtu, 20 April 2013

EXERCISE PADA PASIEN STEMI


ESSAY
EXERCISE PADA PASIEN INFARK MIOKARD ELEVASI SEGMEN ST (STEMI)


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Keperawatan Gawat Darurat Lanjut 1


http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015


PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

A.   Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler dewasa ini menjadi masalah global khususnya sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. World Health Asociation (WHO) pada tahun 2008 menyebutkan 7,2 juta (12,2%) kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Setiap tahun di Amerika Serikat kira-kira 478.000 orang meninggal dunia karena serangan jantung, 1,5 juta orang mendapat serangan jantung (Zohreh, Alireza, Seyed, and Masoumeh, 2009). Di Indonesia sendiri menurut survey rumah tangga Depkes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25% akibat serangan jantung. Sementara itu pada tahun 2008 terdapat 2446 kasus, tahun 2009 terdapat 3862 kasus, dan pada tahun 2010 terdapat 2529 kasus yang didiagnosa  Acute Coronary Syndrome (ACS) di UGD (Unit Gawat Darurat) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita Jakarta (Priyanto, 2011).
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan spektrum klinis yang disebabkan adanya pengurangan pasokan oksigen secara tiba-tiba yang dipicu oleh adanya robekan (rupture) plak aterosklerosis. Kondisi ini berkaitan dengan adanya proses inflamasi, thrombosis, vasokontriksi dan mikroembolisme. Salah satu spektrum klinis ACS adalah infark miokard elevasi segmen ST (STEMI). STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Dewasa ini untuk menegakkan diagnosa pasien ACS, dapat menggunakan exercise test. Exercise juga telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko diagnostik pasien dengan ACS. Selain itu, exercise juga memiliki dampak yang signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI). Untuk dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien STEMI post serangan, dapat dirancang sebuah program exercise bagi pasien (Borjesson and Dellborg, 2005).
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional dan mengurangi gejala klinis pada pasien jantung koroner. Exercise juga memberikan keuntungan memfasilitasi pasien membiasakan diri pada aktifitas fisik harian pada tingkat yang aman yang akan berlanjut ketika pasien di rumah nantinya. Bahkan, kapasitas latihan yang diberikan secara tepat baik pre-discharge dan post-discharge yang disesuaikan dengan kondisi pasien dapat menjadi media olahraga atau latihan terbaik menurunkan kematian pasien pos serangan miokard infark (Borjesson and Dellborg, 2005).
Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tim dalam memberikan exercise pada pasien pos STEMI yang cenderung memiliki prognosis yang buruk diantara spektrum klinis ACS lainnya. Melihat kondisi tersebut, penulis tertarik untuk mengambil tema exercise pada STEMI sebagai bahan kajian.

B.   Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan essay ini adalah memberikan informasi terkait analisis exercise pada pasien STEMI. Selain itu, memberikan informasi terkait keuntungan dilakukannya exercise pada pasien STEMI.

C.   Analisis Literatur
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (CPG Secretariat, 2007).
Pasien dengan STEMI umumnya ditemukan gelisah, seringkali ekstremitas pucat dan disertai keringat dingin. Hal itu dikombinasi dengan keluhan nyeri dada khas lebih dari 20 menit, dan tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat. Hasil rekaman EKG ditemukan ST segmen elevasi > 1 mm di dua atau lebih lead yang berhubungan (contigeous lead). Pada pemeriksaan laboratorium petanda jantung, didapatkan CKMB, Troponin T yang meningkat. Ketiga tanda tersebut merupakan manifestasi klinis utama dalam penegakan diagnosa pasien dengan STEMI (Ed: Irmalita et al, 2009).

Tabel 1: TIMI RISK SCORE STEMI (Daga, Kaul, and Mansoor, 2011):
Faktor Risiko
Point
Usia 65-74 tahun
2
Usia ≥ 75 tahun
3
Diabetes/hipertensi/angina
1
Tekanan darah sistol < 100 mmHg
3
HR > 100 x/menit
2
Killip II – IV
2
BB < 67 kg
1
ST Elevasi di anterior atau LBBB
1
Onset > 24 jam
1
TOTAL SCORE
14
       Keterangan Risiko:
< 7  : Risiko rendah
7-10  : Risiko sedang
>10                   : Risiko tinggi

Exercise test dewasa ini telah menjadi standar dalam medical practice yang diberikan kepada pasien enam minggu segera setelah mengalami serangan infark miokard akut. Exercaise training mungkin dapat memberikan keuntungan pada perfusi miokard dengan adanya adaptasi vascular coronary. Latihan ini harus dirancang sesuai dengan kondisi masing-masing individu agar dapat mencapai kondisi fisik dan kesehatan mental yang optimal pada pasien pos serangan infark. Namun harus diwaspadai, selama latihan pasien akan memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi kardiovaskuler sehingga dibutuhkan latihan yang sesuai dengan standar. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan risiko yang akan muncul (American college of sports medicine, 1994).  
Exercise mampu meningkatkan kapasitas fungsional paru. Pasien dengan penyakit arteri koroner umumnya menunjukkan penurunan konsumsi oksigen maksimal atau peningkatan oksigen yang diserap dan memiliki toleransi terhadap exercise. Besarnya penurunan bervariasi tergantung tingkat keparahan penyakit dan juga penyakit koroner yang ditoleransi oleh pasien (American college of sports medicine, 1994).
Menurut ACC/AHA (2002) terdapat kontraindikasi untuk dilakukannya exercise testing yaitu kontraindikasi absolute dan relative. Kontraindikasi absolute yaitu akut miokard infark, angina tidak stabil/ N-STEMI yang berisiko tinggi, aritmia jantung yang tidak terkontrol dengan atau tanpa gejala hemodinamik, stenosis aorta severe, gejala gagal jantung tidak terkontrol, emboli pulmonal akut, miokarditis akut atau perikarditis, dan disektion akut aorta. Kontraindikasi relative terhadap latihan adalah left main stenosi koroner, penyakit jantung stenosis valvular moderate, abnormalitas elektrolit, hipertensi arterial, takiaritmia dan bradiaritmia, cardiomiopati hipertropik, dan AV blok High-degree (Gibbons, 2002). 
Penelitian yang dilakukan pada hewan yang di induce aterosklerosis menunjukkan bahwa exercise mampu meningkatkan diameter koroner. Selanjutnya, beberapa latihan menunjukkan peningkatan dalam tekanan awal munculnya iskemik dan depresi segmen ST sehingga aliran koroner dapat meningkat (Borjesson and Dellborg, 2005).
      Selama fase latihan, harus dipantau kondisi pasien, gejala klinis yang muncul, dan hasil rekaman EKG pasien. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan dapat dijumpai indikasi absolute dan relative untuk memasukkan pasien ke dalam tahap terminasi. Indikasi absolute antaralain: penurunan tekanan darah > 1mm Hg, angina severe moderate, peningkatan gejala sistem nervus (contoh: ataksia, kelelahan, sinkop mendadak), tanda penurunan perfusi seperti sianosis, pasien meminta berhenti, ventrikel takikardi, ST elevasi ≥ 1 mm pada lead diagnostic Q-waves. Indikasi relative antaralain: pennurunan tekanan darah ≥ 10 mmHg, ST depresi > 2 mm, fatigue, nafas dangkal, wheezing, kram kaki, perkembangan LBBB, meningkatnya nyeri dada (Gibbons, 2002).
Exercise test yang diberikan setelah infark miokard digolongkan kedalam kelas I, IIa, IIb, dan III. Kelas I: sebelum diputuskan untuk pengkajian prognostic, aktifitas yang direncanakan, evaluasi dalam terapi medis (submaksimal pada 4 hingga 6 hari), secepatnya setelah diputuskan nilai prognostik aktifitas tetapi tidak dilakukan exercise test (dengan gejala minimal yang muncul 14-21 hari), terakhir setelah diputuskan untuk pengkajian prognostic, aktifitas yang direncanakan, evaluasi dalam terapi medis dan uji latih jantung awal submaksimal dengan gejala terbatas sekitar 3-6 minggu. Kelas IIa diberikan pada pasien setelah diputuskan untuk kegiatan konseling dan latihan sebagai bagian dari rehabilitasi jantungyang telah menjalani revaskularisasi koroner. Golongan kelas IIb adalah pasien dengan kelainan  EKG: LBBB, sindrom pra eksitasi, LVH, pasien dengan terapi digoxin, ST depresi > 1 mm dan pasien dengn pemantauan berkala yang telah mengikuti latihan atau rehabilitasi jntung. Golongan kelas III adalah pasien dnegan kateterisasi jantung, dan komorbiditas yan gmembatasi harapan hidup, terakhir pemantauan diberikan kepada pasien dengan miokard akut disertai gagal jantung kongestif, aritmia jantung, atau noncardiac, sehingga mambatasi pasien untuk berolahraga (Gibbons, 2002).

D.   Pembahasan Penerapan
Dalam pelaksanaan latihan, standar latihan yang diberikan tidak dapat dihomogenkan kepada seluruh pasien. Harus dipertimbangakn kondisi individu masing-masing terkait status klinis pasien seperti: luasnya arteri koroner, disfungsi ventrikel kiri, potensial terjadinya iskemia miokard dan adanya aritmia jantung. Penyakit penyerta pasien juga harus dipertimbangkan seperti hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit katub jantung, penyakit obstruksi koronik, diabetes mellitus ataupun pasien post infark miokard akut yang baru saja terjadi atau post operasi CABG (Coronary Artery Baypass Graft) (American college of sports medicine, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Brehm dkk (2009) bertujuan menentukan keefektifan exercise untuk meningkatkan mobilisasi dan aktifitas fungsional pasien AMI (STEMI). Peneltian dilakukan kepada 37 pasien dibagi kedalam dua kelompok perlakukan dan kelompok kontrol. Perlakukan yang diberikan adalah latihan dalam waktu 2 minggu setelah STEMI. Exercise training regular diberikan selama 3 minggu dan kemudian dievaluasi. Evaluasi juga dilakukan 3 bulan setelah exercise training (ET). Evaluasi dilakukan dnegan mencari nilai BNP level, exercise echocardiography dan exercise spiroergometri.
Hasil yang didapat terdapat peningkatan kapasitas migrasi CPCs (Sirkulasi Sel Progenitor) setelah exercise regular. Setelah ET, fraksi ejeksi ventrikel kiri meningkat dan kardiorespirasi membaik ditunjukkan dengan peningkatan VO2 maksimal. Efek exercise bertahan hingga 3 bulan. Exercise training yang diberikan pada pasien setelah STEMI dapat memperbaiki fungsi jantung pada pasien yang baru saja di diagnosa AMI (Brehm, Picard, Ebner, Turan, Bolke, Kostering, Schuller, Flerssner, Ilousis, Augusta, Peiper, Schannwell, and Strauer, 2009).
Exercise training teratur mampu memperbaiki perfusi miokard pada penyakit koroner stabil. Jika latihan diberikan pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirassi. Dalam studi ini menunjukkan peningkatan kapasitas latihan, fungsi jantung membaik. Exercise training dalam waktu singkat yang diberikan segera setelah pasien stabil dari kondisi post STEMI dapat memberikan efek menguntugkan pasien STEMI (Brehm dkk, 2009).
Exercise tes yang diberikan dapat menggunakan bycyle ergometer yang diberikan pada pasien dengan posisi tegak. Dilakukan 1 kali sehari, lima kali seminggu dan selama tiga minggu sehingga total 15 kali maksimal latihan yang diberikan. Dimulai dengan beban awal 25 W meningkat bertahap 25 W. Hasil rekaman elektrokardiogram dan tekanan darah dibaca tiap 2 menit. Latihan juga dapat dilakukan dengan bycycle spiroergometre. Selama melakukan latihan, setelah istirahat  5 menit, pasien diukur tekanan darah arteri brakialis, EKG 12 lead dicatat, denyut jantung istirahat dinilai. Beban awal 50 W dengan peningkatan bertahap 25 W setiap 2 menit. Selama latihan diwaspadai gejala miokard iskemia akibat angina pektoris yang khas atau ST depresi > 1mm. Latihan akan diakhiri bila pasien mengalami nyeri dada progresif, kelelahan fisik atau ketika ada ST depresi 3 mm (Brehm dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhao (2012) kepada 239 pasien dengan stratifiksai umur 40-49 tahun menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan latihan yang umum dan VO2 maksimal segera setelah STEMI. Dimana disarankan pada pasien segera setelah STEMI untuk dilakukan exercise habit (kebiasaan untuk melakukan latihan).
Penelitian yang dilakukan Giallauria dkk (2012) menggunakan 50 pasien dengan recent STEMI yang dibagi menjadi 2 kelompok control dan perlakuan dengan latihan segera setelah STEMI hingga waktu 3 minggu setelah STEMI dan di follow up 6 bulan setelah STEMI. Hasil menunjukkan bahwa enam bulan setelah dilakukan latihan pada pasien segera setelah STEMI dapat menurunkan stress yang diakibatkan iskemia dan meningkatkan pergerakan dan ketebalan diinding ventrikel kiri. Hal ini berpengaruh pada peningkatan kapasitas fungsi jantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Giallauria dkk berikutnya pada tahun 2013 mengevaluasi kepada 46 pasien dengan dibagi kedalam dua grup yang diberikan perlakuan dengan exercise training segera setelah STEMI dan yang hanya diberikan informasi terkait perubahan gaya hidup. Latihan didasarakan pada konsep rehabilitasi jantung segera setelah serangan STEMI hingga 1 minggu dan di follow up enam bulan berikutnya. Hasil menunjukkan, exercise trining yang diberikan segera setelah pasien mengalami serangan dapat menurunkan stress yang diakibatkan oleh hipoperfusi jaringan. Selain itu juga dapat meningkatkan kontraktilitas dan fungsi ventrikel kiri. Exercise menyebabkan perubahan pada perfusi miokard dan dapat menyebabkan peningkatan kapasitas fungsional jantung.
Sebelum memulai program latihan, diperlukan riwayat medis pasien secara lengkap, pemeriksaan fisik dan exercise test terlebih dahulu untuk melihat kemampuan maksimal yang dapat dilakukan oleh pasien. Evaluasi awal diarahkan pada kestabilan kardiovaskuler dan kondisi ortopedi pasien. Evaluasi dilanjutkan dengan kemunculan gejala-gejala klinis seperti disfungsi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan aritmia jantung.  Sebelum memulai latihan, kondisi dan kelainan yang terdeteksi dapat dilakukan treatmen terlebih dahulu hingga kondisi pasien stabil dan siap untuk memulai latihan (Giallauria dkk, 2013).
Program latihan yang diberikan merupakan modifikasi program latihan yang diberikan kepada orang sehat. Modifikasi disesuaikan dengan status kardiovaskuler pasien termasuk mode, frekuensi, durasi, intensitas, dan perkembangan latihan. Mode yang digunakan dapat seperti jogging dengan tredmill test, bersepeda dengan ergometers cycle, berjalan dengan six minute walk test ataupun berenang. Latihan ekstremitas atas dapat dilakukan dengan ergometer lengan (Borjesson and Dellborg, 2005).
Dalam latihan ini ada komplikasi yang mungkin muncul yaitu infark miokard akut, cardiac arrest dan sudden death. Exercise pada pasien STEMI harus diawasi termasuk kegiatan fisik sehari-hari pada pasien post STEMI. Reevaluasi penting untuk dilakukan minimal 2-3 bulan setelah latihan dan satu tahun setelahnya. Hal ini berfungsi untuk menilai perubahan fisiologis yang dihasilkan akibat exercise serta kemungkinan perkembangan kondisi pasien (Borjesson and Dellborg, 2005).
Kapasitas latihan merupakan faktor risiko yang dapat dimodisikasi. Faktor risiko secara teoritis dapat diubah dengan aktifitas fisik secara teratur selama fase rehabilitasi dan seterusnya. Setiap 1 MET peningkatan kapasitas latihan, akan setara dengan 12% peningakatan kelangsungan hidup pasien. Berdasar pada kondisi ini, exercise test yang dilakukan dapat menjadi informasi berharga untuk menentukan kapasitas exercise yang tepat pasien pasca intervensi reperfusi dan pasca infark miokard (Borjesson and Dellborg, 2005). Exercise test yang direkomendasikan oleh AHA/ACC untuk pasien post STEMI adalah kelas I (Gibbons, 2002).
Strategi untuk exercise yang dapat diberikan kepada pasien segera setelah infark miokard dibagi ke dalam beberapa strategi. Strategi I adalah jika pasien berada pada risiko tinggi untuk kejadian iskemik, berdasarkan gejala klinis, mereka harus menjalani evaluasi invasive untuk menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk revaskularisasi koroner. Mulanya dapat diketahui dengan resiko rendah yang mungkin muncul setelah infark miokard, dapat dilakukan strategi exercise test. Salah satunya dengan exercise test pad kondisi dengan gejala terbatas 14-21 hari (Kelas II). Jika pasien mengunakan digoxin atau hasil rekam EKG menunjukkan gangguan pada gambaran seperti LBBB, LVH dan ST depresi maka hasil latihan awal penelitian dapat dilakukan. Hasil pengujian latihan harus bertingkat untuk menentukan kebutuhan perfusi infasiv atau latihan tambahan yang dibutuhkan pasien (Gibbons, 2002).
Strategi III adalah untuk melakukan exercise test submaksimal pada 4-7 hari setelah infark miokard atau sebelum pasien direncanakan keluar dari rumah sakit. Jika semuahasil tes negative dan menunjukkan pasien memiliki peningkatan kemampuan dalam aktifitas, tes olahraga dapat diulang 3-6 minggu untuk pasien yang akan menjalani aktivitas berat selama waktu luangnya, ditempat kerja atau olahraga sebagai bagian dari rehabilitasi jantung (Gibbons, 2002).
Namun sebagai catatan, exercise yang dilakukan pada pasien STEMI pos serangan harus menunggu hingga kondisi pasien benar-benar stabil. Selain itu timi risk pada pasien juga harus diketahui sebelumnya. Hal ini untuk menghindari komplikasi yang mungkin muncul akibat stress latihan. Selama periode latihan juga harus dipasang monitor untuk merekam aktivitas kerja jantung. Hal ini untuk mewaspadai adanya ST elevasi (≥ 1mm) pada lead tanpa diagnostic Q-waves (selain di V1 atau aVR) sebagai indikasi absolute yang mengharuskan pasien pos STEMI masuk dalam tahap terminasi selama exercise. Selain itu indikasi lainnya adalah depresi segmen ST > 2 mm downslopping depresi segmen ST (Borjesson and Dellborg, 2005). 

E.    Kesimpulan
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Exercise telah diadopsi dan divalidasi sebagai stratifikasi risiko diagnostik pasien dengan ACS. Exercise juga memiliki dampak yang signifikan terhadap rehabilitasi pasien pos miokard infark (STEMI) untuk dapat meningkatkan dan mengoptimalkan kondisi fisik dan kesehatan mental pasien STEMI post serangan. Exercise pada pasien STEMI jika latihan diberikan teratur mampu memperbaiki kondisi klinis pasien, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, meningkatkan kapasitas kardiovaskuler. Ltihan yang diberikan pasca STEMI sebagai rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi. Namun dalam pemberian harus menuggu kondisi pasien benar-benar stabil dan dilakukan monitor secara menyeluruh terkait aktivitas pasien selama latihan dan kemungkinan gejala klinis yang muncul. Selain itu tidak dapat dihomogenkan dari setiap individu dalam pemberian exercise. Selama latihan jika kondisi pasien tidak stabil dan terdapat faktor-faktor yang menunjukkan bahwa exercise harus dihentikan, tahap terminasi dalam latihan akan segera diberikan.

F.    Daftar Pustaka
American college of sports medicine. (1994). Exercise for patients with coronary artery disease. MSSE. 26(3): i-v
Borjesson. M., and Dellborg. M. (2005). Exercise testing post-MI: still worthwhile in the interventional era. European Heart Journal. 26: 105-106.
Brehm. M., Picard. F., Ebner. P., Turan. G., Bolke. E., Kostering. M., Schuller. P., flerssner., Ilousis. D., Augusta. K., Peiper. M., Schannwell. Ch., and Strauer. B. E. (2009). Effects of Exercise Training on Mobilization and functional activity blood-derived progenitor cells in patients with acute myocardial infraction.  Eur J Med Res. 14: 393-405
CPG Secretariat. (2007). Clinical Practice Guidelines Management of Acute ST Segment Elevation Myocardial Infraction (STEMI). Medical Development Division. Ministry of Health Malaysia
Daga. L. C., Kaul. U., and Mansoor. A. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Supplement to Japi. 59
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G., Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito. C. (2012). Effect of exercise training started within 2 weeks after acute myocardial infraction on myocardial perfusion and left ventricular function: a gated SPECT imaging study.  Eur J Prev Cardiol. 19(6): 1410
Giallauria. F., Acamp. W., Ricci. F., Vitelli. A., Torella. G., Lucci. R., Del Prete. G., Zampella. E., Assante. R. Rengo. G., Leosco. D., Cuocolo. A., and Vogorito. C. (2013). Exercise training early after acute myocardial infraction reduce stress-induce hypoperfusion and improves left vebtricular function. Eur J Nucl Med Mol Imaging. 40(3): 315-324.
Gibbons. R. J. (2002). ACC/AHA 2002 Guideline Update for Exercise Testing: A report of the American collage of cardiology/American heart association task force on practice guidelines (committee on exercise testing). American College of Cardiology Foundation and the American Heart Association.
Irmalita, Nani, H., Ismoyono, Indriwanto, S., Hananto, A., Iwan, D., Daniel, P. L. T., Dafsah, A. J., Surya, D., Isman, F. (Ed). (2009). Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Priyanto Ade. (2011). The Role of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Seminar Cardiac Emergency Management: Pre, to and in Hospital. FK UMJ
Zhao. W., Bai. J., Zhang. F. C., and Gao. W. (2012). The impact of regular exercise habit on exercise tolerance early after acute myocardial infraction. Zhonghua Nei Ke Za Zhi. 51(6): 453-5
Zohreh K. N, Alireza Y, Seyed AR, Masoumeh S. (2009). The Relation Between Anxiety And Quality Of Life In Heart Patients. Arya Atherosclerosis Journal 5(1): 19-24.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar