Kamis, 11 April 2013

KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI DALAM KURIKULUM KEPERAWATAN BENCANA DI INDONESIA


ESSAY
KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI
DALAM KURIKULUM KEPERAWATAN BENCANA DI INDONESIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Pendidikan Keperawatan Klinik


Dosen: Ns. Dian Susmarini, S. Kep., M. Nurs

http://akademikkebidanan.staff.ub.ac.id/files/2012/02/logo-FKUB.jpg



Oleh:
ANISSA CINDY NURUL AFNI
126070300111015



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


ESSAY
KOMPETENSI PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA: IMPLIKASI DALAM PENYUSUNAN KURIKULUM KEPERAWATAN BECANA

A.   Latar Belakang
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia, ataupun keduanya (Toha, 2007). Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan hendaknya berada di lini terdepan dalam penanganan bencana di Indonesia (Chan, Chan, Cheng, Fung, Lai, Leung, Leung, Li, Yip, Pang, 2010). Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Namun sejauh ini, tidak hanya di Indonesia di negara-negara lain juga dihadapkan pada kondisi kurangnya peran perawat dalam respon terhadap penanganan bencana. Sehingga diperlukan suatu pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni oleh seorang perawat untuk mengimbangi potensi dan kompleksitas bencana dan dampaknya yang mungkin akan lebih besar pada masa mendatang. Pertemuan yang dilakukan oleh American Public Health Association pada tahun 2006 telah menyebutkan bahwa diperlukan kesiapan dari tenaga kesehatan dalam mengahadapi kejadian luar biasa melalui pendidikan bencana yang menjadi prioritas dalam kurikulum (WHO dan ICN, 2009).
Melihat betapa besarnya peran perawat dan pentingnya kebutuhan akan keperawatan bencana dalam kurikulum maka penulis tertarik mengangkat masalah kompetensi perawat dalam penanganan bencana; implikasi keperawatan bencana dalam kurikulum pendidikan keperawatan. Terdapat beberapa pertanyaan yang ingin diulas dalam kajian ini yaitu kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam penanganan bencana, pembuatan kurikulum disaster nursing, dan aplikasinya di Indonesia. Literature yang digunakan sebagai bahan kajian diperoleh melalui pencarian dengan menggunakan kata kunci “disaster, competencies nursing in disaster, disaster nursing”. Beberapa jurnal yang mendukung kemudian diambil sebagai bahan kajian dan ditindak lanjuti dengan membaca references dari masing-masing jurnal. Sehingga hasil akhir menemukan enam (6) jurnal yang mendukung pembahasan kompetensi perawat dalam bencana dan kurikulum disaster nursing sebagai bahan kajian.

B.   Literatur Review
Kondisi emergensi dan disaster merupakan suatu peristiwa yang membutuhkan kompetensi yang unik dalam penanganannya. Dalam setiap tahapan penanganan bencana, perawat membutuhkan kompetensi yang berbeda-beda. Pada tahap mitigasi-prevention and preparedness competencies, kompetensi yang dibutuhkan adalah public health promotion and education. Pada tahap ini perawat memiliki peran untuk memberikan pendidikan dan promosi kesehatan terkait pencegahan bencana, tanda-tanda bencana, penanggulangan bencana oleh masyarakat dan juga respon masyarakat saat terjadi bencana (WHO dan ICN, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Hermawati (2010) bertujuan mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat dalam kesiapsiagaan bencana (preparedness) serta menyelidiki hubungan antara keparahan dan risiko yang dirasakan, pengalaman klinis, pelatihan dan pendidikan dan juga kehadiran perawat dalam simulasi manajemen bencana di rumah sakit serta pengetahuan dan keterampilan kesiapan perawat dalam merawat pasien akibat tsunami. Hasil penelitian menunjukkan keparahan dan risiko yang dirasakan, pengalaman klinis, pelatihan dan pendidikan memiliki tingkat signifikansi korelasi yang rendah dengan pengetahuan dan keterampilan perawat yang dirasakan dalam menghadapi bencana. Hermawati menyimpulkan bahwa diperlukan penyusunan kurikulum perawat dalam tatanan klinik mengenai kesiapan perawat dalam menghadapi bencana (Hermawati, 2010).
Penelitian lain dilakukan oleh Fung, Loke, dan Lai (2008) kepada 164 perawat Register Nurse (RN) yang melanjutkan study S 2 Keperawatan di Universitas di Hongkong. Penelitian ini menyebutkan, untuk mendukung kemampuan perawat dalam penanganan bencana, terdapat beberapa kompetensi yang harus dipenuhi yaitu: First aid, Basic Life Support (BCLS), Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS), infection control, field triage, pre-hospital trauma life support, advanced trauma care nursing, post traumatic psychological care, dan peri-trauma counseling.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Yin, He, Arbon, dan Zhu (2011) kepada 24 perawat yang menjadi bagian dalam penanganan bencana gempa bumi di Wenchuan. Hasil penelitian yang didapatkan terhadap kompetensi yang sangat penting harus dimiliki perawat saat terjadi bencana adalah; intravenous insertion, monitoring dan observasi, mas casualty triage, manajemen pasien trauma (control homeostatis, bandaging, fixation, manual handling), dan mas casualty transportation. Sedangkan kompetensi yang sering digunakan adalah: debridement dan dressingintravenous insertion, observasi dan monitoring. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kompetensi membutuhkan pelatihan khusus, seperti: mas casualty transportation, emergensi manajemen, dan trauma manajemen.
Hasil penelitian yang didapatkan oleh Yin (2011) menunjukkan hasil yang sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Fung (2008). Hal ini terjadi karena partisipan pada masing-masing penelitian memiliki karakteristik berbeda. Pada penelitian Yin, partisipan yang terlibat mengalami sendiri ikut serta dalam tim penanganan bencana gempa bumi di Wenchuan, sedangkan partisipan Fung belum memiliki pengalaman dalam penanganan bencana.
Penelitian yang dilakukan oleh Husna (2011) mendukung kesebelas kompetensi yang telah disebutkan pada beberapa jurnal di atas. Dimana beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat ketika akan berperan dalam penanganan bencana adalah triage, acute respiratory care, spiritual care, mental health care, wound care, patient referral, psychosocial care. Selain itu, kompetensi lain yang memerlukan pelatihan adalah BLS, ATLS, ACLS, BTLS, disaster management, dan mental health care untuk penanganan tsunami.

C.   Pembahasan 
Mengacu pada 10 (sepuluh) domain kerangka konsep yang telah dijabarkan oleh ICN (Lampiran 1) berdasar pada tahapan manajemen bencana dan kompetensi yang dibutuhkan perawat dalam penanganan bencana, kurikulum yang dapat disusun adalah sebagai berikut (Chan, Chan, Cheng, Fung, Lai, Leung, Leung, Li, Yip, Pang, 2010):

Tabel 1: Kerangka kurikulum bencana dan kegiatan belajar mengajar
No.
Topik
Metode
1.     
Konsep bencana
Diskusi
2.
Jenis-jenis bencana
Seminar/PBL
3.
Peran perawat dalam Manajemen Bencana
PBL
4.
Promosi dan pendidikan kesehatan
Role play
5.
Komunikasi dan transportasi dalam bencana
Diskusi
6.
Rumah Sakit lapangan dan rujukan
Diskusi
7.
Prinsip legal etik dalam manajemen bencana
Diskusi
8.
Pre hospital penanganan bencana
Seminar/PBL
9.
Kontrol infeksi dalam penanganan bencana
PBL
10.
Pengkajian individu keluarga dan komunitas
Role play/diskusi
11.
Triage bencana
Role play/Simulasi
12.
Mental Health care
Diskusi
13.
Perawatan psikososial dan spiritual
Diskusi
14.
Recovery pasca bencana individu, keluarga dan komunitas
Seminar/PBL
           
Metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah Problem Based Learning (PBL), role play, simulasi, group discussion, praktik klinik rumah sakit dan kunjungan langsung lokasi bencana. Berdasarkan penelitiannya, Chan dkk (2010) mengungkapkan bahwa metode PBL efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan siswa dalam memahami materi yang ada. PBL dapat menjadi triggers bagi siswa untuk lebih aktif belajar mandiri, mengantisipasi isu-isu lain yang muncul dalam penanganan bencana.
Untuk mengetahui perkembangan siswa, sistem evaluasi yang dapat digunakan antaralain; ujian tertulis untuk mengevaluasi kognitif mahsiswa, tes skill dan penilaian PBL melalui seminar ataupun diskusi kelompok. Penilaian individu dalam kelompok perlu dilakukan dikarenakan dalam situasi bencana, perawat akan bekerja sebagai tim dengan tenaga kesehatan lain dan profesi lainnya. Sehingga kemampuan individu dalam kelompok dan kemampuan kelompok dalam menyelesaikan masalah perlu untuk diperhitungkan dalam penilaian (Chan dkk, 2010).
Selain topik-topik di atas, terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki perawat dalam penanganan emergensi, trauma dan bencana yaitu: pengkajian  kardiovaskuler, pengkajian luka bakar, pengkajian status mental, management crush injury dan fraktur.  Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dimasukkan ke dalam kurikulum keprawatan gawat darurat mauapun medical bedah sebagi pendukung. Untuk meningkatkan psikomotor mahasiswa, dapat dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan-peltihan yang mendukung kompetensi dalam penanganan bencana.

Tabel 2: Pelatihan atau training bagi Perawat
No.
Topik
1.
Basic Life Support (BLS)
2.
Acute Cardiac Life Support (ACLS)
3.
Basic Trauma Life Support (BTLS)
4.
Wound Debridement/wound care

Garis besar kerangka konsep kegiatan belajar mengajar terkait kompetensi dalam disaster nursing telah coba diterapkan oleh Chan dkk (2010) yang mencoba mengevaluasi penerapan pelatihan atau kursus “Introduction to Disaster Nursing” selama 2 minggu terhadap 150 mahasiswa keperawatan di Cina. Chan dkk mengevaluasi kompetensi yang dimiliki siswa sebelum dan setelah pelatihan dan juga mencari tahu kebutuhan akan pelatihan mengenai manajemen bencana. Pelatihan yang dilakukan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kerangka konsep ICN seperti kelompok kerja, PBL, diskusi/seminar, dan perkuliahan. Hasil yang diapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan  antara kemampuan yang dimiliki sebelum dan sesudah pelatihan dimana terjadi peningkatan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa terhadap bencana dan penanganannya. Sebagian besar mahasiswa memiliki keinginan untuk ikut serta sebagai penolong dalam bencana dan berkompeten untuk terjun ke lokasi bencana namun berada dalam pengawasan (Chan dkk, 2010).
Dalam penyusunan kurikulum disaster nursing, terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus dipertahankan berdasarkan Global Standart for the Initial Education of Professional Nurses and Midwives yaitu konten isi dari pembelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan metode yang akan digunakan (WHO dan ICN, 2009). Dengan arti lain, kurikulum yang akan disusun harus dibangun berdasarkan pada kompetensi yang telah distandarkan. Kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan bagaimana pencapaian target interaksi antara siswa dengan kondisi bencana sebagai fokus kualitas pendidikan dan penerapan metode pembelajaran yang tepat untuk membangun profesionalitas dan berpikir kritis.
Presiden ICN (Interantional Council of Nurses) Dr. Hiroko Minami melihat betapa pentingnya perawat mendalami tentang disaster. Diharapkan lulusan program pendidikan keperawatan di USA, Eropa dan Asia telah dipersipakan menjadi experts dalam penanganan bencana beserta isu-isu yang ada didalamnya seperti kepemimpinan, pendidikan dan peran keperawatan dalam penanganan bencana. Namun, sejauh ini yang menjadi isu tersendiri dalam perkembangan kurikulum bencana dalam pembelajaran adalah standar kompetensi dalam keperawatan bencana yang masih belum pasti, kurangnya alat dalam pembelajaran, ketidakadekuatan dana pembelajaran dan kurangnya pengalaman tim pengajar dalam penanganan bencana (WHO dan ICN, 2009). Hal ini yang menjadikan fakultas-fakultas keperawatan merasa kurang percaya diri untuk mengembangkan kurikulum bencana dalam pembelajaran keperawatan (WHO dan ICN, 2009).
Sejak tahun 1970an, United State of Amerika telah menerapkan disaster nursing dalam kurikulum pembelajaran perawat (WHO dan ICN, 2009). Meskipun memiliki banyak kekurangan dalam pembelajarannya, namun pengembangan pengetahuan siswa mengenai bencana dan peran perawat dalam manajemen bencana menjadi dasar pembelajarannya. Dan kurikulum ini terus ditingkatkan dalam pembelajarannya terutama sejak tahun 1990an (WHO dan ICN, 2009).
Penerapan kurikulum keperawatan bencana di Indonesia belum menyeluruh. Kurikulum keperawatan bencana pertama kali dicetuskan oleh Provinsi Aceh pada empat Akademi Keperawatan (Akper) sejak tahun 2006. Namun sejauh ini keperawatan bencana baru masuk ke dalam muatan lokal di keempat Akper tersebut. Keempat pendidikan tersebut adalah Akper Tjoet Nyak Dhien, Akper Abulyatama, Akper Teungku Fakinah dan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Aceh, Said Mustafa (Ucok, 2009).          
Pendidikan keperawatan ini didukung oleh Palang Merah Jepang dalam pelaksanaannya. Pendidikan keperawatan bencana ini diharapkan dapat mendukung perawat nantinya dalam berespon lebih tanggap dalam bencana. Pendidikan ini tidak hanya diberikan kepada mahasiswa, namun juga kepada dosen (Ucok, 2009). Presiden Sekolah Keperawatan Internasional Palang Merah Jepang Kyushu, Prof Etsuko Kita, menyebutkan “sejak dibukanya pendidikan keperawatan bencana di Aceh, telah lebih dari 42 pertemuan working group telah digelar untuk membahas pengembangan silabus dan buku teks Keperawatan bencana. selain itu juga digelar enam kali lokakarya untuk meningkatakan keterampilan dan pengetahuan keperawatan bencana dalam bidang managemen keperawatan bencana, keperawatan bencana dan anak-anak, manula, ibu hamil dan kesehatan jiwa serta pertolongan pertama (Ucok, 2009).
Kurikulum keperawatan bencana juga telah diterapkan juga di Universitas Andalas di Indonesia. Modul pembelajaran yang disusun dengan total 3 SKS (Satuan Kredit Semester) dengan 2 teori dan 1 praktikum. Universitas Andalas juga telah mulai ikut serta dalam penanganan bencana longsor yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2013 di Kenagarian Batang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam. Menurut Prof. Dr. Dachriyanus, APT, Universitas Andalas telah memiliki mata kuliah keperawatan bencana sehingga tim yang dikirim telah terpapar dan siap dalam penanganan bencana (Humas dan Protokol Universitas Andalas, 2013).

D.   Kesimpulan
Perawat memiliki peran penting dalam manajemen penanganan bencana dimulai dari  Sehingga dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan untuk mengimbangi kompleksitas dampak dari bencana. untuk meningkatkan itu semua diperlukan adanya kurikulum bencana sebagi sarana pembelajaran. Dalam penyusunan kurikulum disaster nursing, yang paling utama adalah mengetahui kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran. Kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam penanganan bencana adalah promotion and education, mas casualty transportation/prehospital transportation, emergency management (BLS and ACLS), trauma management (BLS dan ATLS), monitor dan observasi, mas casualty triage, controlling specific infection, psychological first aid and crisis intervention, wound management (debridement and dressing), community health assessment dan terakhir patient care recording. Kurikulum bencana di Indonesia telah mulai dilakukan oleh pemerintah Provinsi Aceh pada Akper Tjoet Nyak Dhien, Akper Abulyatama, Akper Teungku Fakinah dan Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Aceh, Said Mustafa dan juga Universitas Andalas Sumatera Barat.

E.    Daftar Pustaka
Chan, S, S, S., Chan, W., Cheng, Y., Fung, O., Lai, T, K., Leung, A, W, K., Leung, K., Li Sijian, Yip, A., Pang, S. (2010). Development and Evaluation of an Undergraduate Training Course for Developing International Council of Nurses Disaster Nursing Competencies in China. Journal of Nursing Scholarship. 42 (2): 405-413.
Fung, O, W, M., Loke, A, Y, and Lai, C, K, Y. (2009). Nurses’ perception of disaster: implications for disaster nursing curriculum. Journal of Clinical Nursing. 18: 3165-3171.
Hermawati, D. (2010). Nurses’s perceived preparedness of knowledge and skills in caring for patients attacked by tsunami in Banda Aceh, Indonesia and Its related factors. The 2nd International Conference on Humanities and Social Sciences. Faculty of Liberal Arts. Prince of Songkla University.
Humas dan Protokol Universitas Andalas (Unand). (2013). Pelepasan Tim Peduli Bencana Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. Diakses tanggal 4 April 2013.
Husna Cut. (2011). Emergency training, education and perceived clinical skills for tsunami care among nurses in Banda Aceh Indonesia. Nurse Media Journal of Nursing. 1: 75-86.
Toha, M. (2007). Berkwan dengan Ancaman; Strategi dan Adaptasi Mengurangi Resiko Bencana. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Ucok Parta. (2009). Aceh siapakan perawat tanggap bencana. www.acehkita.com. Diakses tanggal 4 April 2013
Universitas Andalas. (2010). Modul Pembelajaran Mata Kuliah: Keperawatan Bencana. Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
World Health Organization (WHO) and International Council of Nurses (ICN). (2009). ICN Framework of Disaster Nursing Competencies.
Yin. H., He. H., Arbon, P., Zhu. J. (2011). A survey of the practice of nurse’s skills in Wenchuan earthquake disaster sites; implication for disaster training. Journal of Advanced Nursing. 67(10): 2231-2238.



Lampiran 1: Garis besar konsep kerja kompetensi keperawatan bencana dalam kegiatan belajar mengajar
(WHO dan ICN, 2009)
Kompetensi keperawatan bencana (ICN)
Kegiatan belajar dan mengajar
Action learning
Masalah dasar dalam pembelajaran
Skill training
Dosen
Kompetensi dalam tahap mitigasi
1.    Identifikasi risiko bencana, pencegahan dan promosi kesehatan
Menggunakan media seni untuk mengilustrasikan kondisi bencana
Pengembangan rencana kesiapsiagaan bencana untuk scenario disaster yang berbeda

Definisi dan jenis-jenis bencana
2.    Perkembangan kebijaksanaan dan rencana
Kompetensi dalam tahap  Preparedness
3.    Informasi dan komuniksi
Kesadaran komunitas, persiapan personal dan peralatan emergensi untuk orang-orang yang rawan bencana.

Kemampuan komunikasi

4.    Kesiapsiagaan dan pendidikan
Respon pelayanan kesehatan untuk penyebaran penyakit akut respiratory

5.    Ethical practice, legal practice, and accountability
Nilai etik dalam pengambilan keputusan dibawah tekanan dalam kondisi bencana

Prinsip etik dalam pengambilan  keputusan pada situasi bencana
Kompetensi dalam tahap response
6.    Perawatan komunitas
Kunjungan lapangan ke lokasi gempa bumi, rumah sakit lapangan, perawatan emergency, intensive care, perawatan trauma, dan departemen rehabilitasi.
Berhubungan langsung dengan masalah dengan korban yang berbeda pada setiap bencana baik itu kebakaran, banjir, dan gempa bumi
Kemampuan transfer pasien pre hospital, manajemen luka, kemampuan wawancara, pertolongan pertama psycologi.

7.    Perawatan individu
Kemampuan menghibur diri sebagai respon psikologi hubungannya dengan emosi
8.    Perawatan psikologi
Membantu kelompok korban bencana yang berbeda-beda dengan memberikan solusi dalam setiap permasalahan emergensi.
9.    Care of vulnerable populations

Kompetensi pada tahap Recovery
10.  Recovery jangka panjang untuk individu, keluarga dan komunitas.
Kunjungan area asca bencana
Role play: kunjungan rumah ke korban pasca bencana
Pengkajian kebutuhan komunitas, manajemen kesehatan diri secara manual untukhipertensi, arthritis, insomnia dan kesehatan mental



Tidak ada komentar:

Posting Komentar